Temuan Cacing pada Air PDAM di Tangerang Layak Dijadikan Pertimbangan Swasta Bisa Berusaha di SPAM
RUU Sumber Daya Air tidak membatasi pengusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) oleh kalangan swasta
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Baru-baru ini sejumlah warga di Kota Tangerang dikejutkan karena adanya cacing dalam aliran air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mereka gunakan.
Cacing itu dikatakan muncul akibat musim kemarau yang panjang yang membuat kualitas dan kuantitas air baku yang bersumber dari Kali Angke menurun.
Peristiwa ini mungkin bisa dijadikan pertimbangan bagi Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) dalam memantapkan putusannya untuk mengikutsertakan pihak swasta dalam pengelolaannya.
Ketua Panja RUU SDA, Lasarus mengatakan bahwa Panja tidak menginginkan adanya judicial review saat RUU ini disahkan menjadi undang-undang.
Namun, katanya, RUU SDA juga tidak membatasi pengusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) oleh kalangan swasta.
Lasarus menekankan bahwa pengaturan sistem penyediaan air minum (SPAM) berbeda dengan AMDK.
Baca: Terdampak Musim Kemarau, Belasan Wilayah di Sampang Mengalami Kekeringan hingga Kemacetan Air PDAM
"AMDK itu diatur dalam Pasal 50, sedang SPAM itu Pasal 51. Masak swasta enggak boleh mempunyai usaha di AMDK dan PHK karyawannya," ujarnya saat memimpin Rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi V DPR RI bersama Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PUPR di Jakarta belum lama ini.
Pada Rapat Panja sehari sebelumnya, 23 Agustus 2019, Direktur Jenderal SDA Hari Suprayogi secara singkat menyatakan bahwa semua Daftar Inventaris Masalah (DIM) sudah mencapai kata sepakat, dan hanya menyisakan 1 DIM terkait izin penggunaan sumber daya air.
“Semua sudah beres, hanya menunggu kesepakatan mengenai izin penggunaan sumber daya air,” tuturnya.
Terdapat 1 DIM dari 23 DIM yang dibahas dalam sidang kali saat itu yang belum menuai kata sepakat dari para peserta sidang.
Adalah DIM nomor 408 mengenai izin penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha dengan menggunakan air dan daya air sebagai materi yang masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut, apakah sistem penyediaan air minum untuk kebutuhan sehari-hari dapat melibatkan pihak swasta atau tidak.
DIM 408 menguraikan tentang Pasal 51 dari UU No. 7/2004 yang mengatur mengenai izin penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha dengan menggunakan air dan daya air sebagai materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
Baca: Ruang Rapat Bidang SDA 1 di DPUPKP Kota Yogyakarta Disegel KPK
"Di sini, kita sudah sepakat sebetulnya, walaupun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa harus dibuka peran swasta di sini. Ketika kita buka putusan MK nomor 11 dan 12, jelas bahwa SPAM hanya boleh dikuasai oleh negara karena penyediaan SPAM ini merupakan kebutuhan pokok, air untuk kebutuhan pokok," kata Lazarus.
Namun ia juga memastikan pihak swasta masih dapat berbisnis di sektor air, termasuk usaha AMDK sebagaimana diatur dalam pasal 50.
"Ada kekhawatiran teman-teman pengusaha seolah-olah tidak mendapat ruang lagi untuk berusaha di sektor air. Cuma tadi ada kata 'usaha'. Izin usaha untuk penyediaan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari disebutkan hanya boleh oleh SPAM," kata Lasarus.
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) menegaskan sektor usaha tetap memiliki hak untuk mendapatkan kepastian berusaha dengan alokasi sumber daya air yang mencukupi bagi proses produksinya agar perekonomian nasional dapat tumbuh.
PBNU memandang tidak ada masalah pengelolaan air oleh pihak swasta sepanjang ada ketegasan pengaturan oleh pemerintah. Karena itu, PBNU meminta penyusunan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) dikaji lebih mendalam agar tidak menutup ruang bagi dunia usaha.
RUU SDA jangan sampai memiliki semangat anti-industri, karena keberadaan industri ini dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Baca: Tim BKSDA DIY Bongkar Kuburan Penyu Belimbing di Pantai Imorenggo Kulonprogo
"Sepanjang diatur lewat regulasi, kalangan swasa tetap bisa diberikan izin pengelolaan air,” kata Wakil Ketua Umum PBNU, Prof Dr H Maksum Macfoed pada acara diskusi publik dengan tema “Air Untuk Semua: Perspektif NU Atas Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air” di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu, 31 Juli 2019.
Direktur CRPG Mohamad Mova Al’Afghani menegaskan Pasal 51 RUU SDA mengelompokkan air minum dalam kemasan (AMDK) ke dalam kelompok air minum yang jelas tidak tepat.
Kita menguji penjelasan pasal 51 dengan empat kriteria dan menyimpulkan bahwa AMDK tidak layak masuk dalam definisi layanan air minum.
“Kriteria tersebut adalah pandangan Mahkamah Konstitusi, parameter HAM, pendekatan teori regulasi, dan disinsentif bagi air perpipaan,” kata Mova Al’Afghani
Menurutnya, air PDAM yang mengalir ke rumah konsumen belum memenuhi kualitas air yang dapat langsung diminum. Akibatnya, pilihan air minum oleh masyarakat jatuh pada air tanah atau air PDAM yang dimasak atau mengkonsumsi AMDK.
Dengan mendefinisikan air minum mencakup AMDK dan menyatukan pengaturannya dalam pasal-pasal mengenai pelayanan air, RUU SDA akan mengakibatkan masyarakat tidak memiliki pilihan dalam memenuhi kebutuhan air minum.
Karena itu, AMDK seharusnya dicoret dari definisi air minum dan tidak diatur dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai pelayanan air.
“RUU SDA selayaknya memperhatikan dengan saksama alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam pembatalan UU No 7/2004, antara lain soal hak rakyat atas air yang hendaknya dipahami sebagai hak mendapatkan akses air bersih guna menjalankan kehidupan sehari-hari yang layak, seperti mandi, makan, minum, memasak, mencuci, dan sanitasi. Di sinilah negara berkewajiban untuk menyediakan kebutuhan minimum masyarakat atas air bersih melalui SPAM. Karenanya pengelompokan AMDK dalam pengertian air minum dalam pasal 51 merupakan hal yang keliru,” ujar Mova.