Hasil Survei Parameter Politik Indonesia: Sebagian Besar Responden Minta Jokowi Terbitkan Perppu KPK
Survei lembaga Parameter Politik Indonesia menyatakan sebagian besar responden meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu KPK.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei lembaga Parameter Politik Indonesia menyatakan sebagian besar responden meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu KPK.
Survei diketahui dilakukan pada 5 sampai 12 Oktober 2019.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan 47,7 responden mendukung Jokowi mengeluarkan Perppu KPK.
Sementara 13 persen lainnya menyatakan mendukung UU KPK hasil revisi.
“Sebanyak 39,7 persen responden menyatakan UU KPK yang baru akan memperlemah KPK dan 25,2 persen lainnya menyatakan tidak setuju UU KPK baru memperlemah KPK,” kata Adi Prayitno dalam rilis hasil survei di kawasan Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (17/10/2019).
Baca: Wisata Malam di Penang, Kunjungi Kuil Kek Lok Si yang Terkenal
Baca: Kakek Ini Nekat Mengayuh Becak dari Surabaya ke Jakarta Hanya Ingin Menyaksikan Pelantikan Presiden
Baca: Tips Bikin Konten YouTube Menarik & Potensi Dapatkan Iklan, Jeremy Mario Buka Rahasia Jadi YouTuber
Adi menilai penerapan UU KPK hasil revisi menurut responden akan menghambat upaya pemerintah memberantas korupsi.
Menurut responden korupsi saat ini masih menjadi masalah utama bangsa.
“Sebanyak 44,4 persen responden tak setuju pengesahan UU KPK itu karena dinilai tidak akan membantu pemberantasan korupsi yang menurut responden masih menjadi kekurangan Jokowi-Jusuf Kalla,” kata Adi.
Survei tersebut diikuti seribu sampel dengan margin of error sekitar 3,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Survei dilaksanakan dengan metode face to face interview.
Kerdilkan agenda pemberantasan korupsi
Undang-undang Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) hasil revisi resmi berlaku hari ini, Kamis (17/10/2019).
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai dengan diterapkannya UU KPK hasil revisi tersebut akan memperlemah dan mengkerdilkan agenda pemberatansan korupsi.
"Penting untuk ditegaskan bahwa seluruh Pasal yang disepakati oleh DPR bersama pemerintah dipastikan akan memperlemah KPK dan mengembalikan pemberantasan korupsi ke jalur lambat," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana lewat keterangan tertulisnya, Kamis (17/10/2019).
Sebagai contoh, kata Kurnia, pembentukan Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih Presiden dan memiliki wewenang memberikan ijin penindakan perkara rawan intervensi eksekutif.
Baca: Harta Kekayaan Mulan Jameela Capai Rp 15,5 Miliar, Lebih Besar dari Desy Ratnasari, tapi Punya Utang
Baca: Aksi Pamer Kemaluan Terjadi di Depok, Pelaku Melakukannya di Dalam Angkot
Baca: Promosi Toto pun Sampai Membawa Toilet di Atas Motor Berjalan 1400 Kilometer
Demikian pula, penerbitan SP3 dalam jangka waktu 2 tahun apabila perkara tidak selesai akan berpotensi menghentikan perkara besar yang sedang ditangani KPK.
"Banyak pihak yang berdalih bahwa dalam UU KPK yang baru terdapat pasal peralihan terkait pembentukan Dewan Pengawas. Namun, harus dipahami, bahwa cepat atau lambat Dewan Pengawas akan terbentuk. Jadi, pernyataan yang menyebutkan terkait dengan pasal peralihan itu hanya dalih tanpa dasar sama sekali," ujar Kurnia.
Kurnia juga menyebut untuk usia minimal Pimpinan KPK baru pun belum selesai dari perdebatan.
Dalam draft UU KPK yang selama ini beredar disebutkan bahwa usia minimal Pimpinan KPK dapat dilantik adalah 50 tahun.
"Sedangkan salah satu Pimpinan KPK terpilih yaknk Nurul Ghufron belum sampai batas usia minimal UU KPK baru. Tentu ini menjadi kekosongan hukum yang harusnya dapat diisi oleh Perppu," kata dia.
Selain dari substansi, lanjut Kurnia, persoalan formil pun masih menjadi sorotan publik.
Mulai dari tidak masuk prolegnas prioritas 2019 dan tidak dihadiri kuorum paripurna DPR saat pengesahan UU KPK yang baru.
Demikian pula, KPK secara institusi juga tidak pernah dilibatkan pada proses pembahasan.
"Kejadian diatas memberikan gambaran bahwa dua cabang kekuasaan, baik eksekutif dan legislatif memiliki niat untuk mengkerdilkan agenda pemberantasan korupsi," kata Kurnia.
Sedih KPK dilemahkan
Dalam hitungan jam, Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi akan mulai berlaku.
Sebelumnya DPR sudah mengesahkan UU KPK hasil revisi pada 17 september 2019..
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan revisi UU KPK merupakan pelemahan terhadap lembaga antirasuah.
Satu di antara hal yang ia sorot ialah keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Baca: Bareskrim Polri Indikasikan Fintech Ilegal Bisa Jadi Sumber Pendanaan Terorisme
Baca: Mantan Direktur Krakatau Steel Wisnu Kuncoro Dituntut 2 Tahun Penjara
Baca: Ali Mochtar Ngabalin Garuk-garuk Kepala Sikapi Isu Fadli Zon Akan Jadi Menteri Jokowi
"Saya sedih karena terjadilah musibah KPK dilemahkan karena pasal-pasal yang ada mulai dari syarat menyadap harus izin dewan pengawas dan juga izinnya tertulis," kata Mardani Ali Sera di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Menurutnya, KPK seharusnya dapat diperkuat tanpa adanya revisi UU KPK.
Karena itu, politikus PKS ini mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menerbitkan Perppu KPK sebelum undang-undang hasil revisi berlaku mulai pukul 00.01 nanti.
"Saya pribadi tetap berpendapat, Pak Presiden perlu mengeluarkan Perppu, sebelum masa berkahir (Undang-Undang KPK) 16 Oktober pukul 23:59," ujar Mardani.