Akar Masalah BPJS Kesehatan, Rumah Sakit Nakal hingga Data Tidak Valid
Dalam 4 tahun terakhir, pemerintah menyuntikkan dana Rp 25,7 triliun. Namun, defisit BPJS Kesehatan tetap menganga
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan masih jauh dari kata sempurna, padahal sistem ini sudah berjalan 5 tahun.
Berbagai masalah muncul dan pada akhirnya membuat defisit BPJS Kesehatan. Pada 2018, misalnya, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 19,4 triliun.
Padahal, tidak terhitung berapa kali pemerintah menggelar rapat soal defisit BPJS Kesehatan, baik di tingkat menteri maupun tingkat kabinet yang dipimpin langsung presiden.
"Beberapa persoalan harus diatasi apabila ingin jaminan kesehatan nasional ini bisa berjalan berkelanjutan," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Dalam 4 tahun terakhir, pemerintah menyuntikkan dana Rp 25,7 triliun. Namun, defisit BPJS Kesehatan tetap menganga karena jumlahnya mencapai Rp 49,3 triliun sejak 2015.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sudah menyelesaikan audit sistem JKN. Ada beberapa akar masalah yang membuat BPJS Kesehatan defisit.
Apa saja akar-akar masalah itu? Berikut seperti disampaikan Sri Mulyani.
1. Rumah sakit nakal
Berdasarkan audit, BPKP menemukan banyak rumah sakit rujukan yang melakulan pembohongan data.
Hal ini terkait dengan kategori rumah sakit sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Pertama (FKRTL) BPJS Kesehatan.
Saat ini rumah sakit FKRTL memiliki kategori mulai dari A hingga D. Setiap kategori memiliki biaya per unit pasien yang berbeda. Biaya paling tinggi ialah kategori A dan paling rendah D.
Untuk mendapatkan penggantian dari BPJS Kesehatan, banyak rumah sakit yang menaikkan kategori.
"Misalnya D dia ngakunya C, B ngakunya A. Ini supaya dapat per unit lebih besar," kata dia.
Agar hal ini tidak terjadi lagi, kata Sri Mulyani, Menteri Kesehatan dan jajarannya sedang melakukan review ulang kelas rumah sakit.
2. Layanan lebih banyak dari peserta
Audit BPKP juga mengungkap bahwa terjadi penggunaan layanan sebanyak 233,9 juta layanan, padahal total peserta JKN hanya 223,3 juta orang.
Rincian penggunaan layanan meliputi 147,4 juta layanan di puskesmas atau klinik, 76,8 juta layanan rawat jalan di rumah sakit, dan 9,7 juta layanan rawat inap.
3. Perusahaan main-main
Akar masalah defisit BPJS Kesehatan lainnya ialah ditemukannya upaya perusahaan mengakali iuran BPJS Kesehatan.
Saat ini perusahaan yang sudah mendaftar sebagai peserta berkewajiban membayarkan 4 persen dari 5 persen dari gaji pokok karyawan untuk iuran BPJS Kesehatan.
Agar bayar iuran yang lebih kecil, perusahaan melaporan jumlah karyawan lebih kecil dari jumlah sebenarnya kepada BPJS Kesehatan.
Selain itu, ada juga perusahaan yang sudah terdaftar di BPJS Kesehatan tetapi melaporkan gaji karyawan lebih kecil dari yang dibayarkan.
Tujuannya sama, yakni untuk mengurangi beban perusahaan di dalam membayarkan kewajiban, baik dari sisi badan usaha maupun pegawai.
Baca: Defisit BPJS Kesehatan Terus Membengkak, Menkeu Sri Mulyani Diminta Lebih Cekatan Siapkan Talangan
4. Peserta aktif rendah
Audit BPKP juga menemukan bahwa tingkat kepesertaan aktif dari pekerja bukan penerima upah masih rendah, yaitu 53,7 persen. BPJS berjanji angka itu ke 60 persen.
5. Data tidak valid
Akar masalah selanjutnya ialah validitas dan integritas data BPJS Kesehatan. Hal ini disebabkan perpindahan sistem Akses, Jamkesda, dan Jamkesmas ke BPJS Kesehatan.
BPKP menemukan ada peserta yang harusnya tidak masuk sistem BPJS Kesehatan justru masuk ke dalam sistem. Selain itu, ditemukan juga peserta yang tidak memiliki NIK, bahkan nama ganda.
"BPJS terus melakukan pembersihan dan kami akan memonitor. Kami harapkan sampai 2019 ini sudah clear," kata perempuan yang kerap disapa Ani itu.
6. Manajemen klaim
Akar masalah lain ialah berhubungan dengan sistem di BPJS Kesehatan sendiri. BPKP menemukan ada yang klaim ganda peserta, bahkan ada klaim dari peserta yang sudah meninggal.
Selain itu, ungkap Sri Mulyani, ada juga peserta tidak aktif tetapi klaimmya bisa dicairkan. Kata dia, BPJS berargumentasi itu tidak mungkin, tetapi BPKP menemukannya dalam audit.
"Sampai ada orang yang sudah meninggal, klaimnya masih masuk," tutur Sri Mulyani.
Audit BPKP dilalukan di 25.528 fasilitas kesehatan yang masuk dalam sistem JKN. BPKP melihat jumlah akses kepesertaan dan klaim yang peserta sampaikan kepada BPJS.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Akar Masalah Defisit BPJS Kesehatan, Peserta yang Sudah Meninggal Pun Bisa Klaim..."