KPU Jangan Kecolongan Soal Manajerial Satu Pintu
Ia meminta KPU RI khususnya, agar menjaga betul manajerial satu pintu mereka.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mewanti-wanti Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI supaya jangan sampai kecolongan mengawal proses sengketa hasil Pileg di Mahkamah Konstitusi.
Ia meminta KPU RI khususnya, agar menjaga betul manajerial satu pintu mereka.
Kata Titi, jangan sampai muncul kejadian dalam persidangan di MK, ada jajaran mereka di daerah yang tiba-tiba hadir sebagai saksi ke dalam persidangan tanpa lebih dulu mendapat persetujuan KPU RI sebagai induk koordinator.
"Jangan sampai ada kebocoran. Misal ujug-ujug datang hadir sebagai saksi di MK tanpa persetujuan KPU pusat. Makanya manajerial satu pintu KPU RI jadi sangat penting. Ini menurut saya jadi pekerjaan rumah terutama KPU," ucap Titi dalam diskusi di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (15/7/2019).
Ia khawatir, bila koordinasi manajerial satu pintu tersebut tidak terjaga baik dan berujung putusan Majelis Hakim Konstitusi terhadap seseorang yang sesungguhnya dianggap tidak layak menjadi anggota DPR, DPRD atau DPD RI.
Baca: Polisi Pastikan Pelaku Penyerangan Maut di Bekasi Sudah Terindentifikasi
Maka kegagalan manajerial satu pintu milik KPU ia anggap sebagai pencederaan yang sangat fatal.
"Kalau sampai MK memutus orang tidak layak jadi anggota DPR, DPRD, DPD, itu merupakan pencederaan sangat fatal," ungkap dia.
Sebagaimana diketahui, persidangan sengketa hasil Pileg 2019 mulai digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (9/7).
MK telah meregistrasi permohonan perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Registrasi dilakukan dengan cara mencatat permohonan ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) dan penyampaian Akta Registrasi Perkara Konstitusi (ARPK) kepada para Pemohon.
Total, ada 260 perkara terverifikasi. Jika dirinci, dari 260 perkara, sebanyak 248 diajukan parpol, 1 perkara diajukan oleh Pemohon Partai Berkarya berkaitan dengan parliamentary threshold, dan 1 perkara diajukan oleh kelompok masyakarat adat di Papua.
Sementara, 10 perkara lainnya diajukan calon anggota DPD dari 6 provinsi, yaitu Sumatera Utara (2), Nusa Tenggara Barat (1), Sulawesi Tenggara (1), Maluku Utara (2), Papua (3), dan Papua Barat (1).