KPK Tetap Eksis Meski UU Baru Berlaku 17 Oktober
"UU KPK masih cukup untuk melakukan pemberantasan korupsi. Bahkan baru-baru ini KPK masih bisa melakukan OTT," katanya
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory, Sulthan M Yus mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap eksis melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut dia, tidak terjadi kekosongan hukum di komisi antirasuah itu karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK masih berlaku bahkan hingga produk UU hasil revisi itu diberlakukan.
Baca: Pengamat: Tidak Tepat Jika Presiden Jokowi yang Ajukan Kembali Revisi UU KPK
"UU KPK masih cukup untuk melakukan pemberantasan korupsi. Bahkan baru-baru ini KPK masih bisa melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan,-red) di Lampung Utara," kata Sulthan, dalam sesi diskusi bertema "Polemik UU KPK, Judicial Review atau Perppu?", Selasa (15/10/2019).
Pada 17 Oktober 2019, UU KPK hasil revisi akan berlaku, meskipun Presiden Joko Widodo (jokowi) tidak menandatangani aturan tersebut.
UU KPK hasil revisi itu berlaku setelah diundangkan seperti termaktub di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tepatnya Pasal 73 ayat 1 dan ayat 2.
Sebelum berlakunya UU KPK hasil revisi itu, terjadi pro dan kontra di masyarakat.
Dia menilai, pro dan kontra itu timbul karena berdasarkan asumsi yang tidak mempunyai fakta jelas.
"Masyarakat termakan opini sehingga kegentingan atau tidak dalam perdebatan UU KPK yang sudah disahkan ini masih mengawang-ngawang," ujarnya.
Perbedaan pendapat melihat suatu kebijakan, kata dia, merupakan suatu hal yang biasa.
Dia menyarankan agar masyarakat menggunakan jalur konstitusional yang telah disediakan UU untuk menyikapi polemik UU KPK itu.
"Melakukan judicial review di MK, Legislative review melalui DPR ataupun eksekutif review sebagai alternatif bagi presiden," tambahnya.
Untuk diketahui, Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum UKI mengadakan Diskusi Publik yang mengangkat tema "Polemik UU KPK, Judicial Review atau Perppu?"
Baca: Guru Les Privat Diduga Cabuli Muridnya, Baru Diketahui saat Korban Tengah Hamil 8 Bulan
Acara digelar di Auditorium Gedung William Soeryawidjaja.
Diskusi dihadiri narasumber yaitu Dr. Daniel Yusmic, Akademisi dari Universitas Atmajaya, Sulthan M Yus Direktur Politik Hukum Wain Advisory, Saor Siagian, Pegiat Anti Korupsi, dan Petrus Selestinus, Pengamat Hukum Dan Koordinator TPDI.
WP KPK harap Jokowi terbitkan Perppu
Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) mengatakan para pegawai KPK masih tetap semangat bekerja dalam memberantas korupsi hingga kini.
Terbukti, kegiatan KPK di bidang penindakan termasuk penetapan tersangka, penyitaan aset koruptor, operasi tangkap tangan (OTT), maupun pencegahan korupsi di sejumlah wilayah masih terus berjalan.
Baca: Perempuan Indonesia Anti Korupsi Desak Jokowi Keluarkan Perppu
"Itu menandakan UU No. 30 Tahun 2002 masih sangat efektif dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, tanpa perlu direvisi yang memperlemah seperti UU yang telah disahkan di rapat paripurna DPR pada 17 September 2019," ujar Ketua WP KPK Yudi Purnomo kepada wartawan, Selasa (15/10/2019).
Menurut Yudi, sesuai dengan ketentuan pembuatan peraturan perundangan, UU KPK hasil revisi akan berlaku secara otomatis dalam waktu 30 hari atau pada tanggal 17 Oktober 2019, meski tidak disetujui dan ditandatangani oleh Presiden Jokowi.
"Sehingga dalam dua hari ke depan, KPK akan beroperasi dengan undang-undang yang melemahkan KPK, di mana tercatat ada 26 point yang akan melemahkan KPK. Ini tentu akan melahirkan berbagai kendala," kata dia.
Baca: 2 Kepala Negara dan 4 Kepala Pemerintahan Akan Hadir Dalam Acara Pelantikan Jokowi
Yudi menambahkan solusi paling efektif, cepat dan efisien saat ini, yaitu Jokowi menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi secara keseluruhan.
"Besar harapan, gerakan pita hitam ini dan juga dukungan tokoh nasional yang semakin mempertebal keyakinan Presiden Joko Widodo untuk mengambil langkah membatalkan revisi UU KPK melalui Perpu. Karena rakyat pasti akan bersama Presiden," ujar Yudi.
Jokowi dianggap tak tegas
Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA) menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo yang tidak tegas dalam menyikapi desakan masyarakat agar menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dinilai bermasalah.
Hal itu diungkapkan Anggota PIA Anita Wahid kepada wartawan saat jumpa pers di lobi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (15/10/2019).
"Ya, itu adalah salah satu hal memang di dalam surat itu (telah dikirim ke Jokowi) kami katakan juga, bahwa kami tak melihat ketegasan beliau (Jokowi) atas apa yang sudah diucapkan sendiri yaitu akan mempertimbangkan keluarkan Perppu," ucap Anita Wahid.
Baca: Sandi: Kuncinya Sosialisasi 4 Pilar
Putri Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini menyebut Jokowi bukan hanya tak bersikap tegas, tapi juga tidak konsisten atau kejelasan dengan apa yang diucapkannya ihwal menyikapi desakan publik ini.
"Bahkan sudah ada omongan sendiri mengenai siapa yang akan ditunjuk untuk mendraf Perppu-nya segala macam. Tapi kan setelah itu kami tak melihat ada langkah konkrit yang lebih jelas atau tanda-tanda yang lebih jelas mengenai akan dikeluarkannya atau tidak," ujar dia.
Lebih lanjut, Anita menduga ada agenda besar dibalik ketidakjelasan sikap Jokowi yang seolah gamang menyikapi desakan masyarakat agar orang nomor 1 se-Indonesia itu segera menebitkan Perppu.
"Apakah memang dibelakang layar tak ada langkah? Atau ada langkah tetapi tak dikemukakan ke publik? Itu yang kita tidak tahu," kata Anita Wahid.
Sementara itu, Kemitraan Ririn Sefsani, menyatakan bahwa pihaknya bersama PIA telah melayangkan surat kepada Jokowi yang isinya desakan agar segera diterbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK yang dinilai bermasalah.
"PIA bersama jaringan organisasi di Indonesia kemarin setelah mengirkmkan surat ke presiden dan pesannya sudah sangat jelas, presiden terbitkan Perppu KPK. Kita ingin ada terang ditengah kelam. Dan kembali terang itu datang," kata Ririn.
Jokowi masih punya alternatif lain
Upaya menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan satu-satunya jalan merevisi UU KPK.
Pengamat hukum Chrisman Damanik menyatakan, ada metode yang dapat dilakukan selain presiden menerbitkan Perppu KPK.
Misalnya, kata dia, mereka yang tidak sepakat dengan UU KPK hasil revisi, dapat menempuh judicial review ke Mahkamah Kontitusi (MK).
Hal lain yang bisa dilakukan, menurut dia, DPR periode 2019-2024 dapat meninjau ulang UU KPK versi revisi.
"JR saja ke MK. Apa yang sebenarnya tidak pas dari UU ini. (Legislatif Review,-red) Jadi DPR bisa mengkaji ulang," kata dia, di acara diskusi publik bertajuk "Membedah Subtansi Dan Urgensi Perppu KPK", Senin (14/10/2019).
Dia menilai, UU KPK hasil revisi merupakan iktiad baik dari DPR dan pemerintah. Namun, kata dia, upaya DPR dan pemerintah menguatkan KPK itu dianggap sebagai upaya mengkriminalisasi KPK.
Akibatnya, UU KPK versi revisi menuai polemik. Ada yang mendesak presiden menerbitkan Perppu.
Baca: Fadli Zon Disebut-sebut Masuk Bursa Calon Menteri di Kabinet Jokowi, Segini Daftar Kekayaannya
"Apakah Perppu itu akan otomatis menjadi UU? Perppu bisa dibuat karena hak subjektivitas presiden karena ada hal ikhwal keadaan yang mendesak. Itu penafsiran diserahkan kepada presiden," kata Chrisman.
Baca: Jokowi Dilantik 20 Oktober, Tapi Susunan Kabinet Jokowi-Maruf Sudah Bocor, Begini Reaksi Istana
Sementara itu, Sekjen Perkumpulan Gerakan Kebangsaan, Riyan Hidayat meminta semua pihak menganalisa peristiwa-peristiwa sosial sebelum melakukan aksi penyampaian pendapat.
"Kita harus cerdas membaca isu. Ada yang bilang demo ini ditunggangi, meskipun tidak ditunggangi tetapi ada yang mengatakan ada yang menunggangi. Kalau gerakan tidak dihitung secara matang maka ini akan menjadi persoalan ke depan," tambahnya.