Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pendapat Komisi III DPR Tentang Sindiran Jokowi Soal Nilai Penyelamatan Uang Negara Oleh KPK

Anggaran yang diserap KPK di tahun yang sama, lebih besar dari uang negara yang diselamatkan yakni Rp 744,7 miliar.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Pendapat Komisi III DPR Tentang Sindiran Jokowi Soal Nilai Penyelamatan Uang Negara Oleh KPK
Tribunnews/Jeprima
Hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kalimantan Timur, Kayat dengan mengenakan rompi oranye dibawa ke ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (4/5/2019). Kayat terjaring OTT KPK atas kasus suap saat menerima uang senilai Rp 100 juta dari Rosa dan Jhonson di PN Balikpapan. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, menilai wajar jika Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi terkait ukuran pemberantasan korupsi dianggap menyindir kinerja KPK.

Pasalnya, ia melihat lembaga antirasuah inilah yang dinilai paling heboh dalam penanganan kasus korupsi.

Diketahui, dalam Pidato Kenegaraan di Sidang Bersama DPR dan DPD, Presiden Jokowi menyatakan pemberantasan korupsi jangan hanya diukur dari jumlah kasus dan jumlah orang dipenjarakan, tetapi diukur dari berapa potensi korupsi yang bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.

"Saya sih melihat (pidato Presiden) untuk semuanya (penegak hukum). Tapi wajar kalau kemudian dihubungkan dengan KPK. Kenapa? Karena KPK kan selalu heboh ketika menangani perkara korupsi," ujarArsul di Jakarta, Rabu (21/8/2019).

Baca: Gubernur Lukas Enembe: Kenapa Tak Terjunkan Banser untuk Bela Mahasiswa Papua yang Dipersekusi

Menurut Arsul, pidato tersebut menunjukkan kegelisahan Presiden karena kehebohan penanganan korupsi oleh KPK tidak berbanding lurus dengan penyelematan aset negara oleh lembaga tersebut.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengenakan pakaian adat Sasak NTB saat menyampaikan Pidato Kenegaraan pada Sidang Bersama DPR dan DPD RI Tahun 2019 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (16/8/2019). Pada pidatonya tersebut Jokowi menyampaikan izinnya untuk memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan. Tribunnews/Jeprima
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengenakan pakaian adat Sasak NTB saat menyampaikan Pidato Kenegaraan pada Sidang Bersama DPR dan DPD RI Tahun 2019 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (16/8/2019). Pada pidatonya tersebut Jokowi menyampaikan izinnya untuk memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Baca: Alisa Wahid Kecewa, Cak Imin Sampai Saat Ini Tak Pernah Minta Maaf ke Keluarga Gus Dur

Apalagi, biaya penanganan per kasus oleh KPK disebutnya lebih besar dibandingkan dengan Polri dan Kejaksaan.

Berita Rekomendasi

"Tidak bisa dipungkiri, (kegelisahan) ini juga yang dirasakan oleh Presiden. Terlebih anggarannya (KPK) lebih besar per satuan penanganan kasus korupsi dibanding dua penegak hukum yang lain," katanya.

Baca: Penuturan Ayam Kampus Kota Palembang: Terjerumus ke Dunia Kelam karena Pacar, Enggan Jadi Simpanan

Dia mengutip laporan 'Capaian dan Kinerja KPK Tahun 2018' yang dilansir website resmi KPK.

Misalnya tertulis pada 2018, KPK melakukan sebanyak 28 OTT atau yang terbanyak sepanjang sejarah berdirinya lembaga tersebut, dengan penyelamatan uang negara sebesar Rp 500 miliar.

Baca: Inilah Benny Wenda, Sosok yang Disebut Tokoh di Balik Rusuh Papua dan Kini Bermukim di Inggris

Namun anggaran yang diserap KPK di tahun yang sama, lebih besar dari uang negara yang diselamatkan yakni Rp 744,7 miliar.

Sementara, penyelamatan uang negara oleh Polri dari kasus korupsi jauh lebih tinggi dari KPK, yakni Rp 2,3 Triliun pada 2018. Kemudian di tahun yang sama, Kejaksaan menyelamatkan Rp 326 miliar.

Arsul menambahkan, Presiden ingin mengajak para pemangku kepentingan, baik penegak hukum maupun elemen masyarakat sipil, untuk sama-sama mengubah ukuran dan paradigma pemberantasan korupsi. Dari parameter memenjarakan sebanyak-banyakan dan seberat-beratnya orang, menjadi menyelamatkan sebesar-besarnya uang negara.

Tersangka kasus suap hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kalimantan Timur, Sudarman dengan mengenakan rompi oranye dibawa ke ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (4/5/2019). Sudarman bersama Jhonson Siburian terjaring OTT KPK dan ditetapkan sebagai tersangka seusai memberikan uang kepada hakim Kayat sesuai dengan yang telah mereka sepakati. Tribunnews/Jeprima
Tersangka kasus suap hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kalimantan Timur, Sudarman dengan mengenakan rompi oranye dibawa ke ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (4/5/2019). Sudarman bersama Jhonson Siburian terjaring OTT KPK dan ditetapkan sebagai tersangka seusai memberikan uang kepada hakim Kayat sesuai dengan yang telah mereka sepakati. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)

"Tidak berarti kemudian hukuman penjaranya diringankan. Tapi kalau kita cuma ramai dengan hukuman penjara, sementara melupakan aspek recovery (pengembalian) atau remedialnya (perbaikan), ya makanya korupsi tinggal korupsi," kata dia.

Arsul menilai, paradigma lama hukuman seberat-beratnya bagi pelaku korupsi selama ini terus ditanamkan oleh LSM ke benak masyarakat, tanpa pernah mempersoalkan aspek penyelematan atau pengembalian uang negara.

"LSM macam ICW itu kan selalu menyorotinya tentang berat ringannya hukuman pidana, bukan soal recovery-nya, bukan soal remedial atas kerugian negara itu. Karena hukuman berat itu katanya akan menimbulkan efek jera, tapi itu (efek jera) kan tidak terjadi," kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas