Soroti Pernyataan Jokowi soal Perppu KPK, Pengamat Nilai Presiden Sulit Ambil Keputusan
"Tapi ini memang alasan politik yang dikemukakan karena Presiden sedang agak sulit mengambil keputusan di tengah tuntutan partai," katanya
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas UU KPK hasil revisi karena sedang diuji materiil di MK menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow merupakan alasan politik.
Menurut Jeirry, alasan itu terucap karena Presiden Jokowi mengalami tekanan dari partai politik pendukungnya di parlemen.
DPRD DKI Fraksi PDIP Duga Anies Tekan Kadisparbud dan Kepala Bappeda untuk Mundur
"Kalau alasan Presiden (tidak keluarkan Perppu) karena sedang ada uji materi yang berlangsung, ya boleh saja," kata Jeirry kepada Kompas.com, Jumat (1/11/2019).
"Tapi ini memang alasan politik yang dikemukakan karena Presiden sedang agak sulit mengambil keputusan di tengah tuntutan partai agar UU KPK tetap seperti sekarang (hasil revisi)," lanjut dia.
Namun, Jeirry menyayangkan hal itu.
Semestinya Presiden Jokowi dapat keluar dari tekanan parpol.
Akibat Presiden Jokowi tunduk pada kepentingan parpol, harapan masyarakat, khususnya para pegiat antikorupsi, terhadap pemberantasan korupsi menjadi pupus.
Meski demikian, pernyataan Jokowi membuka peluang Perppu akan diterbitkan apabila MK memutuskan menolak uji materi atas UU KPK itu.
"Alasan yang dibangun ada proses uji materi di MK, kita tunggu saja. Kalau putusan MK tetap pada menyetujui revisi, sebetulnya secara hukum masih bisa kita harapkan pada perppu," kata Jeirry.
Namun yang pasti, isu soal Perppu KPK ini menjadi ujian bagi pemerintahan Jokowi, terutama dalam hal pemberantasan korupsi.
"Atau Jokowi mengalah terhadap kepentingan-kepentingan parpol yang jelas-jelas ingin supaya UU KPK direvisi karena ketidaksukaan mereka terhadap praktik pemberantasan korupsi KPK. Ini ujiannya dalam konteks pemberantasan korupsi," pungkas dia.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memastikan, tidak akan menerbitkan perppu untuk mencabut UU KPK hasil revisi Presiden Jokowi beralasan, menghormati proses uji materi UU KPK yang tengah berjalan di Mahkamah Konsitusi.
Dua Pejabat Mundur, DPRD DKI Fraksi PSI Salahkan Anies Tak Mau Pasang Badan untuk Anak Buahnya
"Kita melihat, masih ada proses uji materi di MK. Kita harus hargai proses seperti itu," kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
"Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan yang lain. Saya kira, kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan," lanjut dia.
Penulis : Deti Mega Purnamasari
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Pengamat: Presiden Sulit Ambil Keputusan di Tengah Tuntutan Parpol
UU KPK diuji materiil ke MK
Hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (MK) membahas permohonan uji materi pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) di rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Hal ini disampaikan Ketua MK, Anwar Usman, pada saat memimpin sidang uji materi pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Baca: MPR Gelar Lomba Cerdas Cermat Empat Pilar
"Hasil dari persidangan ini akan disampaikan ke Rapat Permusyawaratan Hakim," kata Anwar Usman, di ruang sidang gedung MK, Senin (28/10/2019).
Di RPH, hakim konstitusi akan membahas perkara secara lebih mendalam dan rinci.
RPH bersifat tertutup dan rahasia.
Rapat hanya diikuti hakim konstitusi dan panitera.
Nantinya, panitera mencatat dan merekam setiap pokok bahasan dan kesimpulan.
"Bagaimana kelanjutan dari perkara ini? Apakah akan diteruskan atau akan berakhir sampai di sini, langsung putusan, atau masih dilanjutkan," kata dia.
Untuk itu, dia meminta, kepada pemohon agar menunggu pemberitahuan dari pihak kepaniteraan MK.
"Nanti akan diberitahu oleh kepaniteraan, kapan persidangan ini akan dilanjutkan atau mungkin langsung putus atau bagaimana, ya," tambahnya.
Baca: 4 Hal yang Harus Diwaspadai Indonesia Pasca-kabar Tewasnya Pimpinan ISIS Abu Bakar al-Baghdadi
Sebelumnya, MK menguji materi Pasal 21 ayat (1) huruf a UU KPK. Sebanyak 25 orang advokat mengajukan uji materi karena menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 20 UUD 1945.
Sidang uji materi itu tercatat di perkara Nomor 59/PUU-XVII/2019.
Pemohon perbaiki permohonan
Pemohon uji materi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi memperbaiki permohonan di sidang uji materi di ruang sidang pleno gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (28/10/2019).
Salah satu pemohon, Wiwin Taswin, mengatakan pemohon mencantumkan nomor UU KPK hasil revisi, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Baca: Agus Rahardjo Akui Belum Tahu Strategi Jokowi Lewat UU KPK
Sebelumnya, pada mengajukan permohonan, para pemohon tidak mencantumkan nomor UU KPK, karena masih dalam proses pengundangan di Kementerian Hukum dan HAM.
Selain itu, pemohon juga mencantumkan pasal yang diuji, yaitu pasal 21 ayat 1 huruf a UU KPK.
Pasal itu membahas mengenai Dewan Pengawas.
“Jadi selain mempertegas pengujian, kami juga sudah memasukkan objek yang diuji yakni UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019,” kata Wiwin, seperti dilansir laman MK, Senin (28/10/2019).
Wiwin menjelaskan, secara formil para pemohon, berhak atas berlakunya sebuah Undang-Undang yang dibentuk melalui prosedur yang benar berdasarkan hukum dan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Jika, peraturan perundang-undangan dibentuk melalui prosedur yang salah tentu pemohon akan dirugikan secara konstitusional, karena akan menjadi terikat dengan suatu undang-undang yang cacat formil,” kata dia.
Di kesempatan itu, turut dilakukan sejumlah perubahan selain mencantumkan nomor UU KPK dan memasukkan objek yang diuji.
Para pemohon mempertegas legal standing dengan mempertajam dengan menyatakan para pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia yang sedang menempuh kuliah program pascasarjana magister hukum di Universitas Islam As-Syafi'iyah, sekaligus berprofesi sebagai advokat.
Selanjutnya, pemohon memperbaiki bagian petitum.
Di petitum, para pemohon memohon kepada MK untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Sedangkan dalam pengujian Undang-Undang formil, para pemohon meminta MK untuk menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 secara formil tidak memenuhi mekanisme Peraturan Perundang-Undangan.
Sedangkan dalam pengujian materiil, menurutnya, apabila MK mempunyai pendapat bahwa pembentukan RI Nomor 19 Tahun 2019, telah memenuhi prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan pedunang-undangan, maka pihaknya memohon kepada MK untuk menyatakan pasal 21 ayat 1 huruf a UU nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sebelumnya, Wiwin Taswin selaku salah satu pemohon mendalilkan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 20 UUD 1945.
Baca: Merasa Difitnah KPK, Markus Nari Ajukan Pembelaan
Menurut para Pemohon, pengesahan UU KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak sesuai dengan semangat TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan sama sekali tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi.
Sidang perkara Nomor 59/PUU-XVII/2019 dimohonkan oleh Sunariyo, Netrawati, Rosyidah Setiani, Wiwin Taswin, dan lainnya.