Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PPP Tantang Humphrey Djemat Sebut Nama Partai Politik yang Minta Rp 500 Miliar ke Calon Menteri

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menyebut pernyataan Humphrey Djemat tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Adi Suhendi
zoom-in PPP Tantang Humphrey Djemat Sebut Nama Partai Politik yang Minta Rp 500 Miliar ke Calon Menteri
Kompas.com/Fabian Januarius Kuwado
Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi. Kompas.com/Fabian Januarius Kuwado 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menyebut pernyataan Humphrey Djemat tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Humphrey Djemat sebelumnnya menyebut ada partai politik yang meminta uang Rp 500 miliar kepada calon menteri.

Achmad Baidowi menantang balik Humphrey Djemat untuk menyebutkan partai yang meminta uang tersebut.

"Ini ngawur, tak bisa dipertanggungjawabkan. Agar gentle sebut saja siapa orangnya dan partainya, sehingga tidak menjadi fitnah politik," kata Achmad Baidowi saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (24/11/2019).

Achmad Baidowi memastikan bahwa penunjukan menteri merupakan hak prerogatif dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca: Humphrey Djemat Ungkap Ada Calon Menteri yang Diminta Harus Setor Rp 500 Miliar Untuk Partai Politik

Sehingga tidak mungkin untuk partai politik meminta uang kepada calon menteri.

Berita Rekomendasi

Dirinya juga menilai tidak mungkin menteri dapat memberi uang Rp 500 miliar dengan gaji yang diterima.

"Apalagi dia harus memahami bahwa penunjukan menteri di kabinet merupakan hak prerogratif presiden Joko Widodo," ucap Baidowi.

"Lagian ngitung isu Rp 500 Miliar dari mana? Gaji menteri lima tahun berapa? Kapan baliknya? Belum lagi kalau diganti di tengah jalan, makin tidak ketemu rumus pengembaliannya," tambah Baidowi.

Sebelumnya Ketua PPP versi Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat, mengungkapkan ada calon menteri yang dimintai uang sebesar Rp 500 miliar oleh sebuah partai politik (parpol).

Menurut Humphrey Djemat, permintaan tersebut sebagai bentuk komitmen agar partai politik menyokongnya menjadi menteri.

Humphrey menyebut, calon menteri tersebut berasal dari kalangan profesional atau non-parpol.

"Saya sudah mendengar dari calon menteri yang sebenernya itu pilihan dari Jokowi. Dia mau di-endorse partai politik tersebut, dia tidak harus kasih uang untuk itu, tapi harus ada komitmen selama dia menjadi menteri, dia harus bisa mengkontribusi Rp 500 miliar," ungkap Humphrey Djemat di kawasan Matraman, Jakarta, Minggu (24/11/2019).

Baca: Humphrey Djemat: Sosok Jokowi, Ahok, Risma, dan Ridwan Kamil Tak Akan Muncul Tanpa Pilkada Langsung

Humphrey Djemat menolak untuk mengungkapkan sosok calon menteri tersebut.

Dirinya hanya mengungkapkan permintaan parpol tersebut ditolak calon menteri itu.

Calon menteri itu menolak karena tidak memiliki uang.

Selain itu, Humphrey mengungkapkan permintaan tersebut berlawanan dengan hati nurani calon menteri tersebut.

Baca: PPP Lakukan Kaderisasi untuk Persiapan pemilu 2024

"Nah itu karena dia memang orang profesional ya itu tentu against dari pada esensi dari hati nuraninya, dia tidak mau. Kalau dia mau, dia bisa, karena diminta uang pun dia tidak punya, karena dia seorang profesional, keahliannya memang dibutuhkan presiden," tutur Humphrey Djemat.

Meski begitu, Humphrey mengatakan, tidak semua menteri dimintai uang Rp 500 miliar.

Namun, menurutnya hal ini menunjukan buruknya integritas parpol di Indonesia.

Baca: Pilkada 2020 Diprediksi Jadi Pintu Masuk Parpol Menyongsong Pilpres 2024

"Jangan curiga dulu semua menteri sudah teken kontrak Rp 500 miliar. Jangan. Tapi ada kejadian seperti itu, bagaimana parpol itu bisa melakukan rekrutmen atau pejabat baik kalau mentalitas integritasnya tidak ada," kata Humphrey.

Kata Humprey Djemat soal Pilkada Langsung

Ketua PPP versi Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat, menilai sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung banyak melahirkan sosok pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas.

Sistem Pilkada langsung mendapatkan kritikan karena berbiaya tinggi.

Humphrey Djemat justru menilai Pilkada langsung dapat memunculkan sosok pemimpin seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

"Kebanyakan orang memang lebih melihat high cost-nya. Tapi kalau diperhatikan banyak juga Pilkada langung ini memunculkan figur-figur kepala daerah dengan kredibilitas tinggi seorang Ahok, Presiden Jokowi, Bu Risma, Ridwan Kamil tidak akan muncul kalau tidak ada Pilkada langsung," ujar Humphrey Djemat di kawasan Matraman, Jakarta, Minggu (24/11/2019).

Baca: Direktur Riset Setara Institute: Kasus Sukmawati Tidak Ada Hubungannya Dengan Penistaan Agama

Menurut Humphrey Djemat suatu kemunduran jika Pilkada kembali menggunakan sistem tidak langsung.

Menurutnya politik uang akan semakin merebak dengan sistem Pilkada tidak langsung.

"Jadi kalau sudah dicoba, sekarang kemudian di lakukan dengan cara Pilkada langsung, mau kembali lagi, ya namanya makai barang busuk lagi sebenernya. Malah bisa lebih parah lagi sebenernya untuk itu," kata Humphrey Djemat.

Baca: Karding: Penunjukan Ahok Jadi Komut Pertamina Tak Lepas dari Keberhasilannya Saat Pimpin Jakarta

Ia menilai tingginya biaya politik justru disebabkan partai politik.

Menurut Humphrey Djemat, mahar politik yang diminta partai membuat calon kepala daerah membutuhkan banyak dana.

Humphrey juga menilai ada kelemahan dari aspek penegakan hukum.

Menurutnya butuh pembenahan dalam aspek penegakan hukum terkait penyelenggaraan Pilkada langsung.

Baca: Penerbitan Sertifikat Tanah hingga November Capai 8,5 Juta, Begini Unggahan Jokowi

"Semuanya itu kan muncul dari partai politik, partai politik itu kan kalau mengenai soal katakanlah mahar transaksional itu sudah jadi rahasia umum, bahkan kemungkinan lebih besar maharnya dari pada kepentingan calon tersebut dalam mendekati masyarakat melibatkan dry cost yang harus di keluarkan," ungkap Humphrey.

"Terutama kelemahan di Indonesia ini kan di law enforcement ya, lemahnya di situ sehingga ini bisa katakanlah ya tidak sesuatu yang memang kelihatan pembenahan dari suatu sistem karena itu akan terjadi berulang-ulang," ujar Humphrey.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, salah satu alasan dirinya mengusulkan evaluasi pilkada secara langsung adalah karena biaya politik yang tinggi.

Baca: Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia: Besaran Gaji Itu Relatif

Tito menjelaskan, biaya politik mahal itu mulai dari dana yang dikeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bahkan, kata dia, calon kepala daerah juga mengeluarkan biaya tinggi.

Tito mengatakan, tidak ada yang gratis dalam pilkada langsung. Ia mencontohkan, seorang calon bupati bisa mengeluarkan biaya sebesar Rp 30 miliar untuk ikut pilkada.

"Untuk jadi bupati kalau enggak punya Rp 30 miliar, enggak berani," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas