Soal Isu Aturan Cadar di ASN, Haedar Nashir: Cara Sosialisasi Pemerintah Tak Pas, Jadi Kontroversi
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Hadar Nashir menilai cara pemerintah kurang pas dalam mengkomunikasikan pada masyarakat soal pelarangan cadar di ASN.
Penulis: Nidaul 'Urwatul Wutsqa
Editor: Ifa Nabila
TRIBUNNES.COM - Sempat muncul isu adanya aturan penggunaan cadar dan celanan cingkrang di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menilai cara pemerintah kurang pas dalam mengkomunikasikan aturan itu pada masyarakat.
Namun Haedar Nashir berharap masyarakat, utamanya ASN bisa menaati jika memang aturan tersebut resmi berlaku.
Haedar Nashir juga menyorot pemerintah cenderung agak berlebihan dalam menanggapi isu aturan itu sehingga menimbulkan kontroversi.
Di sisi lain, ia berpandangan masyarakat dalam merespons isu ini juga berlebihan.
"Sebaliknya yang merespons pun berlebihan juga. Sehingga, ekstrem ketemu ekstrem lalu ekstrem baru, tapi itu wajarlah dalam berbangsa," tutur Haedar Nashir dalam wawancara unggahan KompasTV, Minggu (17/11/2019).
Langkah-langkah yang keluar dari pemerintah tentang penggunaan cadar dan celana cingkrang menurut Muhammadiyah secara substansinya pemerintah ingin melakukan penertiban terhadap ketidakteraturan cara berpakaian.
Hal ini, Haedar mengatakan mesti ada standar objekif dan semua warga bangsa harus mengikuti aturan tersebut.
Namun, penerapannya memang harus betul-betul saksama.
"Misalkan kalau melarang yang bercadar maka juga jangan diberi ruang bagi mereka yang memakai pakaian tidak pantas, sehingga kemudian objektif. Lalu, seragam yang memberi ruang juga bagi kebebasan yang menjalankan agama," ungkap Haedar Nashir menjelaskan.
Menurut Muhammadiyah dan mayoritas dari pandangan umat Islam, muka dan telapak tangan bagi perempuan itu bukanlah sesuatu yang wajib ditutup.
Tetapi, bagi Haedar Nashir di sini ah terdapat masalah, karena bersifat keyakinan (lebih dari berpakaian atau kurang dari berpakaian) sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dirinya mengatakan, kini semua agama mempunyai semangat untuk lebih kuat beragama, bukan hanya di Islam, tetapi hampir gejala universal.
Oleh karena itu, semangat beragama harus ditarik pada titik tengahan yang moderat.
"Caranya agar mereka yang berlebihan dari beragama, saking semangatnya atau yang berkekurangan, karena tidak begitu menghayati makna agama, perlu ada dakwah," kata Haedar Nashir.
Lebih lanjut, ia menerangkan inti dakwah tersebut dengan cara yang bijak, edukatif, dan cara yang dialogis.
Semua kekuatan masyarakat muslim sesungguhnya punya prinsip yang sama tentang dakwah.
Dakwah itu mengajak, menyeru, sifatnya partisipatif, dan dialogis.
Maka adanya regulasi pun harus disosialisasikan dengan cara saksama.
"Wilayah negara itu bikin regulasi monggo dan itu bagus. Tapi cara sosialisasi dan menerapkan kebijakan itu tentu harus dengan saksama," ujarnya.
Kemudian, ia mengingatkan adanya kewajiban warga bangsa dalam berbangsa dan bernegara adalah harus mengikuti aturan juga regulasinya.
Hal ini, agar tidak menjadi masalah maka semua harus mencari titik temu pada Islam dan agama yang tengahan.
Soal Radikalisme, Muhammadiyah Nyatakan Menentang
Soal radikalisme, Muhammadiyah nyatakan sikap selalu menentang segala bentuk teror, kekerasan, ekstremitas, dan perbuatan yang merusak di muka bumi, baik itu atas nama radikalisme dan ekstremisme.
Isu radikalisme kembali hangat di Indonesia, sehingga meyebabkan terjadinya perdebatan juga munculnya pernyataan yang menyinggung soal radikal membuat masyarakat kaget.
"Semua warga bangsa, komponen bangsa, dan saya yakin umat manusia sedunia itu mengecam dan tidak pernah setuju terhadap segala bentuk kekerasan," tutur Ketum PP Muhammadiyah itu.
Haedar mengatakan, Muhammadiyah terus menggelorakan agar Islam itu pro perdamaian, pro toleransi, bahkan sesama umat Islam harus saling menghargai keragaman cara beribadah.
Kemudian, seluruh keluarga bangsa bahkan umat semesta harus saling mengenal, hidup berdampingan, saling bekerja sama, dan itu sudah menjadi platform masyarakat.
Haedar berpandangan, sebagian masyarakat terlalu semangat dalam beragama, sehingga akhirnya kurang memperoleh bimbingan yang komprehensif maka terjadi kecenderungan-kecenderungan yang ekstrem.
Akibatnya, prinsip yang seharusnya digunakan untuk diri sendiri digunakan untuk orang lain, lalu terjadi intoleransi juga terjadi tindakan-tindakan yang tidak semestinya.
Problemnya adalah sikap orang yang radikal disertai sikap fanatik buta terhadap keyakinan sendiri dan tidak menghargai dan menghoramti keyakinan orang lain.
Maka ia mengimbau, yang diperlukan dalam beragama itu juga kematangan, kedewasaan, spiritualitas, dan sifat untuk selalu tasamuh, toleran terhadap keragaman orang lain.
Awal Radikalisme Menurut Haedar Nashir
Haedar mengajak untuk melihat soal radikalisme itu dalam dua sisi, yang pertama konsep radikal itu awalnya konsep netral kembali ke akar.
Tetapi kemudian dalam perkembangan politik ada gerakan politik yang radikal yang ingin mengubah tatanan.
Terdapat orang-orang, sekelompok orang yang ingin kembali ke akar (radikal).
Lalu, ada dua kecenderungan, satu karena dia kembali ke akar atau ke prinsip dan memandang prinsipnya yang paling benar, sehingga dia tidak toleran terhadap prinsip orang lain.
Akibat tidak toleran, maka sering menempuh cara-cara yang melampaui batas, itulah yang disebut dengan ekstrem.
Kemudian yang kedua, ada bias, hal -hal yang sebenarnya bukan akar dianggap akar, lalu menyebabkan sering terjadi kontroversi.
Oleh karena itu, dirinya berpendapat, masalah ini perlu didialogkan antara pemerintah dengan seluruh komponen bangsa termasuk Muhammadiyah agar mempunyai kesepahaman tentang konsep radikalisme.
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)