Jika RUU Pertanahan Disahkan Dampaknya Terjadi Deforestasi Besar-besaran
Anda bayangkan 1,8 juta kawasan hutan anggaplah hutan alam tersisa 1 juta hektare, lahan seluas itu akan segera digunduli oleh korporasi.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Sebuah lembaga swadaya masyarakat, Jikalahari melakukan penelaahan atas RUU Pertanahan yang tengah dibahas di DPR, menunjukkan bila RUU Pertanahan menjadi UU dampaknya akan terjadi deforestasi besar-besaran dengan cara melakukan pembakaran hutan dan lahan serta melegalkan kejahatan kehutanan 378 korporasi sawit yang lahannya kembali terbakar sepanjang 2019 hingga 6 juta warga Riau kembali terpapar polusi asap.
“Anda bayangkan 1,8 juta kawasan hutan anggaplah hutan alam tersisa 1 juta hektare, lahan seluas itu akan segera digunduli oleh korporasi. Lalu dibakar karena biayanya murah. Habitat flora dan fauna yang selama ini hidupnya di hutan alam, mereka akan punah secara cepat,” ujar Koordinator Jikalahari, Made Ali, Selasa (13/8) menanggapi RUU Pertanahan.
Made Ali mengingatkan, jika ini terjadi, Presiden Jokowi telah melanggar sendiri komitmen berupa moratorium sawit, moratorium hutan.
Baca: 7 Kuliner Khas yang Harus Dicoba saat Liburan ke Hong Kong, Cobain Manisnya Egg Tart
Dua kebijakan itu sebagai wujud komitmen presiden jokowi di Paris Agreement yang telah menjadi UU No 16 tahun 2016 yaitu komitmen nasional hendak menurunkan emisi berupa; pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan Indonesia. Termasuk menghentikan karhutla dengan cara merestorasi gambut akan sia-sia sebab sebagian besar 378 korporasi itu berada di atas lahan gambut. Itu artinya jokowi akan melegalkan tindakan korporasi itu merusak gambut.
Diungkapkan Made Ali , Jikalahari telah menelaah RUU Pertanahan Versi draft awal, draft versi Juni 2019 dan Versi Juli 2019. Versi Juni dan Juli 2019 adalah versi penuh kegelapan karena dibahas tersembunyi dan tertutup rapat hingga publik tidak tahu perkembangannya.
Dari penelaahan itu, Jikalahari menemukan pasal-pasal yang tidak pro pelestarian hutan dan berdampak pada pembakaran hutan dan lahan;
Pertama, Pasal 146 berbunyi; dalam hal pemegang HGU telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU dan/atau Tanah yang diusahakan belum memperoleh hak atas tanah, status HGU ditetapkan oleh menteri. Pasal ini jelas menguntungkan 378 korporasi sawit illegal dalam kawasan hutan. Dia kuasai lahan lebihi HGU yang berada dalam kawasan hutan atau tanah dalam kawasan hutan yang belum punya hak atas tanah, statua HGUnya ditetapkan Menteri ATR/BPN. Status apa? Illegal atau legal?
Kedua, kata Made Ali, memindahkan konflik tenurial pada KLHK. Terlihat dalam pasal 33 ayat 5 dan ayat 6. (5) berbunyi; dalam hal hak guna usaha diberikan atas Tanah Negara, maka pemegang hak wajib menyediakan Tanah untuk pekebun atau petani atau petambak plasma di sekitar atau yang berdekatan dengan lokasi hak guna usaha, yang luasnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas Tanah yang diberikan dengan prinsip ekonomi berkeadilan.
Lalu, Ketiga, lanjut Made Ali, pemaksaan melegalkan kejahatan kehutanan atau menghilangkan tindak pidana kehutanan bisa dilakukan dengan status HGU dari menteri atr dan bpn (lihat pasal 146 dan 33). Menteri atr dapat mengampuni kejahatan kehutanan korporasi sawit.
Tunda Saja
Berdasarkan hasil penelaahan tersebut, Jikalahari sepakat mengusulkan agar RUU Pertanahan ditunda pengesahannya karena konsekwensi dan dampak buruk yang akan terjadi. Apalagi banyak akademisi yang menolak RUUini untuk disahkan.
Baca: Kisah Bule Asal Kanada Mantan Tentara PBB Rayakan Idul Adha di Depok, Diajak RT Potong Daging Kurban
“ Saya merujuk Prof Hariadi Kartodihardjo yang menemukan korupsinya terbuka lebar dan Prof Bambang Hero Saharjo yang menilai RUU ini tidak pro pelestarian hutan jika RUU ini jadi UU,”tambahnya.
Lebih lanjut dikemukakan, sasyarakat sipil dan akademisi telah sepakat menunda RUU ini dan dilanjutkan pembahasannya pada DPR RI periode berikutnya dengan catatatan membuka ruang partisipasi publik untuk terlibat memberi masukan pada RUU tersebut.
“Oleh karenanya Presiden Jokowi sebaiknya meminta RUU Pertanahan ditunda lalu mengevaluasi kinerja Menteri ATR/BPN yang ngotot RUU ini disahkan,”ujarnya.
Diingatkan lagi oleh Made Ali, ada peluang korupsi dengan cara memeras korporasi sawit di Riau. Temuan Pansus DPRD Riau pada 2015 menemukan 378 korporasi sawit melakukan tindak pidana kehutanan berupa menanam kelapa sawit di dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri LHK.
Temuan Pansus, dari 378 perusahaan itu menguasai 1,8 juta kawasan hutan yang merugikan keuangan negara berupa tidak membayar pajak sebesar Rp 34 triliun per tahun. Temuan pansus DPR RI juga menemukan 378 perusahaan itu selain berada dalam kawasan hutan, juga menemukan menanam sawit melebihi areal izin Hak Guna Usaha (HGU).
Hasil review RUU Pertanahan versi Juli 2019 hasil pembahasan komisi II DPR RI menunjukkan DPR cenderung mengakomodir semua kepentingan Menteri ATR/BPN yang memberi kewenangan luas perihal perizinan hak atas tanah. Mengapa DPR RI lebih mendengarkan Menterk ATR dan mengabaikan suara-suara masyarakat sipil?
Peluang korupsi terbuka lebar dalam proses pembahasan RUU Pertanahan; korporasi sawit butuh lepas dari kawasan hutan tanpa perlu repot mengajukan izin agar lahannya menjadi legal dan bisa dijadikan agunan pada lembaga keuangan, oknum DPR RI butuh dana kembali baik yang kembali duduk apalagi yang tak lagi duduk di kursi DPR RI.(*)