Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PDIP: KPK Masih OTT Tandanya Tidak Ada Kekosongan Hukum

Bambang Pacul tidak setuju apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
zoom-in PDIP: KPK Masih OTT Tandanya Tidak Ada Kekosongan Hukum
Tribunnews.com/ Fransiskus Adhiyuda
Ketua DPP PDI Perjuangan bidang Pemenangan Pemilu Bambang Wuryanto. 

Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul tidak setuju apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK.

Menurutnya sesuai konstitusi, apabila sebuah rancangan undang-undang telah disahkan menjadi undang-undang, cara yang bisa ditempuh adalah uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) .

"Kalau UU sudah diketok, RUU sudah diketok, nggak ada cara, (selain) ikut konstitusional law kita, kalau nggak sepakat, judicial review," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2019).

Baca: Usut Kasus Tertembaknya Mahasiswa di Kendari, Polri Lakukan Uji Proyektil ke Belanda dan Australia

Menurut Bambang, konstitusi sebenarnya juga menyediakan ruang lainnya untuk membatalkan revisi Undang-undang, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang diterbitkan presiden dengan persetujuan DPR.

Hanya saja, terdapat sejumlah syarat untuk menerbitkan Perppu.

Diantaranya yakni adanya kekosongan hukum dan kondisi genting.

Berita Rekomendasi

Saat ini kedua syarat tersebut tidak terpenuhi.

Baca: Video Klarifikasinya Soal Obat Nyamuk Jadi Viral, Barbie Kumalasari Kembali Beri Respon Santai

"Pak kegentingan memaksa itu subyektif Presiden? Mohon maaf, kalau kegentingan itu semua orang kerasa. Lalu Kekosongan hukum, kekosongan hukum ono ora? Pimpinan isih limo (masih 5), itu masih OTT. Nggak ada kekosongan hukum, what? jadi engga ada alternatif lain kecuali judicial review (uji materi)," katanya.

Menurut Bambang konstitusi harus tegak di Indonesia.

Baca: 5 Fakta Kondisi Irish Bella Sebelum Bayi Kembar Meninggal Dunia, Dirawat Seminggu & Sempat Operasi

Sehingga dalam mencari jalan keluar terhadap sejumlah permasalahan harus sesuai dengan konstitusi.

"Nanti susah dong kalau suka-suka, engga bisa. kita ikuti kesepakatan berarti konstitusi kita ikuti," katanya.

Tak perlu ragu terbitkan Perppu

engamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu ragu-ragu untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menjadi bukti dukungan publik agar Jokowi menerbitkan perppu KPK untuk mencabut UU KPK hasil revisi yang baru disahkan DPR RI.

Hasil survei LSI menunjukkan bahwa 76,3 persen dari responden yang mengetahui UU KPK hasil revisi, setuju Jokowi menerbitkan perppu KPK.

"Sebaiknya memang presiden tidak perlu ragu-ragu. Karena justru UU KPK hasil revisi dinilai melemahkan KPK dalam analisa publik," ujar pendiri lembaga survei KedaiKOPI ini kepada Tribunnews.com, Senin (7/10/2019).

Bahkan kata dia, berdasarkan survei KedaiKOPI, mayoritas pendukung Jokowi di Pilpres 2019 lalu, menganggap UU KPK hasil revisi itu bentuk pelemahan terhadap lembaga antirasuah.

Ia menjelaskan, Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) merilis hasil survei nasional melibatkan 1194 responden dari seluruh Indonesia. Survei dilaksanakan 28-29 September 2019 dengan Margin of Error +/-4,53 persen.

Baca: Tersangka Kerusuhan Wamena Meningkat Jadi 13 Orang, 3 Diantaranya DPO

Persepsi publik terhadap revisi UU KPK pun beragam, 55,2 persen responden berpendapat revisi UU KPK melemahkan KPK, 33,1 persen menolak berpendapat dan hanya 11,7 persen yang berpendapat revisi UU KPK akan memperkuat KPK.

Menurut responden 3 hal yang melemahkan KPK menurut responden adalah hadirnya Dewan Pengawas, persetujuan Dewan Pengawas untuk pelaksanaan OTT dan status ASN untuk penyidik.

Profil responden untuk isu UU KPK hasil revisi ini juga menarik. Karena manyoritas pemilih Jokowi-Maruf Amin di Pilpres lalu menilai UU KPK hasil revisi melemahkan lembaga antirasuah.

"Bila dikelompokkan berdasarkan pemilih Jokowi-Ma'ruf pada Pemilu 2019 maka pemilih Jokowi-Ma'ruf yang berpendapat revisi UU KPK melemahkan KPK ada 48,3 persen. Sementara yang berpendapat menguatkan KPK hanya 18,4 persen dan sisanya 33,3 persen tidak berpendapat,“ jelas Hendri Satrio.

Karena itu dia berpendapat sebaiknya Jokowi menerbitkan Perppu KPK.

"Jadi untuk perppu ini tidak perlu ragu-ragu. Hasil survei opini publik sudah memberikan gambaran dukungan publik untuk itu. Tapi ya kita serahkan kepada Jokowi untuk memilih terbitkan Perppu atau tidak," jelasnya.

Legislator PPP: Tak Patut Diikuti

Fraksi PPP DPR menanggapi hasil rilis Lembaga Survei Indonesia terkait mayoritas masyarakat mendukung Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu KPK.

Menurut Ketua Fraksi PPP Arsul Sani, Perppu merupakan opsi terakhir dari kemungkinan pilihan yang ada.

"Partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja dan yang ada di parlemen menyampaikan bahwa Perppu itu, kalau dalam bahasa yang simpel harus jadi opsi yang paling akhir, setelah semuanya dieksplor dengan baik tentunya," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2019).

Menurutnya, survei yang dirilis oleh LSI menghasilkan temuan masyarakat mendukung Perppu KPK karena sudah menjadi bahan atau topik utama di media-media nasional.

Dan menurutnya, survei bukan suatu hasil yang patut dituruti, tetapi hanya untuk dijadikan rujukan.

Sehingga, lanjut Arsul, ketika suatu survei merilis temuan adanya dorongan publik untuk presiden mengeluarkan Perppu itu bukan jadi bahan penentu.

Karena, kata dia, perlu tidaknya presiden mengeluarkan Perppu itu harus melalui kajian akademik.

"Survei itu jadi bahan pertimbangan saya kira bukan jadi bahan penentu. Menentukan UU itu tidak bisa kemudian berdasarkan hasil survei tetapi harus kajian yang sifatnya akademik kemudian melalui ruang-ruang perdebatan publik. Itulah saya kira yang harus kita pakai untuk menentukan nanti apakah jalannya legislatif review (revisi UU) atau perppu atau judicial review," ujar Sekjen PPP itu.

Meski demikan, menurut Arsul, jika pada akhirnya presiden mengeluarkan Perppu KPK, maka koalisi pendukung pemerintah tidak bisa berspekulasi terkait sikap seperti apa yang akan diambil masing-masing fraksi di DPR.

Yang jelas, kata Arsul, presiden akan kembali berkomunikasi dengan parpol-parpol pada saat ingin mengambil keputusan terkait Perppu.

"Kita tidak bisa berkalau-kalau, karena pada saat kami bertemu dengan presiden pada hari Senin malam lalu di Istana Bogor presiden belum buat keputusan. Presiden hanya sampaikan tentunya nanti beliau pada saat akan membuat keputusan akan berkomunikasi kembali dengan parpol-parpol itu aja," ucapnya.

Survei LSI tentang Perppu KPK

Hasil survei LSI menunjukkan bahwa 76,3 persen dari responden yang mengetahui UU KPK hasil revisi, setuju Presiden Jokowi menerbitkan perppu terhadap UU KPK hasil revisi.

Selain itu hasil survei LSI juga menunjukkan 70,9 persen responden yang tahu soal revisi UU KPK menganggap UU KPK hasil revisi melemahkan kinerja lembaga itu dalam memberantas korupsi.

Hal itu dipaparkan Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam rilis temuan survei Perppu UU KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik di Erian Hotel, Jakarta, Minggu (6/10/2019).

"Saya melihat di sini ada aspirasi publik yang kuat yang mengetahui revisi UU KPK itu bahwa karena melemahkan, implikasinya kan melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia juga. Dan untuk menghadapi itu maka menurut publik jalan keluarnya adalah perppu," kata Djayadi.

Sebelum ke pertanyaan soal perppu KPK, pada awalnya ada 1.010 responden yang ditanya apakah mereka mengetahui unjuk rasa yang mahasiswa di sejumlah daerah untuk memprotes sejumlah undang-undang dan rancangan undang-undang.

Sebanyak 59,7 persen responden mengetahuinya.

Sementara 40,3 tidak mengetahuinya. Selanjutnya, dari responden yang mengetahui, tim pewawancara LSI kembali menanyakan, "Apakah Ibu/Bapak tahu bahwa undang-undang yang ditentang mahasiswa itu adalah UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat?"

Hasilnya, 86,6 persen responden mengetahui bahwa demonstrasi mahasiswa itu salah satunya menentang UU KPK hasil revisi.

Sementara, 8,8 persen responden tidak tahu. Sisanya tidak menjawab.

Kemudian, responden yang mengetahui soal UU KPK hasil revisi itu kembali ditanyakan, "Secara umum, apakah menurut Ibu/Bapak revisi UU KPK melemahkan atau menguatkan KPK dalam memberantas korupsi?"

Sebanyak 70,9 responden menjawab UU KPK hasil revisi melemahkan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

Kemudian, 18 persen menjawab menguatkan kinerja KPK. Sisanya tidak tahu atau tidak menjawab.

"Itu kan kewenangan presiden melakukan hal tersebut (menerbitkan perppu) meskipun kita tahu setelah perppu dikeluarkan nanti kan dibahas sama DPR apakah diterima atau ditolak, gitu. Tapi jelas data ini menunjukkan publik berada pada posisi bahwa perppu menjadi jalan keluar," ujar dia.

Dalam survei ini, LSI mengambil responden secara acak dari responden survei nasional LSI sebelumnya pada Desember 2018 hingga September 2019 yang berjumlah 23.760 orang dan punya hak pilih.

Dari total responden itu, dipilih responden yang memiliki telepon, jumlahnya 17.425 orang.

Kemudian, dari 17.425 orang tersebut dipilih sampel dengan metode stratified random sampling sebanyak 1.010 orang.

Responden diwawancarai lewat telepon pada 4-5 Oktober 2019. Adapun margin of error survei ini adalah plus minus 3,2 persen.

Artinya, persentase temuan survei bisa bertambah atau berkurang sekitar 3,2 persen.

Survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen. Djayadi menegaskan, survei ini dibiaya secara mandiri oleh LSI.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas