Ketua Umum PPHI: Berikan MK Kewenangan Menunda Berlakunya UU
“Berikan MK kewenangan menunda berlakunya undang-undang,” ujarnya di Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH berpendapat, senyampang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sedang mewacanakan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, akan lebih baik jika pasal menyangkut Mahkamah Konstitusi (MK) juga diamandemen guna memberikan tambahan kewenangan bagi MK untuk menunda berlakunya sebuah undang-undang (UU), bila amandemen jadi dilaksanakan.
“Berikan MK kewenangan menunda berlakunya undang-undang,” ujarnya di Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Murphi diminta komentar soal mulai berlakunya Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, yakni UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK, per Kamis (17/10/2019), untuk menggantikan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Baca: 4 Fakta UU KPK Hasil Revisi Resmi Berlaku Jadi UU Nomor 19 Tahun 2019 hingga Dinilai Melemahkan KPK?
UU KPK yang baru tersebut banyak mengandung kontroversi dan dikhawatirkan melemahkan posisi KPK.
Di antaranya, adanya Dewan Pengawas KPK, dan bila KPK hendak melakukan penyadapan, maka lembaga antirasuah ini harus minta izin dulu kepada Dewan Pengawas tersebut.
Ini akan menyulitkan KPK dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang akhir-akhir ini sangat gencar.
Dalam tahun ini saja hingga 16 Oktober 2019, KPK telah melakukan OTT sebanyak 21 kali.
KPK juga diberi kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sehingga membuka peluang penyidik dan pimpinan KPK untuk “main mata” dengan tersangka. “Itu semua tentu dapat melemahkan KPK. Kami sangat prihatin,” cetus Murphi.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan UU KPK yang baru pada 17 September 2019. Sesuai ketentuan, ditandatangani atau tidak ditandatangani Presiden, sebuah UU otomatis berlaku satu bulan sejak disahkan DPR, dan ternyata Presiden Joko Widodo tidak menandatanganinya.
"Secara hukum, tanpa ditandatangani Presiden pun, revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK tetap berlaku," tukas Murphi merujuk ketentuan dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“UU KPK hanya bisa batal diberlakukan jika Presiden menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, red). Presiden diberi waktu selama 30 hari untuk menandatangani UU setelah disahkan oleh DPR.
Artinya, selama rentang waktu 30 hari itu, jika Presiden tidak menandatanganinya, maka UU itu akan berlaku secara otomatis sejak disahkan DPR, kecuali Presiden mengeluarkan Perppu. Sejauh ini Presiden tidak mengeluarkan Perppu KPK,” tambah Murphi.
“Untuk itulah, MK perlu diberi kewenangan untuk menunda pemberlakuan sebuah UU. Ini diperlukan jika ada UU yang akan diberlakukan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi rakyat.
Untuk mengubah atau menambah kewenangan MK, maka UUD 1945 beserta undang-undang turunannya harus diubah, dan ini merupakan kewenangan MPR dan DPR,” ujar Murphi lagi.
MK, jelas Murphi, adalah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 2 UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, yang intinya, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Menurut Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 1 UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, lanjut Murphi, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Adapun kewenangan MK, menurut Murphi, diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, yakni MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk, pertama, menguji UU terhadap UUD 1945; kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; ketiga, memutus pembubaran partai politik; dan, keempat, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
“MK juga memiliki wewenang tambahan, yaitu memutus perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota sampai dibentuknya badan peradilan khusus, sebagaimana disebut Pasal 157 UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah,” urai Murphi.
Nah, tutur Murphi, bila kewenangan MK hendak diperluas atau ditambah, misalnya agar bisa menunda pemberlakuan UU, maka Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU No 24/2003 harus diamandemen. “Bila MPR jadi mengamandemen kembali UUD 1945, maka Pasal 24C ayat (1) perlu juga diamandemen. Adapun amandemen Pasal 10 ayat (1) UU No 24/2003 merupakan kewenangan DPR,” tandasnya. (*)