Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dari Sudut Pandang Teori Kausalitas, ICW Sebut DPR dan Pemerintah Dendam Terhadap KPK

Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat keputusan tersebut melalui sudut pandang teori kausalitas

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Dari Sudut Pandang Teori Kausalitas, ICW Sebut DPR dan Pemerintah Dendam Terhadap KPK
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus menggelar demonstrasi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/9/2019). Dalam aksinya yang hingga sampai malam, mereka menolak Revisi UU KPK yang baru saja disahkan oleh DPR RI. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW)  masih menyoroti pengesahan UU KPK yang telah direvisi.

ICW melihat keputusan tersebut melalui sudut pandang teori kausalitas. 

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan dari sudut pandang itu pemerintah dan DPR diduga mempercepat pembahasan revisi UU KPK lantaran dendam dengan KPK. 

"Sebenarnya sangat mudah untuk menarik teori kausalitas, di mana seakan DPR dendam dengan KPK atau mungkin pemerintah dendam dengan KPK sehingga pembahasan revisi Undang-Undang KPK ini kurang dari 15 hari," ujar Kurnia, di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (20/9/2019).

Teori itu merujuk pula pada jumlah anggota DPR hingga petinggi parpol yang menjadi pesakitan pasca diungkap oleh lembaga antirasuah tersebut selama lima tahun terakhir. 

Baca: Komisi VIII akan Bahas Permintaan Muhammadiyah Tunda Pengesahan RUU Pesantren

Kurnia menyebut 23 anggota DPR menjadi tersangka pada periode 2014-2019.

Selain itu, ada pula 5 Ketua Umum partai politik yang juga menjadi tersangka, seperti Setya Novanto hingga Romahurmuziy. 

Berita Rekomendasi

"Sehingga publik sangat mudah membacanya, oh karena ini pasti mereka mengebut pembahasan revisi UU KPK," kata dia.

ICW turut pula menyinggung soal RUU Pemasyarakatan yang juga dinilai bermasalah lantaran koruptor menjadi lebih mudah mendapatkan remisi.

Sehingga, Kurnia pun menilai masalah yang mendera KPK lengkap sudah. Terutama dengan ditunjukknya lima Pimpinan KPK jilid V yang diduga memiliki masalah. 

"KPK juga diperlemah dengan revisi UU KPK dan ketika pelaku korupsi masuk dipenjara, maka dia akan mendapatkan kemudahan-kemudahan untuk pengurangan hukuman melalui undang-undang pemasyarakatan, dan yang juga menjadi persoalan adalah delik-delik tentang korupsi juga masih masuk dalam RKUHP. Yang mana hukumannya juga diperingan," tandasnya. 

Diajukan ke MK untuk diuji materiil

Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (Semmi) Jakarta berencana mengajukan permohonan uji materi atau judicial review terhadap hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Upaya itu dilakukan karena Semmi Jakarta menilai ada upaya melemahkan KPK. Upaya pelemahan tidak hanya dari revisi Undang-Undang KPK, tetapi juga pemilihan Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023.

"Kami akan menyusun (uji materi,-red) bersama tim hukum," kata Ketua Umum Semmi Jakarta Raya, Yaser Hatim, kepada wartawan, Jumat (20/9/2019).

Dia mengungkapkan sejumlah upaya melemahkan komisi anti rasuah. Pertama, apabila salah satu tersangka korupsi disadap, KPK harus meminta izin. Dia menilai upaya itu akan menghapuskan independensi sebagai penegak hukum.

Baca: Mahkamah Konstitusi Uji Materi UU Pilkada

Baca: KPK Panggil Aher sebagai Saksi Iwa Karniwa Terkait Kasus Meikarta

Baca: Timnas U-16 Indonesia Ingin Cetak Banyak Gol Lawan Brunei

Kedua, kata dia, adanya kewenangan menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan atau SP3. Dia mengkhawatirkan ada penerbitan SP3 dapat mengakibatkan kongkalikong dalam penegakan hukum.

Terakhir, dia menyoroti banyaknya petinggi Polri yang ditunjuk mempimpin lembaga negara.

"Banyak lembaga negara yang ketuanya dari Polri. Seperti Kepala BIN, BULOG hingga KPK," tambahnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima berkas permohonan uji materi atau judicial review terhadap berlakunya hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah disahkan melalui paripurna di DPR RI.

Berdasarkan informasi yang disampaikan Juru Bicara MK, Fajar Laksono, MK sudah menerima satu permohonan uji materi undang-undang itu yang diajukan pada Rabu (18/9/2019).

Pada berkas permohonan itu tercatat ada 18 pemohon yang berasal dari berbagai latar belakang mulai dari mahasiswa, politisi dan wiraswasta.

Salah satu poin pada pokok perkara yang diminta pemohon berupa menyatakan pembentukan hasil revisi UU KPK tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

"Diterima di kepaniteraan iya, karena tidak boleh MK menolak perkara," kata Fajar, saat dihubungi, Rabu (18/9/2019).

Setelah menerima permohonan uji materi, kata dia, langkah selanjutnya adalah diproses sesuai hukum acara. Pihaknya akan memverifikasi kelengkapan permohonan.

Sesudah lengkap sejumlah persyaratan yang diminta, seperti permohonan tertulis, identitas Pemohon (sebagai alat bukti), daftar alat bukti, dan alat bukti, maka pihaknya akan melakukan registrasi permohonan.

"Kalau sudah diregistrasi baru disidangkan," ujarnya.

Meskipun di undang-undang itu belum diberikan nomor, dia menegaskan, pihaknya akan tetap memproses permohonan uji materi.

"Bahwa undang-undang dimaksud belum diundangkan, belum ada nomor, maka sebetulnya belum ada objectum litisnya. Langkah selanjutnya, diproses sesuai hukum acara," kata dia.

Sebab, dia menambahkan, dapat saja pada masa tahapan proses registrasi hingga masuk tahapan persidangan pengujian undang-undang, undang-undang yang diujikan sudah diberikan nomor.

"Bisa saja dalam perjalanan permohonan, UU itu diundangkan. Atau kalau belum sekiranya diregistrasi, hal itu akan dinasihatkan majelis hakim kepada pemohon ketika sidang pendahuluan," tambahnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas