BW Tantang Publik Sebutkan Pemilu yang Lebih Buruk dari Indonesia
Bahkan BW menantang publik untuk menunjukkan Pemilu di negara mana yang lebih buruk dari Indonesia jika berdasarkan data tersebut.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Tim Hukum BPN (Badan Pemenangan Nasional) Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto (BW) menyebut Pemilu 2019 adalah Pemilu terburuk yang pernah digelar di Indonesia sejak era reformasi.
Ia berpatokan pada jumlah KPPS (kelompok panitia pemungutan suara), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan aparat keamanan yang meninggal dunia dan sakit usai menyelenggarakan Pemilu 2019.
Bahkan BW menantang publik untuk menunjukkan Pemilu di negara mana yang lebih buruk dari Indonesia jika berdasarkan data tersebut.
“Ini adalah Pemilu terburuk sejak era reformasi, jangan dibandingkan dengan orde baru karena sekarang bukan orde baru. Tidak ada Pemilu di dunia ini yang menimbulkan korban lebih dari 700 orang, tunjukkan kepada saya ada tidak Pemilu di dunia yang korbannya lebih dari 700, dan itu ada di Pemilu Indonesia 2019,” ungkap BW ditemui di posko BPN, Kebayoran Baru, Jaksel, Senin (24/6/2019).
Indikator kedua yang menurut membuat Pemilu Indonesia 2019 sebagai Pemilu terburuk sejak era reformasi menurut BW adalah adanya 22 juta potensi pelangggaran seputar Pemilu.
Baca: Tidak Ingin Tambah Gaduh, Bamsoet Pastikan Maju Caketum Golkar Setelah Sidang MK
Ia pun menyinggung penemuan 400 ribu amplop yang disiapkan untuk serangan fajar dalam kasus Bowo Sidik.
“Kejahatan di Pemilu seperti fenomena gunung es, yang ketahuan hanya akan sekitar 0,5 sampai 1 persen, sementara kami menemukan ada potensi 22 juta pelanggaran di seputar Pemilu, kalau tidak dilaporkan ke Bawaslu bukan berarti tidak ada kejahatan,” imbuhnya.
Indikator ketiga menurut BW adalah adanya indikasi mobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan salah satu paslon.
Sementara ia juga menilai adanya problem struktural dalam pelaksanaan hukum di tingkat bawah.
“Misal di Papua dan Kota Surabaya, Bawaslu mengatakan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) tapi hingga kini tak dilaksanakan, berarti ada problem struktural dalam pelaksanaan ‘low-enforcement’ di sini,” tegasnya.
Dan faktor yang kelima adalah terus menerusnya permasalahan yang ada pada DPT (Daftar Pemilih Tetap).
Ia menyebut bahwa DPT yang bermasalah merupakan sumber penggelembungan suara.
“Kita terus menerus melakukan kebodohan dengan adanya masalah pada DPT, dan kami menemukan adanya NIK (nomor induk kependudukan) rekayasa, kecamatan siluman, pemilih ganda, dan pemilih di bawah umur. Dan DPT yang bermasalah itu berdasarkan data kependudukan yang disusun pemerintah,” pungkas BW.