Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kontras Catat Ada 51 Kasus Salah Tangkap Sejak Juli 2018

"Data tersebut dihimpun mulai Juli 2018. Ada yang didapatkan dari monitoring media dan ada juga yang kita bantu pendampingan," katanya

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Kontras Catat Ada 51 Kasus Salah Tangkap Sejak Juli 2018
Humas BNN
Ilustrasi Borgol 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus salah tangkap yang dilakukan aparat penegak hukum tengah menjadi sorotan.

Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), terjadi 51 peristiwa salah tangkap sejak Juli 2018 hingga Juni 2019.

Baca: Seorang Nakhoda Ditangkap saat Sedang Rakit Bom di Perairan Bangka Belitung

"Data tersebut dihimpun mulai Juli 2018. Ada yang didapatkan dari monitoring media dan ada juga yang kita bantu pendampingan," kata Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras Arif Nur Fikri saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (18/7/2019).

Hal itu disampaikan Kontras menyikapi tuntutan empat orang korban salah tangkap kepada Kepolisian dan Kejaksaan.

Arif menjelaskan, kasus-kasus salah tangkap terjadi karena penyidik fokus pada pengakuan orang yang dituduh.

Atas dasar pengakuan tersebut, penyidik kemudian menetapkan tersangka.

Padahal, Pasal 184 Ayat 1 KUHAP menyebutkan, pengakuan seharusnya menjadi pertimbangan terakhir penyidik untuk menetapkan tersangka.

Berita Rekomendasi

"Ketika pengakuan dari terduga tersangka itu sudah didapatkan, tinggallah disusun bukti-bukti oleh penyidik. Padahal kalau di KUHAP, pengakuan dari terduga tersangka itu berada di urutan terakhir," ujar Arif.

"Fakta di lapangan, kita banyak menemukan kasus-kasus yang diduga salah tangkap itu berawal dari pengakuan orang yang disangkakan," lanjutnya.

Masalah lain, lanjut Arif, sebagian besar orang yang divonis bebas enggan melaporkan kasus salah tangkap itu.

Baca: Perajin Jepara Membuat Gelang untuk Jemaah Calon Haji

Pasalnya, laporan harus dilakukan ke Kepolisian.

"Yang ribet itu mekanisme hukumnya karena ketika korban diduga salah tangkap, dia harus melaporkan ke kepolisian terlebih dahulu. Dia harus menyertakan pembuktiannya, misalnya visum penyiksaan selama penyidikan, itu biasanya sulit karena bukti lukanya sudah tidak ada," ujar Arif.

Pengamen korban salah tangkap gugat ganti rugi

Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dituntut ganti rugi oleh LBH Jakarta atas perkara salah tangkap dalam kasus pembunuhan.

Korban salah tangkap yakni empat orang pengamen yang masih di bawah umur.

Baca: Akui Salah Tangkap Pengancam Bunuh Jokowi, Polda Metro: Wajahnya Mirip di Video

Ilustrasi Borgol
Ilustrasi Borgol (Humas BNN)

Empat pengamen bernama Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13) dan Pau (16) ditangkap Jatanras Polda Metro Jaya pada 2013 silam.

Mereka ditahan karena dituduh melakukan pembunuhan di kolong jembatan samping kali Cipulir, Jakarta Selatan.

Dalam prosesnya, polisi dituduh melakukan kekerasan terhadap empat orang anak ini agar mau mengaku melakukan pembunuhan.

Mereka akhirnya terpaksa mengaku dan kasus itu naik ke Kejaksaan hingga akhirnya di sidangkan di Pengadilan.

Mereka kemudian divonis hakim bersalah dan harus mendekam di penjara anak Tangerang.

Belakangan, keempat anak ini dinyatakan tidak bersalah dalam peristiwa pembunuhan tersebut.

Ilustrasi penjara
Ilustrasi penjara (Kompas.com)

Mereka dinyatakan tidak bersalah dalam putusan Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016. Mereka bebas pada tahun 2013.

Selang tiga tahun kemudian.

LBH Jakarta kembali memperjuangkan hak ganti rugi atas penahanan tersebut.

"Berhak ganti kerugian karena kan ditangkap, ditahan padahal mereka kan nggak bersalah. Selama ini harusnya bisa kerja, gara - gara dipidana nggak kerja kan. Hal hal seperti ini yang dituntut," kata kata kuasa hukum keempat anak tersebut, bernama Oky Wiratama yang juga anggota LBH saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (17/7/2019).

Kerugian yang dituntut pihak mereka sebesar Rp 186.600.000 untuk per anak.

Biaya itu meliputi total kehilangan penghasilan sampai biaya makan selama di penjara.

Dengan demikian, total untuk keempatnya sebesar Rp 746.400.000.

Tidak hanya tuntuan secara materi, pihaknya juga meminta pihak Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI untuk mengakui semua kesalahanya karena salah menangkap orang dan melakukan tindak intimidasi.

Baca: Polisi Sebut Status Youtuber yang Dilaporkan Garuda Indonesia Masih sebagai Saksi

"Selama ini ditahan dia nggak sekolah dan lain-lain, itu yang harus dituntut. Dan pihak kepolisian harus menyatakan bahwa memang harus mengakui kalau mereka salah tangkap, gak fair dong," ucap dia.

Hingga pukul 12.20 WIB, sidang praperadilan dengan agenda pembacaan permohonan belum dimulai karena pihak termohon, yakni Kejaksaan Tinggi DKI belum hadir.

Pengakuan salah satu korban

Fikri Pribadi, salah satu pengamen korban salah tangkap yang menuntut ganti rugi ke Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI mengisahkan kembali peristiwa di mana dia ditangkap.

Fikri Pribadi masih ingat bagaimana dia dan Fatahillah (12), Ucok (13) dan Pau (16) dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan di kolong jembatan samping Kali Cipulir, Jakarta Selatan, 2013 lalu.

Baca: Kasus Dugaan Salah Tangkap Pengamen, Polisi Klaim Sudah Sesuai Prosedur

Fikri Pribadi, Pengamen Yang Disiksa Oknum Polisi Polda Metro Jaya, Rabu (17/7/2019)(KOMPAS.com
Fikri Pribadi, Pengamen Yang Disiksa Oknum Polisi Polda Metro Jaya, Rabu (17/7/2019)(KOMPAS.com ((KOMPAS.com - Walda Marison))

Awalnya,  dia langsung melapor pihak sekuriti setempat terkait temuan itu.

Pihak sekuriti lantas melapor ke pihak polisi.

Saat polisi datang ke lokasi, Fikri dan ketiga temannya sempat diminta menjadi saksi untuk proses penyidikan.

"Polisinya bilangnya, 'Tolong ya Abang jadi saksi ya'. 'Iya enggak papa saya mau', saya jawab begitu. Tahunya pas sudah di Polda malah kami yang diteken," kata dia saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (17/7/2019).

Ketika sudah berada di Polda Metro Jaya, dia tidak hanya diperiksa, tetapi juga disiksa oleh para oknum polisi.

"Saya langsung dilakbanin, disiksa pokoknya di Polda. Disetrum, dilakbanin, dipukulin, sampai disuruh mengaku," ucap dia.

Penyiksaan tersebebut diterima mereka secara bergantian.

Mereka harus menerima penyiksaan tersebut selama seminggu.

Karena tidak kuat akan siksaan tersebut, mereka akhirnya memilih mengaku.

Mereka pun tidak tahu apa dasar polisi menuduh mereka sebagai tersangka.

Mereka akhirnya mengaku dan kasus itu naik ke kejaksaan hingga akhirnya disidangkan di pengadilan.

Mereka divonis hakim bersalah dan harus mendekam di penjara anak Tangerang.

Belakangan, Fikri dan teman-temannya dinyatakan tidak bersalah dalam peristiwa pembunuhan tersebut.

Mereka dinyatakan tidak bersalah dalam putusan Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

Dalam proses hukumnya, mereka dibantu Lembaga Bantuan Hukum untuk menjalani setiap persidangan.

Baca: Teriakan Warga Tak Dipedulikan, Seorang Wanita Tewas Tertabrak KA Ciremai

Mereka pun bebas pada 2016.

Selang tiga tahun kemudian, LBH Jakarta kembali memperjuangkan hak ganti rugi atas penahanan tersebut.

Kata polisi

Polda Metro Jaya menanggapi gugatan ganti rugi yang dilayangkan empat pengamen korban salah tangkap.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono menegaskan pihaknya merasa tidak menyalahi aturan terkait proses hukum kasus pembunuhan Dicky Maulana (20) di kolong jembatan samping Kali Cipulir, Jakarta Selatan, pada 2013.

Baca: Parpol Berebut Kursi Ketua MPR, Siapa yang Menang?

Baca: Ahok Ungkap Masa-masa di Penjara: Mereka Pikir Saya Akan Depresi Kan?

Saat itu, kepolisian menjerat empat tersangka yang masih di bawah umur, yakni Fikri, Fatahillah, Ucok, dan Pau.

Argo Yuwono mengatakan, pihaknya melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut secara profesional.

Polisi ketika itu memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan mereka sebagai tersangka.

"Polisi telah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tersebut, bukti formil dan materiil telah dipenuhi. Berkas perkara telah dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum," kata Argo saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (18/7/2019).

Baca: Penyidikan Tahap I Selesai, Polisi Serahkan 75 Tersangka Perusuh 22 Mei ke Kejari Jakbar

Baca: 1.695 Guru PNS Non Sarjana di Simalungun Dipecat

Argo Yuwono mengatakan, setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa, penyidik kemudian melimpahkan perkara kasus tersebut ke kejaksaan dan selanjutnya diproses oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Setelah dilakukan sidang tingkat satu, pelaku dinyatakan bersalah dan divonis. Tugas penyidik saat berkas perkara sudah dinyatakan lengkap dan penyerahan tersangka dan barang bukti," ujar Argo Yuwono.

Penulis : Rindi Nuris Velarosdela

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul : Catatan Kontras, Ada 51 Kasus Salah Tangkap Sejak Juli 2018 

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas