Terkait Penambahan Masa Jabatan Presiden, Perludem Sebut Indonesia Krisis Figur
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan penambahan masa jabatan presiden membuat seolah-olah Indonesia krisis figur.
Penulis: Febia Rosada Fitrianum
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
"Berkaca dari demokrasi global, beberapa negara yang mengalami kemunduran dan sekarang berstatus tidak demokrasi."
"Venezuela sekarang betul-betul negara yang tidak demokratis. Awal mula mereka masuk ke sana adalah amandemen konstitusi dan kemudian mereka mengganti ketentuan soal masa jabatan."
Menurut Titi Anggraini, penetapan masa jabatan presiden selama dua periode atau 10 tahun merupakan perhitungan yang tepat.
Titi Anggraini menjelaskan, lima tahun bukanlah waktu yang terlalu lama.
Sehingga jika ada presiden yang ketika diberikan waktu untuk bekerja dengan baik, maka terdapat peluang untuk terpilih kembali.
Berbeda dengan jika presiden tersebut tidak dapat bekerja dengan baik, maka masyarakat tidak perlu menunggu selama delapan tahun karena itu merupakan waktu yang cukup lama.
Selain itu, jika presiden dalam menjalankan tugasnya dinilai tidak maksimal, maka tidak akan dipilih kembali pada periode selanjutnya.
"Sekarang kita bicara tiga, tapi tidak ada jaminan nanti kita bicara empat periode, dan seterusnya. Periode dua jabatan dengan perhitungan yang betul-betul rasional," jelas Titi Anggraini.
"Misalnya lima tahun, lima tahun tidak terlalu lama. Orang diberikan ruang bekerja dengan maksimal kalau kinerjanya baik dia ada ruang untuk terpilih kembali."
"Kalau kinerjanya buruk, kita tidak perlu menunggu hingga delapan tahun. Lalu kalau kinerjanya buruk kita tidak pilih kembali."
Baru genap sebulan pemerintahan Kabinet Indonesia Maju, muncul wacana masa jabatan presiden akan ditambah menjadi 15 tahun.
Menurut wacana yang beredar, perpanjangan masa jabatan presiden akan dilakukan melalui amandemen terbatas Undang Undang Dasar 1945.
(Tribunnews.com/Febia Rosada Fitrianum)