Aher Dicecar Penyidik KPK Soal Pergantian Ketua BKPRD Jawa Barat
Mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan alias Aher diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan alias Aher diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan suap perizinan proyek Meikarta di Cikarang, Jawa Barat.
Aher diperiksa untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka Sekretaris Daerah (Sekda) Jabar nonaktif Iwa Karniwa.
Aher rampung menjalani pemeriksaan sekira pukul 18.25 WIB.
Mengenakan setelan batik cokelat, Aher menjelaskan pemeriksaannya terkait aturan dasar pergantian ketua Badan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Jabar yang sebelumnya dijabat Iwa Karniwa.
Baca: Cerita Kebiasaan Timnas U-16 Indonesia Bersalawat dalam Bus Sebelum Bertanding
Baca: Mark Westlife dan Pasangan Prianya Dikaruniai Anak Pertama: Kami Ayah Paling Bahagia di Dunia
"Tadi saya ditanya di Jawa Barat kan ada Kepgub (Keputusan Gubernur) tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Selama tahun 2010 sampai 2016 itu dikepalai Sekda. Pada 2016 berdasarkan Kepgub yang baru, yaitu Kepgub 120 tahun 2016, ada pergantian," ucap Aher di lobi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (4/10/2019).
Aher menambahkan, semula sekda merangkap jabatan sebagai ketua BKPRD.
Namun, dengan diterbitkannya Kepgub tersebut, penjabat ketua diganti wakil gubernur.
Sementara, Sekda diturunkan menjadi wakil ketua BKPRD.
Lebih lanjut, Aher mengungkap penyidik lantas bertanya mengapa ketua BKPRD diganti.
Ia pun menjawab pergantian tersebut tak bermasalah lantaran sesuai dengan aturan dan telah dianalisa biro hukum Pemprov Jabar.
Baca: Wanita Ini Kenali Mayat Anaknya dari Tatto di Punggung
"Yang asalnya ketua BKPRD-nya pak Sekda diganti dengan pak Wagub. Pak Sekda jadi wakil ketua. Yang tidak boleh kalau dari bawah naik ke atas. Kalau dari atas ke bawah jabatannya boleh," ujar dia.
Aher juga menyampaikan, pergantian ketua BKPRD dilakukan atas dasar peningkatan integritas.
Karena, ia khawatir terdapat kebocoran pembahasan yang dilakukan BKPRD.
"Katakan lah dokumen belum selesai bocor. Makanya saya nyaman kalau kemudian Pak Wagub yang menjadi BKPRD," kata Aher.
Selain itu, pada pemeriksaan kali ini, diakui Aher, penyidik juga mendalami teknis pembahasan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi terkait Meikarta.
Ia mengaku mengetahui terdapat kelanjutan proses pembahasan RDTR bagi proyek Meikarta yang semula disahkan seluas 84,6 hektare.
Baca: KPK Akan Umumkan Hasil Penyidikan Baru Kasus Pencucian Uang Kepala Daerah
Namun, Aher menampik mengetahui teknis pembahasan hingga hasil RDTR yang telah dibahas.
"Karena hasil prosesnya itu kan berupa penandatanganan persetujuan gubernur terkait dengan subtansi. Itu pun belum sampai kepada saya dan saya tidak tahu," kata dia.
Aher mengaku, pemeriksaan kali ini tidak berjalan lama.
Ia menjelaskan, tiba di gedung KPK sekira pukul 13.00 WIB.
Setelahnya, ia terlebih dahulu makan siang sebelum akhirnya pemeriksaan dilakukan.
"Jadi efektif mulai jam 3 kurang lebih. Tadi jam 6 kurang sudah selesai lah. Itu saja dua pertanyaan," kata Aher.
Minta uang Rp 1 miliar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, meminta uang senilai Rp 1 miliar kepada Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili.
Permintaan uang tersebut dilakukan terkait pengurusan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
RDTR itu menjadi bagian penting untuk mengurus proyek pembangunan proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Awalnya, pada 2017 Neneng Rahmi menerima sejumlah uang terkait dengan pengurusan RDTR Kabupaten Bekasi yang kemudian diberikan kepada beberapa pihak dengan tujuan memperlancar proses pembahasannya.
"Sekitar Bulan April 2017, setelah masuk pengajuan Rancangan Perda RDTR, Neneng Rahmi Nurlaili diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR untuk bertemu pimpinan DPRD di Kantor DPRD Kabupaten Bekasi. Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari Pimpinan DPRD terkait pengurusan tersebut," ucap Wakil Ketua KPK, Saut Situmotang, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Saut mengatakan setelah disetujui DPRD, rancangan Perda RDTR Kabupaten Bekasi Bekasi kemudian dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dilakukan pembahasan.
Baca: KPK Tetapkan Sekda Jabar dan Eks Presdir Lippo Cikarang Sebagai Tersangka Suap Izin Proyek Meikarta
Baca: 6 FAKTA Pria Mati Hidup Lagi di Sampang, Penyebab Bangkit Kembali hingga Kuburan Sudah Digali
Baca: Soal FPI, Menhan: Jika Tak Taat Pancasila, Silakan Pergi
Baca: Keliling Korea Selatan Lebih Praktis Naik Kereta, Cek Rute dan Jenisnya
Namun, Raperda itu tidak segera dibahas oleh kelompok kerja (Pokja) Badan Koordinasi Penataan ruang Daerah (BKPRD) padahal dokumen pendukung sudah diberikan.
Untuk memproses RDTR itu, Neneng Rahmi harus bertemu dengan Sekda Jabar, Iwa Karniwa.
"Neneng Rahmi kemudian mendapatkan Informasi bahwa tersangka IWK (Iwa Karniwa) meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di Provinsi," kata Saut.
Saut menyatakan permintaan tersebut diteruskan kepada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang dan direspons bahwa uang akan disiapkan.
Beberapa waktu kemudian, pihak Lippo menyerahkan uang kepada Neneng Rahmi.
"Kemudian, sekitar Desember 2017 dalam dua tahap, Neneng Rahmi melalui perantara menyerahkan uang pada tersangka IWK dengan total Rp 900 juta terkait dengan pengurusan RDTR di Provinsi Jawa Barat," tutur Saut.
Atas perbuatannya KPK menetapkan Iwa Karniwa sebagai tersangka suap suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Ia disangkakan melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ditetapkan sebagai tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, sebagai tersangka kasus suap terkait perizinan proyek pembangunan Meikarta.
"Pada dua perkara sebagaimana dijelaskan di atas, sejak 10 Juli 2019 KPK melakukan penyidikan dengan dua orang sebagai tersangka yaitu IK dan BTO," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Iwa ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Baca: Sikapi Tudingan IPW Soal Banyak KKN, Febri Diansyah: Itu Isu Daur Ulang Untuk Menyerang KPK
Baca: Peran Perempuan Dibutuhkan KPK Sebagai Pucuk Pimpinan
Baca: PAN Setuju Imbauan Moral KPK Agar Parpol tak Calonkan Mantan Koruptor
Baca: Warga Tapanuli Utara Heboh Sambut Kedatangan Jokowi
Sementara Bortholomeus yang tercatat sebagai mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang jadi tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Saut mengatakan Iwa diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara tersangka Bortholomeus melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2-001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan pasal 55 ayat (`1) ke-1 KUHP.
Iwa Karniwa sebelumnya telah memberi kesaksian dalam kasus suap Meikarta yang menyeret Bupati Neneng.
Jaksa di persidangan mempertanyakan soal pertemuannya dengan Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili, di KM 72 tol Purbaleunyi pada Desember 2017.
Baca: BREAKING NEWS: Warga Kloangpopot, Sikka Geger, Mayat Korban Pembunuhan Tergeletak di Jalan
Baca: Rekrutmen Pegawai Universitas Diponegoro Non ASN, Posisi Dosen Program Studi di Luar Kampus Utama
Iwa pun membenarkan pertemuan tersebut. Namun dia diminta oleh anggota DPRD Jabar asal Partai Demokrarasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Waras Wasisto, untuk datang, dan akhirnya dikenalkan dengan Neneng Rahmi.
"Saya tidak tahu hanya diminta ketemu di rest area KM 72. Saya bilang kebetulan baru hadir rapat di pusat. Saya dikontak Pak Waras, ada yang minta ketemu saya. Saya bilang di kantor saja selesai saya pulang ke rumah," kata Iwa saat persidangan di Tipikor, Bandung, Senin (28/1/2019).
Pertanyaan itu dilontarkan jaksa karena Iwa disebut-sebut menerima duit Rp1 miliar terkait pengurusan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) proyek Meikarta.
Nama Iwa pertama kali disebut oleh Bupati nonaktif Bekasi, Neneng Hasanah Yasin.
Dalam persidangan disebutkan Iwa menerima uang dari Neneng Rahmi Nurlaili yang menjabat Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
Neneng menyebut permintaan itu terkait kepentingan Pilgub Jabar.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.