Pengamat: Kalau Tujuannya untuk 'Jilat' Jokowi, Sebaiknya Enggak Usa
Hendri menilai, tak ada yang perlu diubah soal masa jabatan presiden. Masa jabatan kepala negara maksimal dua periode tidak perlu diubah.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari lembaga survei Kedai Kopi Hendri Satrio berpendapat, wacana penambahan periode jabatan bagi kepala negara merupakan hal yang tidak perlu.
"Kalau hanya untuk kepentingan elite politik dengan tujuan untuk menjilat Jokowi, mending enggak usah deh," ujar Hendri saat dihubungi Kompas.com, Senin (25/11/2019).
Hendri juga berpendapat bahwa wacana itu membuat masyarakat Indonesia terbelah.
Baca: Ruhut Sitompul Yakin Jokowi Berpihak Rakyat Soal Masa Jabatan Presiden: Suara Rakyat Suara Tuhan
Baca: Soal Isu Masa Jabatan Presiden, Hidayat Nur Wahid Yakin Presiden Risih: Saya Yakin Jokowi Tak Nyaman
Sebab, wacana itu menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
"Jangan kemudian masyarakat dipecah belah dengan hal-hal seperti ini ya, pakai ada tiga periode," lanjut dia.
Hendri menilai, tak ada yang perlu diubah soal masa jabatan presiden.
Masa jabatan kepala negara maksimal dua periode tidak perlu diubah.
Ia mencontohkan dua periode yang dilewati Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga tak meninggalkan permasalahan krusial.
Hendri pun meyakini bahwa usul yang dilontarkan MPR RI itu belum tentu disetujui Presiden Jokowi.
"Menurut saya, wacana ini bukannya hanya riskan, tapi ngaco. Enggak usah jilat-jilat Pak Jokowi dan membuat citra Pak Jokowi jelek. Ini benar-benar mesti direformasi ulang kepada pimpinan MPR," kata Hendri.
Hendri pun meminta pimpinan MPR berkonsentrasi mengerjakan hal-hal yang substansial.
"Seperti otonomi daerah, ambang batas presiden sampai ambang batas partai politik ke DPRD," ucap Hendri.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengungkapkan adanya wacana perubahan masa jabatan presiden dan wakil presiden terkait amendemen UUD 1945.