Pusat Kajian Antikorupsi FH Undip Sebut Revisi UU KPK Cacat Hukum
Terakhir, pengesahan RUUperubahan UU KPK tidak melalui asesmen masyarakat dan seakan menjadi operasi senyap DPR untuk melemahkan KPK.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Kajian Antikorupsi (PUSAKA) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, menolak rencana merevisi undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Karena Ketua PUSAKA FH Undip, Pujiyono menilai revisi tersebut menyalahi unsur prosedur formal dan secara substansial mengandung upaya pelemahan KPK
"PUSAKA FH UNDIP menyatakan menolak kesepakatan DPR RI untuk merevisi undang-undang KPK karena menyalahi unsur prosedur formal dan secara substansial mengandung upaya pelemahan KPK," tegas Pujiyono kepada Tribunnews.com, Senin (9/9/2019).
Baca: Wiranto Sulit Bedakan Kehadiran Wartawan Asing di Papua dengan Provokator
PUSAKA FH UNDIP menjelaskan sejumlah unsur prosedur yang dilanggar. Pertama, pengesahan RUU KPK tidak termasuk dalam RUU prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2019 karena bukan RUU yang menjadi urgensi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia.
Kedua, pengesahan RUU KPK cacat hukum karena bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur bahwa penyusunan RUU dilakukan berdasarkan Prolegnas.
Ketiga pengesahan RUU KPK cacat hukum karena bertentangan dengan Pasal 65 huruf d Tata Tertib DPR RI yang menyatakan bahwa, “Badan legislasi bertugas: (d) menyiapkan dan menyusun RUU usul Badan Legislasi dan/atau anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas yang sudah ditetapkan."
Baca: Jokowi Minta Menteri Hukum dan HAM Pelajari Revisi UU KPK
Selain itu, pengesahan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 65 huruf f Tata Tertib DPR RI yang menyebutkan bahwa Badan legislasi bertugas memberikan pertimbangan terhadap RUU yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar RUU yang terdaftar dalam program legislasi nasional untuk dimasukkan dalam program legislasi nasional perubahan.
Terakhir, pengesahan RUUperubahan UU KPK tidak melalui asesmen masyarakat dan seakan menjadi operasi senyap DPR untuk melemahkan KPK.
Ia juga menjelaskan, ada sejumlah unsur substansi yang berpotensi melemahkan fungsi KPK dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pertama kedudukan KPK. KPK akan menjadi lembaga eksekutif bukan Lembaga Negara Independen yang berhubungan dengan kekuasaan yudikatif. Hal itu berarti KPK tidak lagi Lembaga negara independen.
Kedua, pembentukan Dewan Pengawas KPK, secara sistematis akan membuat kerja KPK sangat birokratis, kaku dan tidak independen.
Ketiga, KPK dapat melakukan penyadapan hanya jika telah mendapatkan izin dari dewan pengawas, hal ini menjadi pelemahan fungsi intelijen KPK.
Keempat, kewenangan Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dengan diberikan kewenangan SP3 kepada KPK maka penanganan kasus lama tidak dapat dilakukan karena KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara.
Terakhir, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Berpotensi ada ruang tawar menawar dalam penangan perkara. Padahal UU KPK saat ini menganut prinsip kehati-hatian. Hal ini menyebabkan terjadinya pelemahan terhadap KPK.
Karena itu PUSAKA FH Undip menuntut kepada DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU KPK.
Sebab prosedur pengesahan RUU sudah cacat hukum dan substansi RUU KPK dapat melemahkan institusi KPK.
Selain juga, tidak ada urgensi untuk merevisi UU KPK.
Selain itu PUSAKA FH Undip juga meminta kepada Presiden RI Joko Widodo agar tidak mengeluarkan surat presiden (surpres) kepada DPR.
"Kami menilai jika presiden menyepakati pembahasan RUU KPK hal itu mengindikasikan presiden telah tunduk terhadap kuasa politik dan kuasa modal," jelasnya.
Menurut dia, presiden seharusnya berani dan berintegritas dalam mengambil keputusan yang sejalan dengan penguatan Lembaga KPK sebagai Lembaga independen yang selama ini telah membantu dan berprestasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Seharusnya Presiden berterima kasih kepada KPK. Sehingga kami menuntut presiden Joko Widodo untuk menolak pembahasan dan pengesahan RUU KPK, demi terwujudnya Indonesia yang lebih berintegritas, bebas dari korupsi sesuai amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Nilai luhur Pancasila," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, Jokowi telah membaca draft revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi pun meminta Yasonna untuk mempelajari naskah revisi UU KPK yang diusulkan DPR.
"Saya diberikan draf revisi UU KPK untuk saya pelajari, itu saja dulu. Kami akan pelajari dulu. Kami lihat nanti seperti apa," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/9/2019).
Menurut dia, ada beberapa poin dalam revisi UU KPK yang menjadi perhatian Jokowi. Kendati begitu, Yasonna enggan menyebutkan apa hal yang menjadi fokus Jokowi tersebut.
"Kami harus mempelajari dulu. Pokoknya ada concern ini harus dipelajari, hati-hati," kata Yasonna.
Yasonna memastikan Jokowi belum mengirimkan surat presiden (supres) ke DPR. Pemerintah, katanya, akan terlebih dahulu membaca draft revisi UU KPK tersebut, sebelum memberikan tanggapan ke DPR.
"Sampai sekarang belum. Kami harus baca dulu kan, ada beberapa (catatan)," ujar Yasonna.