Santunan Dari KPU Belum Cair, Ali Batal Gelar Tahlilan Meninggalnya Ahmad Farhan
Lantaran belum cair, ayah almarhum, Ali Azhari (61) mengatakan pihak keluarga tak bisa menggelar acara tahlilan 40 hari meninggalnya Farhan.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- KELUARGA besar almarhum anggota KPPS TPS 68, Ahmad Farhan (34) yang meninggal 12 hari setelah pemungutan suara Pemilu 2019 hingga kini belum menerima dana santunan yang dijanjikan pemerintah lewat KPU RI.
Lantaran belum cair, ayah almarhum, Ali Azhari (61) mengatakan pihak keluarga tak bisa menggelar acara tahlilan 40 hari meninggalnya Farhan.
"Waktu itu kita mikir bisa buat Tahlilan 40 hari pakai dana santunan, tapi karena belum turun ya mau bagaimana. Daripada memaksakan ya sudah," kata Ali di Jatinegara, Jakarta Timur, Selasa (11/6/2019).
Ali menuturkan pihak keluarga sepakat tak mengadakan tahlilan 40 hari mengingat menantu dan cucunya yang kehilangan kepala keluarga lebih membutuhkan uang.
Penghasilan menantunya, Wiwi Tarwiyiah (24) yang hanya membantu berjualan gorengan dikhawatirkan tak mampu mencukupi kebutuhan cucunya, Zaki Muaiyyat (4) yang masih rutin minum susu formula.
Baca: Luis Milla Dikabarkan Jadi Kandidat Pelatih Baru Klub Liga Spanyol
Baca: Berbagai Tanggapan Terkait Jabatan Maruf Amin di 2 Bank, KPU hingga yang Bersangkutan Angkat Bicara
Baca: Polisi: Senjata Soenarko Aktif dan Membinasakan
"Kita juga mau bagusin makam almarhum, tapi karena dana santunan belum turun ya ditunda dulu sampai nanti ada dana. Kita enggak mau memaksakan juga," ujarnya.
Ketiadaan bantuan materi dari Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Timur membuat dua keinginan pihak keluarga tersebut belum terlaksana.
Kini, dia hanya dapat berharap seluruh ahli waris anggota keluarga KPPS yang meninggal lekas menerima dana santunan sebagaimana hak mereka.
"Menantu saya sudah menyerahkan persyaratan yang diminta KPU, tapi sampai sekarang belum belum ada komunikasinya lagi. Mudah-mudahan cepat turun," tuturnya.
Dokter Ani Hasibuan
Sementara itu kasus banyaknya petugas KPPS meninggal di Pemilu 2019 sempat jadi ramai akibat komentar seorang dokter.
Bahkan dokter tersebut pun sampai tersangkut hukum akibat ucapannya
Dokter Ani Hasibuan tak kuasa menahan tangis saat presenter TV One, Balqis Manisang bertanya perihal kondisi psikis Ani setelah diterpa kasus hukum.
Sambil menahan air matanya, Dokter Ani Hasibuan mengaku bahwa dirinya sempat marah.
Hal itu terjadi pada Ani Hasibuan ketika mengetahui bahwa dirinya bahkan harus dipanggil oleh pihak kepolisian.
Diwartakan sebelumnya, Polda Metro Jaya memanggil dokter Ani Hasibuan atau yang punya nama lengkap Robiah Khairani Hasibuan untuk dimintai keterangan sebagai saksi dugaan penyebaran ujaran kebencian.
Hal itu berkaitan dengan ucapan Ani Hasibuan beberapa waktu lalu mengenai tudingan senyawa kimia pemusnah massal yang menjadi penyebab meninggalnya petugas KPPS.
Dalam unggahan berbentuk foto bidik layar artikel dari situs tamsh-news.com yang beredar di media sosial, nama Ani Hasibuan tercantum dalam judul berita disertai pernyataan,
“Pembantaian Pemilu, Gugurnya 573 KPPS”.
“Ya, benar, diklarifikasi terkait ucapannya yang menyebut senyawa kimia pemusnah massal,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono ketika dikonfirmasi, Kamis (16/5/2019).
Namun, berdasarkan penelusuran Kompas.com di pranala https://tamsh-news.com/article/dr-ani-hasibuan-sps--pembantaian-pemilu-gugurnya-573-kpps, dalam tubuh berita dipaparkan soal klaim telah ditemukan senyawa kimia pemusnah massal pada tubuh 573 anggota KPPS yang meninggal dunia, tanpa satu pun pernyataan dari Ani Hasibuan mengenai hal tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Dokter Ani Hasibuan pun mengaku terkejut karena merasa tidak pernah mengatakan suatu hal yang rumit.
Pun dengan adanya sebuah artikel yang memuat sebuah teori yang menurut Ani Hasibuan tidak pernah ia utarakan.
"Saya kaget, karena saya tidak merasa mengatakan sesuatu yang rumit. Saya hanya menyampaikan hal-hal sederhana," ucap Dokter Ani Hasibuan dilansir dari tayangan channel Talkshow TV One edisi Selasa (21/5/2019).
"Saya enggak tahu sama sekali tentang itu. Saya tidak pernah mengatakan itu," sambungnya.
Lebih lanjut, Dokter Ani Hasibuan pun mengatakan bahwa dirinya hanya ingin membantu korban meninggalnya petugas KPPS.
Keseriusan dokter Ani Hasibuan itu bahkan sampai ia buktikan dengan mendatangi langsung DPR.
"Awalnya saya datang ke DPR. Supaya orang-orang yang sakit, meninggal, diurus sesuai haknya. Dan yang saya perjuangkan itu. Paling enggak anak-anak yang meninggal itu diberikan beasiswa.
Upaya saya ke sana. Saya tidak pernah berpikir hal-hal terkait dengan apakah racun. Konsentrasi saya adalah penanganan korban," tutur Ani Hasibuan.
Karenanya, ketika ada pemberitaan yang menyimpulkan bahwa dirinya dituding membuat berita bohong,
Ani Hasibuan pun mengaku kesal.
Pun ketika dipanggil pihak kepolisian sebagai saksi, dokter Ani Hasibuan mengaku bingung.
"Jadi ketika saya di-framing seperti itu, satu saya kesal. Kedua sebagai warga negara saya juga berpikir, saya harus melakukan apa. Ini yang membuat saya seolah-olah menyebarkan berita bohong.
Lantas, mengenai artikel yang membuat pemberitaan yang membuatnya dipanggil pihak kepolisian, Ani Hasibuan pun mengaku memahami budaya orang Indonesia.
Padahal menurutnya, ada sebuah framing atas dirinya yang sedang dibangun saat itu.
"Yang saya khawatir, orang cuma baca judul, dia taruh foto saya di situ. Foto waktu saya di DPR. Jadi kesan orang, dokter ini yang mengatakan itu. Padahal saya tidak mengatakan itu," kata Ani Hasibuan.
Soal Anggota KPPS meninggal
Mengenai referensi politik dirinya yang dikaitkan dengan pernyataan terkait dengan penyebab petugas KPPS meninggal dunia, Ani Hasibuan pun angkat bicara.
Menurutnya, keterangannya terkait dengan kematian petugas KPPS itu tidak ada hubungannya dengan preferensi politik yang ia pilih.
Sebab persoalan politik menurut Ani Hasibuan adalah haknya.
"Orang kemudian memperbincangkan pertanyaan saya soal penanganan korban kematian yang sakit dengan preferensi politik saya dalam pemilu. Yang menurut saya tidak relevan. Yang saya alami bully yang tidak habis-habis bahwa saya pendukung Paslon tertentu. Padahal itu hak saya," kata Ani Hasibuan.
Ulasan mengenai kasus yang tengah menimpa Ani Hasibuan itu pun masuk ke dalam kondisi psikisnya sebagai seseorang yang sempat ramai menjadi perhatian.
Mengetahui hal tersebut, Ani Hasibuan pun mengaku dirinya sempat merasa marah.
Sebab sebenarnya, Ani Hasibuan mengaku hanya ingin membantu korban yakni petugas KPPS yang meninggal dunia.
"Saya lebih ke arah marah daripada sedih ya. Saya kan sebenarnya ingin membantu. Saya jadi melow nih," ucap Ani Hasibuan.
Belum selesai Ani Hasibuan memberikan pernyataannya, air mata sang dokter tampaknya tak bisa lagi ditahannya.
Alhasil, sambil menunduk, Ani Hasibuan pun terlihat menangis.
Hingga beberapa detik kemudian, Ani Hasibuan pun melanjutkan pernyataannya terkait dengan kasus yang tengah menimpanya itu.
"Sebenarnya saya ingin membantu, tentunya pekerjaan yang harusnya kita kerjakan bersama-sama," pungkas Ani Hasibuan.
Dokter Ani Hasibuan pun mengaku bahwa dirinya hanya ingin menyadarkan para korban atau kerabat petugas KPPS yang meninggal dunia mengenai hak mereka.
"Banyak orang yang tidak memahami bahwa dia punya hak atas sesuatu. Dan saya kira saya ada di level membantu orang untuk memahami bahwa dia punya hak. Yang saya datangi misal korban KPPS adalah orang-orang dari golongan yang tidak paham apa yang harus dia lakukan," ucapnya.
Tak hanya itu, dokter Ani Hasibuan juga mengaku, niatan awalnya hanya ingin membuat pemerintah juga sadar akan kondisi yang sedang terjadi akibat ratusan petugas KPPS meninggal dunia.
Artikel ini telah tayang di tribunnewsbogor.com dengan judul Akui Kena Bully hingga Dipanggil Pihak Kepolisian, Dokter Ani Hasibuan Menangis: Saya Ingin Membantu