Indonesia Tak Mau Jadi Tempat Pembuangan Sampah Negara Lain
Pemerintah Indonesia akan menindak tegas pihak-pihak yang mengimpor sampah dari negara-negara lain.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia akan menindak tegas pihak-pihak yang mengimpor sampah dari negara-negara lain.
Hal ini menyusul hasil penyelidikan yang menunjukkan semakin banyak material limbah beracun yang diterima Indonesia.
Pihak berwenang di pelabuhan telah meningkatkan pemeriksaan acak pada Mei lalu, menyusul temuan lebih dari 80 kontainer berisi sampah ilegal dari Amerika Serikat (AS), Australia, dan Eropa.
Salah satu orang terkaya Australia terseret dalam masalah ini, setelah media melaporkan sebuah perusahaan miliknya diduga bertanggungjawab mengirimkan material yang dianggap berbahaya oleh hukum Indonesia.
Baca: Diminta Diam & Tak Ikut Campur Urusan Vanessa Angel & Ayahnya, Jane Shalimar Aku Bantu Ayahnya
Baca: Sahabat Kriss Hatta Sebut Hilda Vitria Tak Mau Pernikahannya Diberitahukan ke Orang Tuanya
Baca: Kebiasaan Unik Andien, Plester Mulut Saat Tidur, Ternyata Bermanfaat, Bau Mulut Pun Hilang
Surat kabar Sydney Morning Herald dan The Age, sebelumnya melaporkan bahwa perusahaan milik miliarder Australia, Anthony Pratt, yakni Visy Recycling, merupakan eksportir kontainer yang telah disita oleh pihak pelabuhan Batam.
Kontainer tersebut berisi sampah plastik yang dianggap beracun di Indonesia. Visy Recycling sejauh ini belum memberikan tanggapannya atas masalah ini.
"Ini adalah masalah yang serius," kata Kepala Subdirektorat Jenderal (Kasubdit) Humas Bea Cukai, Deni Surjantoro, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (9/7/2019).
Deni mengungkapkan, pihak berwenang kini merencanakan langkah-langkah lebih keras dalam menindak perusahaan-perusahaan yang tertangkap mengimpor limbah ilegal, dan akan diumumkan secepatnya pada pekan ini. Pemerintah juga akan menyelidiki sebagian perusahaan-perusahaan yang terlibat perdagangan ilegal.
Limbah beracun yang ditemukan di dalam kontainer memang berasal dari berbagai negara. Namun, kata Deni, AS merupakan pelaku terburuk.
Ia mengatakan, masalah limbah ilegal ini dimulai setelah perubahan kebijakan di Tiongkok, yang sebelumnya merupakan importir daur ulang besar di dunia. Namun Tiongkok pada tahun lalu mulai membatasi, bahkan dalam beberapa kasus melarang impor agar lingkungannya lebih baik.
"Kebijakan Tiongkok akhirnya membuat kami memperketat proses pemantauan, yang akhirnya kami berhasil mengidentifikasi kontainer-kontainer berisi sampah yang terkontaminasi," ungkap Deni.