Pemerintah Diminta Dorong Kajian Ilmiah Terkait Produk Tembakau Alternatif
Kajian ilmiah perlu dilakukan untuk meluruskan opini negatif yang sudah terbentuk karena minimnya fakta terhadap produk tembakau alternatif
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Minimnya kajian ilmiah menyebabkan terus menguatnya opini negatif terhadap keberadaan produk tembakau alternatif di Indonesia.
Padahal, produk yang merupakan hasil pengembangan dari inovasi dan teknologi industri rokok ini sudah digunakan sejumlah negara maju, seperti Korea Selatan, Jepang, Inggris, dan Selandia Baru, untuk mengatasi permasalahan angka perokok.
Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya, menyatakan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus melakukan kajian ilmiah terhadap produk tembakau alternatif.
Kajian ilmiah perlu dilakukan untuk meluruskan opini negatif yang sudah terbentuk karena minimnya fakta terhadap produk ini.
“Pemerintah dapat belajar dari negara-negara yang sudah lebih dulu menerapkan produk tembakau alternatif untuk menurunkan angka perokok, seperti di Korea Selatan," kata Amaliya di kegiatan media diskusi terbatas di Jakarta, Senin (30/9/2019).
Dikatakannya, sebelum produk ini dilegalkan, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya melakukan kajian ilmiah untuk membuktikan bahwa produk ini minim risiko kesehatan dibandingkan rokok.
Baca: Tas Mencurigakan yang Ditemukan di Gatot Subroto Ternyata Berisi Bungkus Rokok Hingga Air Mineral
Adanya bukti yang kuat dari hasil penelitian tersebut, Amaliya melanjutkan pemerintah Korea Selatan melegalkan peredaran produk tembakau alternatif.
Hasilnya pun positif, angka perokok di sana mengalami penurunan.
Menurut hasil survei dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea, angka perokok pria menjadi 39,3 persen pada 2017 lalu. Turun 1,3 poin dari tahun sebelumnya.
“Kami mengharapkan pemerintah tidak tertutup dengan fakta ini. Justru, pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya harus memanfaatkan prod uk tembakau alternatif untuk mengatasi permasalahan angka perokok di Indonesia yang terus meningkat, sehingga tidak kehilangan momentum yang berharga ini,” tegas dia.
Kementerian Kesehatan pada 2017 lalu menyatakan bahwa lebih dari 36 persen populasi dewasa di Indonesia merupakan perokok.
Angka ini menempatkan Indonesia di urutan tiga besar dengan jumlah perokok terbanyak di dunia.
“Jadi tidak ada salahnya pemerintah untuk beralih mendukung produk tembakau alternatif sebagai salah satu pilihan untuk membantu perokok untuk beralih ke produk yang lebih rendah risiko,” kata Amaliya.
Baca: 6 Alasan Kamu Harus Segera Akhiri Hubungan dengan Orang Toxic demi Kesehatan Mental dan Fisik
Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) pada 2018 lalu.
Riset itu menyatakan produk tembakau alternatif, tepatnya produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen daripada rokok.
Regulasi Produk Tembakau Alternatif
Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dan Pengamat hukum, Ariyo Bimmo, mengharapkan pemerintah untuk merumuskan regulasi bagi produk tembakau alternatif yang terpisah dan tidak seketat regulasi rokok.
Sebab, saat ini sudah banyak peredaran produk tembakau alternatif di publik.
Namun, pemerintah belum memiliki regulasi yang mengatur dalam penjualan, penggunaan, dan pengawasan.
Dampaknya yang sudah terjadi adalah penyalahgunaan produk ini untuk narkoba.
“Regulasinya tentunya berperan penting untuk menjamin keamanan dalam penggunaan produk ini, tapi jangan sampai menghalangi potensi manfaat yang dimiliki. Regulasi tersebut tentunya harus mencakup batasan usia bagi pembeli, penjualan, iklan, dan promosi, sehingga masyarakat pun mengonsumsi produk yang legal dan aman,” kata Ariyo.
Ariyo juga menyarankan pemerintah memberikan insentif fiskal bagi produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik.
Baca: Cukai Rokok Naik, Simplifikasi dan Penggabungan SPM-SKM Dinilai Tak Perlu
Tarif cukai 57 persen bagi Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) terlampau sangat tinggi, sehingga menyebabkan harga dari produk ini begitu mahal.
Kondisi menyulitkan para perokok yang ingin beralih ke produk tembakau memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.
“Kembali lagi, pemerintah dapat berguru dari Inggris dan Selandia Baru yang memberikan insentif fiskal untuk produk tembakau alternatif. Harga produk tersebut lebih rendah dari rokok sehingga para perokok beralih ke produk tembakau alternatif. Jika masih mahal, perokok akan sulit pindah ke produk yang minim akan risiko kesehatan ini,” tutup Ariyo.