Kenang Tragedi Semanggi 1998, Untaian Doa Sumarsih untuk Sang Putra dan Keadilan
Ibu dengan rambut beruban ini menaruh harapan. Menanti janji pemerintah mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ibu berpakaian hitam-hitam itu berdiri diam menatap megahnya gedung Istana Negara, tempat sang presiden berkantor.
Disanalah, ibu dengan rambut beruban ini menaruh harapan. Menanti janji pemerintah mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM.
Dialah Maria Sumarsih, ibunda dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Atma Jaya, Jakarta.
Anak sulung Sumarsih itu tewas diterjang peluru tajam yang mengenai jantung dan paru di dada kiri. Wawan dimakamkan Sabtu (14/11/1998) silam.
21 tahun setelah kepergian Wawan, Sumarsih tetap berjuang agar tragedi Semanggi 1, Jumat (13/11/1998) diselesaian melalui Pengadilan HAM ad hoc.
Hari itu, Rabu (13/11/2019) tepat 21 tahun tragedi Semanggi 1, Sumarsih bergabung dengan puluhan mahasiswa Atma Jaya menggelar aksi di sebrang Istana Negara, menyuarakan keadilan.
Dia berdiri diantara para mahasiswa yang menyanyikan lagu gugur bunga dan memanjatkan doa bagi senior mereka, Wawan.
"Bu Sumarsih", sapa Tribunnews mendekatinya. Sumarsih menengok dan melempar senyum. Dengan ramah, dia berbagi cerita dan kenangan atas Wawan.
"Wawan tidak bisa kembali dan tidak dapat digantikan. Sampai sekarang Wawan tetap bersama saya," kata Sumarsih mengawali perbincangan sore itu.
Meski raganya tiada, Sumarsih tetap menghitung Wawan setiap kali makan. Piring, sendok, garpu hingga gelas berisi air putih tetap disediakan bagi Wawan.
Setiap kali hari ulang tahun Wawan, Sumarsih tidak pernah absen membuat tumpeng, kue tart cokelat hingga makanan kesukaan Wawan.
Kue tart cokelat, sepiring nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk disiapkan di kamar Wawan, di lantai dua rumah mereka yanh terletak bilangan Jakarta Barat.
"Kalau ulang tahun Wawan, selalu ada tumpeng dan kue ulang tahun, kami doa bersama. Itu terjadi sampai sekarang. Selesai itu nasi tumpeng dimakan oleh teman-teman Wawan yang datang ke rumah," tutur Sumarsih.
Senyum mengembang ditunjukkan Sumarsih. Dia sempat terdiam mengenang sang putra. Angin sore itu, membelai rambut putih Sumarsih.
"Setiap Desember, jelang Natal. Saya selalu ziarah ke beberapa goa maria, berdoa untuk Wawan. Saya lebih pada berserah diri," ungkap Sumarsih kembali memulai perakapan.
Di hadapan Bunda Maria, Sumarsih memanjatkan doa : " Tuhan Yesus Kristus, kami serahkan penembak Wawan ke dalam tangan-Mu. Kami serahkan tanggung jawab negara atas penembakan Wawan dan kawan-kawannya"
"Untuk Wawan, persatukanlah Wawan dengan himpunan para malaikat dan para kudusmu di Surga. Jadikanlah Wawan sebagai pendoa bagi kami, yang masih mengarungi peziarahan di dunia ini"
"Saya lebih berserah diri. Saya serahkan luka batin saya, seluruh hidup saya. Keterbatasan dan kekurangan saya. Saya mengakui kekuatan dan kehadiran ilahi sebagai kekuatan aktif dalam diri," tambahnya.