Perjalanan Revisi UU KPK Sejak Tahun 2010 hingga Kini Disahkan, Dahulu SBY Menolak
Perjalanan Revisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sejak Tahun 2010 hingga Kini Disahkan, Dahulu SBY Menolak
Editor: Suut Amdani
TRIBUNNEWS.COM - Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi wacana berulang sejak beberapa tahun terakhir.
Rencana merevisi regulasi ini pertama kali muncul pada era presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, pada masa itu, rencana ini tak berhasil direaliasikan. Hingga pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, rencana merevisi UU KPK terwujud.
Dalam hitungan hari saja, revisi UU KPK dengan mulusnya disahkan di DPR RI pada Selasa (17/9/2019).
Jokowi menunjukkan sikap yang berbeda saat sebelum dan sesudah Pemilihan Presiden 2019.
Hanya butuh sepekan bagi Jokowi memberi lampu hijau bagi revisi UU KPK yang diusulkan DPR.
Revisi UU yang dianggap melemahkan KPK ini resmi diusulkan menjadi inisiatif DPR RI dalam rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019). Pengesahan berjalan senyap dan mulus.
Baca: Simak Lagi 7 Poin Revisi UU KPK yang Hangat Dibincangkan, Komentar Fahri Hamzah hingga Sujiwo Tejo
Padahal, saat wacana itu kembali menguat pada periode pertama Jokowi, ia tegas meminta pembahasannya ditunda.
Berikut perjalanan revisi UU KPK, dari wacana yang terus diundur hingga kini disahkan:
2010
Upaya revisi UU KPK pertama kali diwacanakan oleh Komisi III DPR yang dipimpin politikus Partai Demokrat, Benny K Harman, pada 26 Oktober 2010.
Pertengahan Desember 2010, DPR dan pemerintah menetapkan revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011 sebagai usul inisiatif DPR.
Namun, hingga akhir tahun 2011, DPR belum berhasil membahas revisi UU KPK.
2012
DPR bersama pemerintah kembali memasukkan revisi UU KPK dalam daftar RUU prioritas Prolegnas 2012.
Kali ini, Komisi III mulai serius merumuskan draf revisi UU KPK. Namun, upaya revisi langsung menuai kritik karena komisi hukum menyusun draf yang dianggap banyak pihak dapat melemahkan KPK ini.
Salah satu poin yang dianggap melemahkan yakni penghilangan kewenangan penuntutan, adanya mekanisme penyadapan yang harus meminta izin ketua pengadilan negeri, serta dibentuknya dewan pengawas.
Pimpinan KPK saat itu turut bereaksi keras menanggapi revisi tersebut.
Pada 19 September 2012, Abraham Samad yang saat itu menjabat Ketua KPK mengatakan bahwa revisi dapat mempereteli kewenangan lembaga yang dipimpinnya.
"Kalau penuntutan maupun penyadapan dipereteli, mendingan KPK dibubarkan saja," kata Abraham saat itu.
SBY akhirnya menolak revisi UU KPK karena timing-nya diangap tidak tepat, meski sebelumnya Partai Demokrat sempat mendukung revisi UU tersebut.
Penolakan tersebut disampaikan SBY dalam pidatonya saat menanggapi konflik antara KPK dan Polri.
"Pemikiran dan rencana revisi UU KPK sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK sebenarnya dimungkinkan. Tetapi, saya pandang kurang tepat untuk dilakukan saat ini. Lebih baik sekarang ini kita tingkatkan sinergi dan intensitas semua upaya pemberantasan korupsi," kata SBY di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/10/2012).
Seiring dengan penolakan dari berbagai pihak yang semakin kencang pada 9 Oktober 2012, Komisi III angkat tangan dalam pembahasan revisi UU KPK.
Komisi III menyerahkan sepenuhnya proses pembahasan ke Badan Legislasi DPR.
Proses di Baleg tidak berlangsung begitu alot layaknya di Komisi III DPR.
Pada 17 Oktober 2012, semua fraksi yang ada di Baleg sepakat untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK.
"Dari sembilan fraksi yang disampaikan masing-masing poksi (kelompok fraksi), keseluruhannya menyatakan bahwa penghentian pembahasan terhadap draf RUU Nomor 30 Tahun 2002 minta dihentikan. Keseluruhan fraksi sudah setuju," ujar Ketua Baleg Ignatius Mulyono yang memimpin rapat pleno Baleg saat itu.
Sejak saat itu, pembahasan revisi UU KPK tidak dilanjutkan sampai akhirnya Jokowi terpilih sebagai Presiden.
2015
Proses tarik-ulur revisi UU KPK pada era Jokowi jauh lebih kencang. Selama 2015, revisi UU KPK dua kali mencuat. Lagi-lagi, pembahasannya ditunda.
Upaya revisi UU KPK pada era Jokowi mulai mencuat pada 23 Juni 2015. Sidang paripurna memasukkan revisi UU KPK dalam prioritas Prolegnas 2015.
Tidak ada satu pun fraksi yang menolak revisi UU KPK. DPR beralasan dimasukkannya RUU KPK dalam Prolegnas 2015 karena usulan dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Pada 7 Oktober 2015, draf revisi UU KPK mulai dibahas dalam rapat Baleg DPR.
Draf tersebut mengatur pembatasan usia institusi KPK hanya sampai 12 tahun, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan.
Kemudian, membatasi proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri hingga membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani oleh KPK.
Baca: Dewan Pengawas Gantikan Keberadaan Penasihat KPK, Tsani Annafari: Secara De Jure Saya Sudah Selesai
Revisi UU KPK saat itu diusulkan oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi. Sebanyak 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 orang dari Fraksi Nasdem, 9 orang dari Fraksi Golkar, 5 orang dari Fraksi PPP, 3 orang dari Fraksi Hanura, dan 2 orang dari Fraksi PKB.
Kendati demikian, hanya PDI-P yang paham dan mengerti mengenai isi draf tersebut.
Tak butuh waktu lama, rencana revisi ini kembali mendapat penolakan yang keras dari publik, termasuk internal KPK.
Pada 13 Oktober 2015, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK hingga masa sidang selanjutnya.
Kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bertemu dalam rapat konsultasi di Istana Negara.
Menko Polhukham Luhut Panjaitan menyatakan, alasan penundaan karena pemerintah merasa masih perlu memastikan perbaikan ekonomi nasional berjalan baik.
"Kita sudah sepakat mengenai penyempurnaan Undang-Undang KPK itu kita masih menunggu pada persidangan yang akan datang," kata Luhut.
Dalam rapat konsultasi tersebut, disepakati poin yang akan direvisi mengerucut menjadi empat hal, yakni pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, pengaturan kembali kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan badan pengawas KPK.
Pada 27 November 2015, upaya merevisi UU KPK kembali berlanjut. Baleg DPR dan Menkumham menyetujui revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR.
Pada 15 Desember 2015, rapat paripurna di DPR RI memutuskan untuk memasukkan RUU KPK dan RUU Pengampunan Pajak dalam Prolegnas 2015.
Keputusan tersebut dilakukan secara mendadak pada hari-hari akhir masa sidang anggota DPR RI, yang akan reses pada 18 Desember 2015.
Namun, proses pembahasan tak selesai dilakukan.
2016
Selanjutnya, pada 26 Januari 2016, DPR kembali menyepakati revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2016.
Hanya Fraksi Partai Gerindra yang menolak revisi UU KPK.
Pada 1 Februari 2016, revisi UU KPK mulai dibahas dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi di DPR RI.
Anggota Fraksi PDI-P Risa Mariska dan Ichsan Soelistyo hadir sebagai perwakilan pengusul revisi UU tersebut.
Draf yang dibahas memang hanya mencakup empat poin, yakni pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, pengaturan kembali kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan badan pengawas KPK.
Namun, empat poin tersebut dianggap dapat melemahkan KPK dan tetap mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan.
Tak hanya Gerindra, lama-kelamaan fraksi Demokrat dan PKS belakangan ikut menolak draf revisi tersebut.
Pimpinan KPK yang sudah dipimpin Agus Rahardjo juga ikut menolaknya.
Seiring dengan derasnya penolakan, rapat paripurna penetapan revisi UU KPK untuk menjadi inisiatif DPR sudah tertunda sebanyak dua kali.
Sehari menjelang paripurna yang dijadwalkan untuk ketiga kalinya pada Februari 2016, pimpinan DPR kembali melakukan rapat konsultasi dengan presiden.
Pertemuan tersebut sepakat untuk kembali menunda revisi UU KPK. Kali ini, tak ada substansi revisi yang diubah.
Presiden dan DPR sepakat menunda karena menganggap revisi rencana revisi UU KPK perlu mendapat kajian lebih mendalam, termasuk sosialisasi terhadap masyarakat.
Tak ditentukan berapa lama waktu penundaan ini.
"Saya hargai proses dinamika politik yang ada di DPR, khususnya dalam rancangan revisi UU KPK. Mengenai rencana revisi UU KPK tersebut, kami bersepakat bahwa revisi ini sebaiknya tidak dibahas saat ini, ditunda," ujar Jokowi.
2017
Setahun berselang, wacana itu kembali bergulirpada Maret 2017. Diam-diam, Badan Keahlian DPR telah melakukan sosialisasi di Universitas Andalas dan Universitas Nasional terkait wacana revisi UU KPK.
Menyusul dua universitas lainnya, yakni Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sumatera Utara.
Beberapa poin revisi yang disosialisasikan di antaranya mengenai pembatasan umur KPK, pembentukan dewan pengawas, hingga keharusan KPK meminta izin melakukan penyadapan.
Baca juga: Revisi UU KPK Disahkan, Aktivis Bentangkan Poster Koruptor Menang di Depan DPR
Mencuatnya wacana ini bertepatan dengan penanganan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik. Kedua hal itu dianggap saling terkait.
Revisi UU KPK saat itu hampir bersamaan dengan dibentuknya panitia khusus hak angket DPR terhadap KPK terkait penanganan kasus e-KTP.
Pegiat antikorupsi sebenarnya sudah menaruh curiga, pansus hak angket akan merembet ke revisi UU KPK.
Ternyata, kecurigaan itu tak sepenuhnya salah. Sebab, pembahasan itu diam-diam juga bergulir di DPR pada tahun 2017.
2019
Wacana revisi UU KPK kembali muncul setelah sekian lama mengendap di DPR.
Bak operasi senyap, tiba-tiba saja DPR mengagendakan rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislasi atas revisi UU KPK.
Sejak wacana ini menjadi polemik, Baleg tidak pernah mempublikasikan rapat pembahasan draf rancangan undang-undang.
Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu mengatakan, rencana revisi UU KPK memang sudah menjadi pembahasan sejak 2017.
Menurut dia, semua fraksi di DPR dan pemerintah sepakat akan rencana itu.
"Ya itu kan sudah lama ada di Baleg. Pemerintah dan DPR kan sudah 2017 lalu menyepakati untuk dilakukan revisi terbatas terhadap UU KPK itu," ujar Masinton.
Masinton mengatakan, poin revisi UU KPK saat ini tidak jauh berbeda dengan draf pada 2017 lalu.
Perubahan menyangkut beberapa hal, antara lain terkait penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), dan status kepegawaian KPK.
Poin perubahan ini juga tidak jauh berbeda dengan rekomendasi Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK (Pansus Hak Angket KPK) terkait hasil penyelidikan terkait pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diumumkan pada 2018.
"Revisi terkait dengan penyadapan, dewan pengawas, kewenangan SP3 dan tentang pegawai KPK," kata Masinton.
Adapun substansi revisi yang disepakati menyangkut enam poin perubahan kedudukan dan kewenangan KPK.
Baca juga: DPR Sepakati Kewenangan Pilih Dewan Pengawas KPK Diserahkan ke Presiden
Poin pertama, kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bersifat independen.
Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.
Sementara itu, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.
Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas.
Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu, sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.
Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.
Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3.
Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.
(Kompas.com/Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jalan Panjang Revisi UU KPK, Ditolak Berkali-kali hingga Disahkan"
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.