Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim Sebut Audit BPK Tahun 2017 Terkait Kasus BLBI Tidak Objektif
Kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan, menyebut audit yang dilakukan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tahun 2017 tidak objektif dan independen.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut telah menemukan aset yang terafiliasi dengan tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim. Aset itu diduga terkait kasus korupsi BLBI.
"Kami sudah mulai menemukan beberapa aset yang diduga milik dari tersangka, atau pun yang diduga terkait atau terafiliasi dengan tersangka atau perkara ini," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (12/6/2019).
Saat ditanya aset Sjamsul mana saja yang diduga terkait dengan perkara ini Febri belum mau menjawabnya. Ia mengatakan posisi aset itu merupakan bagian dari informasi teknis penyidikan.
"Tapi secara lebih rinci tentu kami belum bisa menyampaikan karena proses penyidikan tersebut masih berjalan," jelas Febri.
Baca: Jenazah Marco Tiba di Rumah Duka, Rencananya akan Dimakamkan Hari Jumat Besok
Sjamsul sendiri masih memiliki aset dan bisnis yang berjalan di Indonesia. Salah satunya, PT Gajah Tunggal. Perusahaan ini memproduksi dan memasarkan ban dengan merek Zeneos dan GT Radial.
Perusahaan ini juga memiliki sejumlah anak usaha di antaranya PT Softex Indonesia (pembalut wanita), PT Filamendo Sakti (produsen benang), dan PT Dipasena Citra Darmadja (tambak udang, sewa gudang).
Sjamsul pun memiliki saham di Polychem Indonesia dan sejumlah usaha ritel yang menaungi beberapa merek ternama seperti Sogo, Zara, Sport Station, Starbucks, hingga Burger King.
Sebagaimana diketahui, KPK telah menetapkan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah menjerat mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Kasus ini bermula saat BDNI mendapat bantuan dana BLBI sebesar Rp 37 triliun. BDNI juga menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode 1999-2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet. Namun BPPN menduga BDNI menyalahgunakan dana bantuan itu dan menetapkan BDNI sebagai bank yang melanggar hukum.
Sementara Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002 malah menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menuntaskan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dijamin Sjamsul Nursalim dalam PKPS.
Namun setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan.
Perbuatan Syafruddin dinilai membuat Sjamsul mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.
Syafruddin sudah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum 13 tahun penjara.
Hukumannya diperberat di tahap banding menjadi 15 tahun penjara dan sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Baca: Fakta-fakta Pembunuhan Sadis di Jalanan Balikpapan, Pelaku dan Korban Sama-sama Tuna Rungu
Baca: Beredar Video Diduga Menteri Malaysia Tidur Dengan Pria Gay