Ketidakadilan Dapat Picu Gerakan Radikal
Pengasuh pondok pesantren itu tidak mau mengibarkan bendera merah-putih di lingkungan pondok pesantren
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Ikatan Alumni Al Azhar Indonesia, TGB HM Zainul Majdi, menceritakan pengalaman melakukan upaya deradikalisasi di salah satu pondok pesantren di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Ini berdasarkan beberapa kali pengalaman ketika menangani salah satu pondok pesantren. Saya pun minta carikan saya pondok paling radikal," kata dia, Kamis (26/7/2019).
Menurut dia, pengasuh pondok pesantren itu tidak mau mengibarkan bendera merah-putih di lingkungan pondok pesantren. Hal itu dinilai sebagai bentuk perlawanan kepada pemerintah, karena merasa mendapatkan perlakuan tidak adil.
Baca: Hotman Paris & Fairuz-Sonny Obrolin Rey Utami Pisah dari Anak pasca Dipenjara, Melaney: Pasti Hancur
Baca: Cuma Dijual 1.000 Unit, Mitsubishi Pajero Sport Rockford Fosgate Black Siap Dipinang Pengunjung
Baca: Pengemudi yang Langgar Lalu Lintas dan Seret Polisi Merupakan Mahasiswa S2, Dapat Hukuman ini
Dia menilai, perlakuan tidak adil dari pemerintah dapat memicu radikalisme. Pada saat itu, kasus radikal selalu diidentikkan dengan Bima. Stigma ini tidak baik. Ini seolah bentuk ketidakberdayaan.
"Ada pondok bagus, padahal dua atau tiga tahun berdiri. Pondok itu mendapat dana aspirasi, sehingga bisa dibangun. Sementara pondok yang dipimpinnya, jangankan bangunan, jalan saja tak diperbaiki. Bahkan, ustad di pondok ini dijauhi tokoh yang ada," kata dia.
Akhirnya, pihaknya melakukan pendekatan kepada pengasuh pondok pesantren itu. Dia yang pada saat itu masih menjabat sebagai gubernur NTB, meminta jajarannya yang ikut bersama ke Bima menanyakan apa yang menjadi kebutuhan pondok untuk kemudian memenuhi dan melengkapi.
"Butuh kendaraan operasional, saya meminta segera berikan. Ini bisa diketahui setelah ada komunikasi," ujarnya.
Setelah melakukan pendekatan, belakangan salah satu murid di pondok pesantren itu menjadi pengibar bendera di kantor Gubernur NTB.
"Nah, di sini tidak naikkan bendera, tapi mendukung muridnya menjadi pengibar. Akhirnya kami semua mengajak dari musala ke tengah pondok mengibarkan bendera," tambahnya.