Peneliti LIPI Sebut Karhutla di Sumatera dan Kalimantan Buatan Manusia
“Lahan gambut tidak pernah kering walaupun pada musim kemarau. Namun ketika air di permukaan gambut dikeluarkan, lahan akan sangat mudah terbakar.”
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto menilai kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan bukan terjadi karena faktor alam.
“Bencana kebakaran di lahan gambut bukan terjadi karena faktor alam,” tuturnya mengutip Kompas.com, Kamis (26/9/2019).
Baca: Hadapi Karhutla Perlu Pengawasan Kegiatan Korporasi dan Penegakan Hukum yang Tegas
Eko mengumpamakan lahan gambut sebagai spons yang terbuat dari sisa-sisa tumbuhan yang menyimpan karbon alami, sehingga tidak mudah lepas di udara dan menyerap banyak air.
“Lahan gambut tidak pernah kering walaupun pada musim kemarau. Namun ketika air di permukaan gambut dikeluarkan, lahan akan sangat mudah terbakar,” tuturnya.
Api yang memantik kebakaran di lahan gambut, menurut Eko, bukan berasal dari api alam seperti gunung berapi dan petir.
Sebagian besar lahan gambut di Indonesia jauh dari gunung berapi, sementara petir terjadi di musim hujan.
Baca: Undang Budayawan hingga Seniman, Jokowi Bahas Karhutla, Papua hingga RKUHP
Lalu apa alasan lahan gambut bisa terbakar?
“Pertama, lahan gambut itu sudah sengaja dikeringkan setidaknya pada bagian atasnya. Kedua, ada manusia yang memantik api di permukaan gambut kering ini,” tutur dia.
Perkebunan Sawit
Baca: Teknologi BioPeat akan Tanggulangi Penyebab Utama Karhutla
Untuk apa lahan sengaja dikeringkan pada bagian atasnya?
Eko menjelaskan, hal ini kerap dilakukan untuk membuat lahan pertanian dan perkebunan baru.
Termasuk kelapa sawit, yang menimbulkan kontroversi tak berujung di antara para pegiat lingkungan.
“Sejak pertengahan dekade pertama abad 21, banyak sekali lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit,” tutur Eko kepada Kompas.com, Kamis (26/9/2019).
Kebakaran hutan dan lahan perkebunan sawit rakyat terjadi di sejumlah tempat di Desa Bukit Kerikil Bengkalis dan Desa Gurun Panjang di Dumai, Riau, Senin (25/2/2019).
Eko menjelaskan sawit tidak bisa ditanam di lahan gambut jika muka air tanahnya tidak diturunkan.
Kasus karhutla tahun 1997 menurutnya tidak bisa dibantah.
Baca: BNPB Akui Banyak Anggota Satgas Karhutla Belum Gunakan Peralatan Standar
Kasus ini terkait pengeringan masif lahan gambut untuk proyek sawah 1 juta hektar di Kalimantan Tengah.
“Lebih dari 4.000 km kanal dibuat di lahan itu untuk membuang air gambut, sehingga muka air tanah di lahan tersebut turun,” lanjutnya.
Pengurangan Risiko Bencana
Baca: Mabes TNI Akan Dibangun di Kutai Kertanegara Jika Ibu Kota Pindah ke Kaltim, Ini Pertimbangannya
Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Deny Hidayati, memberikan beberapa rekomendasi kebijakan pengurangan risiko bencana.
“Penduduk harus dilibatkan dalam mengurangi risiko asap kebakaran hutan dan lahan dengan cara meningkatkan kesiapsiagaan penduduk desa,” tutur Deny dalam rilis LIPI.
Selain itu, pengetahuan konstruksi bangunan seperti rehabilitasi rumah dan sekolah untuk mengurangi masuknya asap juga sangat diperlukan.
Baca: Orangutan jadi Korban Karhutla di Ketapang, Begini Kondisinya
Rekomendasi lainnya adalah terkait aspek perekonomian peduduk desa.
“Perlu adanya program perlindungan seperti asuransi petani terhadap keberlanjutan penghidupan penduduk, terutama pertanian dan perkebunan yang menjadi pekerjaan utama sebagian besar penduduk desa,” ungkap Deny.
Penulis: Sri Anindiati Nursastri
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Peneliti LIPI: Karhutla di Sumatera dan Kalimantan Buatan Manusia