Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PPP: Koalisi Jokowi-Maruf Belum Ingin Tambah Anggota Baru

Sekjen PPP Arsul Sani mengatakan koalisi Indonesia Kerja (KIK) masih belum memutuskan mengenai tambahan partai politik dari pendukung Prabowo-Sandi

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in PPP: Koalisi Jokowi-Maruf Belum Ingin Tambah Anggota Baru
Taufik Ismail
Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf Arsul Sani 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Paratai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan koalisi Indonesia Kerja (KIK) masih belum memutuskan mengenai tambahan partai politik dari pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Tapi sejauh ini menurut Wakil Ketua TKN Jokowi-Maruf Amin ini, seluruh partai yang ada dalam KIK masih tidak menginginkan penambahan partai lain.

"Memang Partai-partai dalam koalisi belum pernah bertemu bahas opsi tambah partai lain. Tapi sampai saat ini yang mengemuka kecenderungan kuat untuk tidak lagi menambah anggota," ujar Anggota Komisi III DPR RI ini, Jumat (5/7/2019).

Apalagi menurut Arsul Sani, saat ini kekuatan partai koalisi Indonesia Kerja di Parlemen sebesar 60,7 persen.

Baca: Greg Nwokolo Kritik Suporter Madura United: Main di Kandang Vs Persebaya, Bak Main di Kandang Lawan

Baca: 4 Zodiak Paling Tidak Bisa Diandalkan: Aquarius Masuk Tipe Egois, Apa Gebetanmu Termasuk?

Baca: Tanggapan sang Istri Ketika Tahu Robby Beli Burung Seharga Rp 1 Miliar Lu Gila?

Sementara koalisi partai pengusung Prabowo-Sandi hanya 39,3 persen.

Adapun partai koalisi Jokowi-Ma'ruf di Parlemen terdiri dari PDIP, NasDem, Golkar,PKB, PPP.
Sementara Partai di Koalisi Prabowo-Sandi yakni Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat.

Berita Rekomendasi

"Kan yang harus dibahas apakah dengan posisi kursi yang 60. 7 persen itu sudah cukup atau belum. Kalau dianggap sudah cukup berarti tidak nambah, kalau dianggap belum cukup untuk menjamin dukungan bagi pemerintahan ya mungkin bisa nambah," tuturnya.

PPP sendiri kata Arsul berpandangan bahwa cukup tambahan satu partai saja yang bergabung ke Koalisi Indonesia Kerja. Itu pun bila kekuatan 60,7 persen di parlemen di nilai belum cukup.

"Karena kan kalau nambah satu itu sudah di atas 70 persen, bahkan mungkin mendekati 75 persen. Kalau nambahnya banyak nanti kan tidak ada yang melakukan fungsi chek and balances dong. Di parlemen. Kan tidak bagus juga untuk demokrasi kita," jelasnya.

Golkar Khawatir Partai Baru Akan Jadi "Duri Dalam Daging" dalam Koalisi Jokowi-Maruf

Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily kurang sepakat, jika ada partai politik pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di pilpres 2019 lalu, bergabung ke koalisi pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-KH Maruf Amin.


Juru bicara TKN Jokowi-KH Maruf Amin ini punya kekhawatiran partai politik tersebut akan menjadi 'duri dalam daging.'

"Saya punya kekhawatiran kalau dari kubu Prabowo mau masuk tanpa memiliki kesamaan gagasan dengan apa yang sudah dijanjikan dalam kampanye kemarin, saya khawatir bisa menjadi katakanlah duri dalam daging," ujar anggota DPR RI ini kepada Tribunnews.com, Kamis (4/7/2019).

Jika parpol di luar TKN benar-benar ingin bergabung ke koalisi pendukung pemerintah, dia menyarankan, agar dipastikan terlebih dahulu bahwa parpol tersebut memiliki visi dan misi yang sama dengan Jokowi.

Apalagi mengingat kala konstestasi Pilpres 2019 lalu, saat banyak elite parpol oposisi habis-habisan 'menghajar' program dan kebijakan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Termasuk terkait pembangunan infrastruktur yang masif di Tanah Air yang dilaksanakan Jokowi selama lima tahun di periode pertamanya.

"Jadi kalau pun ingin bergabung, tidak bisa ujug-ujug masuk begitu saja. Harus ada proses. Yang terpenting adalah proses bagaimana menyamakan gagasan visi misi mereka yang memang seharusnya sama dulu," tegas Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI ini.

Dua partai dalam Koalisi Adil Makmur yang mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pemilihan Presiden 2019, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat, diprediksi kuat akan bergabung dalam koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang telah dinyatakan sebagai pemenang Pemilu 2019.

Gelagat keinginan merapat dari petinggi kedua partai mulai terlihat. Akankah keinginan ini bersambut?

Sinyal 5 partai

Arah politik, parta-partai yang tergabung dalam koalisi Adil Makmur pun menjadi pembicaraan hangat setelah putusan MK.

Diketahui lima partai politik, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Berkarya tergabung dalam Koalisi Adil Makmur.

Beberapa partai dalam koalisi tersebut sedari awal sudah menegaskan akan menentukan arah politiknya setelah putusan MK.

Sinyal opsi akan bergabung dengan partai pemerintah atau Koalisi Indonesia Kerja, atau opsi tetap bersama Koalisi Adil Makmur untuk menjadi partai oposisi di parlemen sudah ditunjukan masing-masing elite partai.

1. Sinyal partai Berkarya

Sekjen Partai Berkarya, Priyo Budi Utomo, mengisyaratkan bila partai besutan Tommy Soeharto tersebut tetap berada dalam lingkaran koalisi Adil Makmur apa pun keputusan Mahkamah Konstitusi.

"Saya menganut mazhab bahwa membangun oposisi yang konstruktif dan kuat ke depan adalah pekerjaan halal dan barokah," kata Priyo di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2019).

Priyo memaklumi bahwa tak semua pihak di mana pun tak memiliki pertimbangan seperti dirinya.

"Godaan pragmatisme politik kan ada di depan kita. Semua ini tergantung bagaimana kita untuk hal ini," lanjutnya

2. Sinyal PKS

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera mengajak semua koalisi Adil Makmur dan Rakyat Indonesia menjadi Oposisi Konstruktif bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo–Maruf Amin.

"Saatnya kita merapikan barisan untuk menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah. Selama kita istiqomah membela rakyat sama saja kebaikan yang di dapat, baik di dalam ataupun di luar pemerintahan," kata Mardani Ali Sera kepada Tribunnews.com, Jumat (28/6/2019).

Menurut Mardani Ali Sera, koalisi Adil Makmur sangat layak diteruskan menjadi kekuatan penyeimbang untuk mengawal agar pembangunan benar-benar ditujukan untuk kepentingan rakyat.

"Saatnya Membangun Oposisi kritis dan konstruktif. Untuk pembangunan bangsa berkelanjutan yang efektif perlu dikawal bersama, agar kesalahan-kesalahan periode sebelumnya bisa diperbaiki untuk kemakmuran rakyat," tegas Mardani Ali Sera.

"Kita berharap dan berdoa semoga kedepan bangsa ini memperoleh keberkahan, memuliakan ulama dan mencintai rakyatnya," ucapnya.

3. Sinyal Gerindra

Anggota Dewan Pembina Gerindra Maher Algadri tidak ingin Prabowo Subianto bertemu Jokowi bila membicarakan tawaran koalisi.

"Kalau saya bilang jangan (bertemu), proses demokrasi itu adalah pemilihan," ujar Maher di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis tengah malam, (27/6/2019).

Dalam negara demokrasi idealnya menurut Maher pihak yang menang berada di pemerintahan, sementara yang kalah menjadi oposisi.

Sehingga, ada Check and Balance dan menjalankan roda pemerintahan.

"Jadi yang kalah biar tetap kalah, yang menang, (tetap) menang. Biar yang kalah di luar menjadi oposisi, kalau enggak, bukan demokrasi. Masa semua pada kongko-kongko. Jangan, yang sehat dong. Selalu ada check and balance, jadi yang kuasa dikontrol oleh oposisi," katanya.

Apalagi menurutnya, Prabowo didukung oleh 45 persen pemilih di Indonesia.

Jumlah tersebut bukan lah kecil.

Amanat 45 persen pemilih tersebut yang harus tetap dijaga.

"Oposisi serius loh. 45 persen itu bukan kecil. Besar sekali, makanya, ini kan bukan masalah prabowo atau apa, ini masalah 45 persen itu 70 juta lebih. Harus dihargai," katanya.

Terkait kabar adanya internal Gerindra yang menginginkan adanya rekonsiliasi dan masuk koalisi pemerintah,menurut Maher merupakan hal yang biasa di negera demokrasi.

"Dimana mana itu selalu ada yang pro kontra. Namanya negara demokrasi engga ada yang diberangus, oh, lo pro atau lo kontra. Lo pun bebas, lo boleh kasih pendapat, engga ada yang menolak (melarang)," pungkasnya.

4. Sinyal Demokrat

Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan mengatakan koalisi partai pengusung pasangan calon presiden pada Pemilu 2019 telah berakhir.

Termasuk koalisi Adil Makmur yang mengung pasangan calon Prabowo-Sandiaga.

"Koalisi 5 partai politik ini dalam rangka mengusung pasangan calon presiden dan cawapres. Kemarin setelah diketuk putusan oleh MK, tak ada lagi calon presiden. Yang ada adalah presiden terpilih, ada presiden tidak terpilih. Maka koalisi untuk pasangan calon presiden itu telah berakhir," kata Hinca di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (28/6/2019).

Pertemuan pada hari ini pun bakal disampaikan Hinca kepada Majelis Tinggi Partai Demokrat, sehingga keputusan apakah bakal merapat ke pemerintah belum bisa diputuskan dalam waktu dekat.

"Kami sedang menuntaskan ini dulu satu-satu. Kalau ibarat pertandingan itu sudah ditiup, selesai, tentu salam-salam. Jadi sebelum ditiup enggak mungkin salaman," katanya.

Dikutip dari kompas.com, Ketua Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menyatakan partainya siap berada di dalam dan luar koalisi pemerintahan periode 2019-2024.

Meski demikian, ia mengatakan, Demokrat siap mendukung bila diminta Presiden Joko Widodo bergabung ke koalisi pemerintahan.

"Kalau Pak Jokowi meminta tentu kita siap mendukung beliau. Kalau tidak diminta kita juga siap," ujar Ferdinand saat dihubungi, Selasa (25/6/2019).

"Partai Demokrat tak akan mengajukan diri untuk diambil sebagai partai koalisi pemerintah. Tetapi kami lebih pasif dan akan menunggu. Kalau beliau mengajak tentu kami akan melakukan komunikasi nanti," tambahnya.

Ia menambahkan, saat ini partainya intensif menjalin komunikasi dengan koalisi Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Bahkan, komunikasi Demokrat lebih intensif dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf dibandingkan dengan koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Ferdinand menambahkan, komunikasi Demokrat dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf saat ini sedang menyamakan persepi ihwal masalah-masalah pembangunan di Indonesia.

Ia mengatakan, komunikasi tersebut tak langsung menjurus membahas pembentukan koalisi pemerintahan.

Menurut dia, jika nantinya Jokowi mengajak Demokrat bergabung, maka komunikasi berlanjut antara Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Jokowi langsung.

"Apakah Pak Jokowi sebagai pemimpin presiden terpilih akan mengajak Partai Demokrat? Kalau beliau mengajak tentu kami akan melakukan komunikasi nanti. Dan level komunikasinya tentu pasti akan dengan ketua umum," lanjut Ferdinand.

5. Sinyal Partai Amanat Nasional (PAN)

Dikutip dari kompas.com, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengatakan koalisi Adil dan Makmur telah berakhir menyusul hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan dalam sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan Tim Hukum 02.

Zulkifli memastikan, berakhirnya koalisi Adil dan Makmur tersebut sudah berdasarkan restu dari Prabowo sendiri.

"Saya tadi lama di tempat Pak Prabowo dari setengah dua sampai setengah lima. Pak Prabowo tadi menyampaikan ke saya dengan berakhir putusan MK, maka Koalisi (Adil dan Makmur) sudah berakhir," kata Zulkifli Hasan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/6/2019) malam.

Karena itu, terang Zulkifli, Prabowo pun mempersilakan kepada partai-partai di dalam koalisi Adil dan Makmur mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan langkah ke depan.

"Silakan partai-partai mengambil inisiatif sendiri," kata Zulkifli menirukan pernyataan Prabowo.

Zulkifli memastikan, PAN akan segera melakukan rapat internal untuk menentukan langkah dan sikap partai.

Rapat internal partai, ujarnya, akan segera dilakukan dalam waktu dekat.

Meski demikian, dalam pemaparannya, Zulkifli tak menyebutkan apakah PAN akan memutuskan untuk mencoba bergabung dengan petahana atau tidak.

"Nanti akan ditentukan waktunya," kata Ketua MPR RI ini.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas