Calon Pimpinan KPK Dari Kejaksaan Bela Korps Adhyaksa Terkait Banyaknya Oknum Jaksa Terjaring OTT
Calon Pimpinan KPK dari unsur Jaksa Johanis Tanak membela lembaganya terkait banyaknya jaksa yang terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
![Calon Pimpinan KPK Dari Kejaksaan Bela Korps Adhyaksa Terkait Banyaknya Oknum Jaksa Terjaring OTT](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/uji-capim-kpk-johanis-tanak_20190912_182533.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Pimpinan KPK dari unsur jaksa Johanis Tanak membela lembaganya terkait banyaknya jaksa yang terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Menurutnya, jaksa yang terjaring OTT hanya segelintir saja dibandingkan jumlah jaksa yang jumlahnya mencapai 10 ribu.
"Jadi menurut hemat saya ini tidak bisa digeneralisir bahwa Kejaksaan ini begini, Jaksa itu pada umumnya begini, saya kira tidak seperti itu," katanya dalam fit and proper tes Capim KPK, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Baca: Kesebelasan Universitas Muhammadiyah Malang Melenggang ke Final LIMA Football National
Ia mengatakan jaksa yang terjaring OTT KPK merupakan jaksa yang memiliki integritas yang kurang baik.
Ada kesalahan dalam melakukan rekrutmen oleh kejaksaan sehingga, orang yang integritasnya kurang baik bisa masuk ke kejaksaan.
"Mungkin perlu ada perbaikan-perbaikan lagi ke depan sehingga tidak ada Jaksa yang ditangkap terkait dengan korupsi," katanya.
Baca: Intip Foto Legenda Saat BJ Habibie Membonceng Presiden Soeharto
Pernyataan Johanis tersebut merespon pertanyaan anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra, Faisal Muharrami Saragih.
"Belakangan ada oknum Jaksa, terkena OTT oleh KPK. Bagaimana korupsi di Kejaksaan. Di Kejaksaan ada fungsi Tipikor, sementara KPK hanya didirikan untuk triger Mechanism, kalau bapak yang terbaik di kejaksaan dalam menangani Tipikor, namun bapak dipindah ke KPK, bagaimana nasib kejaksaan," katanya.
Setuju UU KPK direvisi
Komisi III DPR RI meminta pendapat para calon pimpinan KPK soal revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Satu di antaranya Capim dari unsur Jaksa, Johanis Tanak.
Johanis Tanak diketahui mendapatkan giliran kedua mejalani fit and proper tes Capim KPK di Komisi III DPR RI, Kamis (11/9/2019).
Johanis Tanak setuju dengan Revisi UU KPK.
Ia setuju dengan pembentukan dewan pengawas seperti dalam Revisi UU KPK.
Baca: Cerita Mantan Ajudan Pribadi Diajari BJ Habibie Teknik Fotografi di Taman Rumah
Ia setuju pembentukan dewan pengawas, karena sistem pengawasan internal tidak cukup efektif.
Johanis mencontohkan di Kejaksaan Agung ada Jaksa Muda Pengawasan (Jamwas) yang melakukan pengawasan terhadap pegawai Kejaksaan terkait pelanggaran disiplin.
Pengawasan tersebut tidak cukup karena bisa saja tidak objektif dalam melakukan pemeriksaan.
"Hal ini sudah dilakukan Kejaksaan, ada yang indisipliner mengarah pada tindak pidana, dihukum, termasuk tindak pidana korupsi," katanya.
Baca: Anggota Polsek Raya Polres Simalungun Kritis Usai Dikeroyok Sejumlah Pemuda
Selain dewan pengawasan, Johanis juga setuju dengan pemberian kewenangan menghentikan penyidikan kepada KPK (SP3).
Menurutnya SP3 memberikan ruang untuk memperbaiki kesalahan dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Manusia menurutnya tidak luput dari kesalahan.
"SP3 kalau ada kekeliruan ditetapkannya seorang menjadi tersangka berlarut-larut dan tidak bisa dibuktikan maka perlu SP3," katanya.
Masukan Alexander Marwata
Isu dugaan pelanggaran kode etik berat yang pernah dilakukan mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Pol Firli Bahuri mendominasi uji kalayakan yang dijalani calon petahana pimpinan KPK 2019-2023, Alexander Marwata di Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/9/2019).
Firli yang juga menjadi kandidat calon pimpinan KPK diduga melakukan pelanggaran kode etik berat saat bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi yang pernah menjadi saksi kasus suap PT Newmont Nusa Tenggara.
Belajar dari kasus tersebut Marwata mengajukan usulan agar Pasal 36 poin (a) UU KPK agar direvisi.
Poin tersebut berbunyi melarang pimpinan KPK mengadakan hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.
Marwata memberi masukan agar pelanggaran yang masuk dalam kategori tersebut harus diberi kriteria telah terjadi kesepakatan terlebih dahulu.
“Ini sekalian saya beri masukan Revisi UU KPK terutama pada pasal 36 poin (a) tersebut. Kalau ketemunya tidak direncanakan bagaimana, harusnya bisa dikenakan pasal itu bila ada kesepakatan terlebih dahulu. Kalau ketentuannya seperti itu bisa-bisa lima pimpinan KPK kena semua,” ungkapnya.
Baca: Hadiri Prosesi Pemakaman, WNA Australia: Sosok Habibie Mendunia
Marwata pun mengusulkan agar pada poin itu ditegaskan ketentuan tersebut berlaku bila pertemuan yang melibatkan pimpinan KPK dan tokoh yang pernah terkait kasus tindak pidana korupsi bisa berdampak pada terhambatnya proses penanganan perkara.
“Saya pernah diundang Pak Bambang Soesatyo, ke Semarang saya ketemu Pak Ganjar Pranowo, lalu diundang ke Istana ketemu Zumi Zola sebelum tersangka, perlu ditegaskan bahwa ketentuan itu berlaku jika pertemuan bisa menghambat proses penanganan perkara,” terangnya.
Marwata mengaku kasus yang menimpa Firli sempat membuat lima pimpinan KPK kebingungan.
Sebelumnya Ketua KPK RI Saut Situmorang menjelaskan dalam konferensi pers kemarin Rabu (11/9/2019) bahwa hasil pemeriksaan DPP KPK menyatakan Firli Bahuri diduga melakukan pelanggaran kode etik berat.
Saut mengatakan pemeriksaan terhadap Firli dilakukan DPP KPK sejak 21 September 2018 dan sudah disampaikan ke pimpinan pada 23 Januari 2019.
Lebih lanjut Marwata merasa heran ada pimpinan KPK yang menggelar konferensi pers tersebut karena sebelumnya tiga dari lima pimpinan KPK setuju kasus dugaan pelanggaran kode etik Firli ditutup karena yang bersangkutan kini sudah ditarik kembali ke institusi asal yakni Polri.
Berdasarkan sistem kepemimpinan kolektif kolegial yang diterapkan di KPK maka keputusan yang diambil oleh lembaga adalah suara mayoritas.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.