Koalisi Jokowi Tetap Menolak Perppu KPK
Koalisi Indonesia Kerja (KIK), tetap menolak jika Presiden Jokowi menerbitkan perppu untuk membatalkan UU KPK yang disahkan DPR RI.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi partai politik pendukung pemerintah, Koalisi Indonesia Kerja (KIK), tetap menolak jika Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan DPR RI.
Para pimpinan parpol di KIK menilai saat ini belum diperlukan penerbitan perppu itu.
Hal itu disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ade Irfan Pulungan, dalam diskusi Polemik bertajuk "Perppu, Apa Perlu?" di Jakarta, Sabtu (5/10/2019).
Ade mengatakan, telah ada kesepakatan antara pimpinan parpol KIK terkait UU KPK yang baru direvisi.
Koalisi menyepakati saat ini belum diperlukan penerbitan Perppu KPK karena tidak ada kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan perppu tersebut.
Dan penerbitan Perppu KPK merupakan opsi terakhir.
"KIK memberikan pendapat atau saran belum waktunya dikeluarkan perppu," ujar Irfan.
Ia mengatakan, syarat penerbitan perppu diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni adanya ihwal kegentingan yang memaksa.
"Kegentingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, suatu yang krisis, adanya kemelut, tapi saat ini tidak demikian," kata Ade.
"Kegentingan yang bagaimana bisa kita jadikan ukuran dikeluarkannya perppu oleh sebagian masyarakat," lanjutnya.
Baca: 6 Deretan Tentara Cantik yang Bikin Kaum Adam Ikut Upacara HUT TNI Ke-74, Fotonya Viral di Medsos
Ia menambahkan, latar belakangan dilakukannya revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) hingga akhirnya disahkan DPR karena adanya dinamika yang terjadi selama 17 tahun terakhir.
"Kita juga tidak bisa mengatakan UU KPK tidak boleh diubah. Lucu juga kalau kita puja-puja," kata dia.
Anggota Dewan Pakar Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi mengingatkan disahkannya UU KPK hasil revisi merupakan kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah.
Oleh karena itu, dalam hal ini pemerintah tidak bisa serta-merta membatalkan undang-undang tersebut dengan penerbitan perppu. Dan Presiden Jokowi akan mempermalukan DPR jika mengambil langkah itu.
"Karena itu, saya menganggap pemerintah tidak akan melakukan tindakan yang akan menampar muka legislatif. Saya rasa tidak akan Pak Jokowi mengambil langkah yang mempermalukan DPR," ujarnya.
Ia berharap pemerintah melakukan komunikasi dengan DPR terhadap langkah apa pun yang bakal diambil terkait polemik UU KPK ini.
Diberitakan, disahkannya UU KPK hasil revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh DPR RI pada 17 September 2019, mendapatkan penolakan banyak pihak hingga muncul gelombang unjuk rasa dari mahasiswa dan sejumlah elemen ke Gedung DPR RI dan beberpapa daerah.
Unjuk rasa dilakukan karena UU produk DPR bersama pemerintah itu dinilai disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.
Selain itu, sejumlah pasal dalam UU KPK hasil revisi dinilai dapat melemahkan kerja lembaga antirasuah.
Di antaranya UU KPK yang baru memuat dominasi peranan Dewan Pengawas dalam penyadapan, penggeledahan, penyitaan hingga memeriksa dugaan pelanggaran kode etik pimpinan dan pegawai KPK.
Baca: Cerita Mawar de Jongh Sambangi Klub Malam Demi Peran Armetta Rinjani
Di sisi lain, ketua dan empat anggota Dewan Pengawas merupakan pilihan presiden.
Setelah gelombang unjuk rasa dan adanya usulan sejumlah tokoh, Presiden Jokowi menyatakan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK.
Namun, justru langkah Presiden Jokowi itu mendapat penolakan dari internal koalisi parpol pendukungnya.
Bahkan, secara terang-terangnya Ketua Umum Surya Paloh memberi peringatan jika Presiden Jokowi bisa dimakzulkan atau impeachment oleh DPR RI jika salah mengambil langkah dalam penerbitan Perppu KPK.
Lain halnya dengan kelompok parpol di luar pemerintahan Jokowi, yakni Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat.
Kini, mereka mendukung jika Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK.
Diketahui, keempat parpol itu juga ikut mendukung saat revisi UU KPK disahkan di DPR RI pada 17 September lalu.
Sejumlah perwakilan mahasiswa yang menemui Kepala Staf Kantor Kepresidenan Moeldoko pada Kamis (3/10/2019) memberi waktu sampai 14 Oktober bagi Jokowi untuk menerbitkan Perppu.
Jika tidak, maka mahasiswa mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa yang lebih besar.
Sementara itu, Partai Gerindra mengambil sikap mendukung jika Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK guna membatalkan UU KPK hasil revisi. Ia mengingatkan penerbitan perppu merupakan hak dan kewenangan presiden.
Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Hukum, Habiburokhman menilai, tidak ada pelanggaran hukum apalagi risiko dimakzulkan apabila Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu terkait UU KPK hasil revisi.
"Soal perppu ini saya enggak habis pikir, kok bisa dampaknya dimakzulkan? Itu kan kewenangan presiden yang ada di konstitusi, bagaimana mungkin orang menggunakan hak konstitusionalnya kemudian dimakzulkan," ujar Habiburokhman.
Baca: Bebby Fey Blak-blakan soal Detik-detik Ngamar Bareng Atta Halilintar: Langsung ke Toilet Dulu
Menurut dia, perppu merupakan hak subyektif Presiden Jokowi yang diatur dalam perundang-undangan. Untuk itu, tidak ada alasan untuk memakzulkan presiden karena menerbitkan perppu KPK.
"Tidak ada cara memakzulkan presiden seperti itu karena hak konstitusinya diatur dalam undang-undang. Ketika presiden mengeluarkan perppu ya kita hormati," ujarnya.
Ia menambahkan, masih ada upaya hukum lain, yaitu dengan mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika Presiden Jokowi tidak menerbitkan Perppu KPK.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan Presiden Jokowi harus percaya diri mengeluarkan Perppu KPK dengan mendapat dukungan mayoritas rakyat Indonesia.
Sebab, mayoritas rakyat menolak UU KPK hasil revisi yang dinilai justru melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Saya mau bilang, kita bilang Jokowi harus percaya (keluarkan Perppu KPK). Dia dukung oleh ratusan ribuan orang puluhan guru besar dan juga ribuan dosen yang nolak (revisi UU KPK)," ujar Asfinawati.
Ia mengingatkan, Jokowi selaku presiden agar tidak tersandera kepentingan elit parpol pendukungnya kendati ada kesepakatan di antara mereka.
"Jadi ini betul-betul diuji kenegarawan presiden, apakah dengarkan rakyat atau parpol. Presiden harus ingat presiden dipilih rakyat, dia bukan mandatoris MPR," ujarnya.
Baca: 1,07 Gram Narkoba Disita dari Menantu Elvy Sukaesih, Suami Dhawiya Sembunyikan Sabu di Jam Tangan
Penangguhan
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengusulkan Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu penangguhan pemberlakuan UU KPK hasil revisi sebagai jalan tengah tarik-ulur kepentingan parpol dan desakan publik.
Penangguhan bisa berlaku selama satu tahun.
"Yang belum muncul dan sempat diwacanakan adalah perppu penangguhan, perppu penangguhan berlakunya Revisi UU KPK," ujarnya.
Menurutnya, Jokowi membahas kembali revisi UU KPK bersama DPR dan seluruh elemen masyarakat dalam waktu satu tahun itu.
"(Dilakukan revisi kembali UU KPK) melalui proses legislasi biasa, jangan seperti kemarin terburu-buru, tertutup, tidak partisipatif," tandasnya.
Lebih lanjut, Bayu menganggap perppu penangguhan merupakan hal yang lazim dalam sebuah negara. Langkah ini pernah dilakukan semasa kepemimpinan Presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono.
"Zaman Soeharto era orde baru pernah ada perppu penangguhan tentang pajak pertambahan nilai tahun 1984. Era SBY ada dua perppu. Pertama, Perppu 2005 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, ditangguhkan satu tahun karena dianggap waktu itu belum siap sarana dan prasaran untuk penyelesaian hubungan industrial. Kedua, adalah perppu tentang penangguhan peradilan perikanan," jelasnya.
Bak gayung bersambut, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi setuju dengan usulan itu. Ia menilai opsi perppu penangguhan UU KPK hasil revisi dapat menguntungkan semua pihak, baikpemerintah, DPR maupun masyarakat.
"Ini kan tidak merugikan KPK, DPR maupun presiden," ujarnya.
Menurut Didi, dalam rentang setahun waktu penangguhan, DPR dan pemerintah kembali melakukan perbaikan terhadap pasal-pasal yang menjadi sorotan publik, seperti Dewan Pengawas.
"Dalam pasal ini dewan pengawas diangkat dari unsur presiden dari unsur pemerintah ini jelas akan bisa bias dan bisa kebabalasan timbul abuse of power. Oleh karena itu, ini salah stau pasal yang harus segera diperbaiki," imbuhnya. (tribun network/uma/dtc/coz)