Pembiayaan Jangka Panjang untuk Bangun Infrastruktur Masih Minim
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membutuhkan sekira Rp 6.000 triliun guna membangun infrastruktur selama periode kedua pemerintahannya.
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membutuhkan sekira Rp 6.000 triliun guna membangun infrastruktur selama periode kedua pemerintahannya.
Sustainable Development Investment Pannership (SDlP) ASEAN Hub memiliki solusi terhadap tantangan pembiayaan infrastruktur berkelanjutan melalui asuransi dan pasar modal.
SDIP akan mengidentifikasi langkah berikutnya untuk mendukung investasi domestik jangka panjang pada forum “Mendorong Pendanaan Infrastruktur Berkelanjutan melalui Pasar Modal dan Pertumbuhan Asuransi" hari ini.
Co-Chair of the Steering Group of SDlP ASEAN Hub Donald Kanak menjelaskan, SDlP mendirikan SDlP ASEAN Hub untuk mengambil peran penting dalam mengelola modal bagi pembangunan berkelanjutan di ASEAN.
Baca: Pakar Tata Kota Nirwono Jogo Menilai Anies Baswedan Belum Fokus Urusi Kemacetan Jakarta
"Forum diskusi sepenti pada hari ini sangat penting dalam rangka melanjutkan dialog yang konstruktif dan mengedepankan solusi yang mendukung agenda nasional untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," ujarnya di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Forum ini, lanjutnya, menghadirkan pemerintah maupun swasta, serta menekankan pada signifikansi investasi domestik jangka panjang.
Selain itu, bagaimana asuransi maupun pasar modal domestik yang semakin besar dapat mempercepat mobilisasi modal untuk pembangunan beukelanjutan jangka panjang.
"Keberhasilan forum ini merupakan sebuah langkah penting guna membina pendekatan kolaboratif yang telah dibangun oleh SDIP ASEAN Hub bersama dengan pemerintah dan swasta. Khususnya, untuk membiayai pembangunan infrastruktur berkelanjutan di Indonesia," tutur Donald.
Adapun, lanjutnya, saat ini porsi aset keuangan jangka panjang seperti asuransi, pensiun, dan reksa dana di Indonesia masih minim yakni 9 persen dari PDB.
Indonesia dinilai mengikuti jejak beberapa negara tetangga ASEAN dalam kesenjangan memobilisasi tabungan jangka panjang.
Menurut Donald, ini tidak disebabkan oleh tingkat tabungan yang lebih rendah atau tingkat kekayaan per kapita yang lebih rendah. Misalnya tingkat tabungan Indonesia sebanding dengan Thailand dan dengan tingkat tabungan dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari Vietnam.
Sementara, sektor perbankan memainkan peran kunci dalam pertumbuhan pembiayaan, tetapi peraturan perbankan modern menghambat bank untuk melakukan pinjaman jangka panjang.
Ini karena bank menerima pendanaan dari deposito jangka pendek. Ketidakcocokan deposito jangka panjang dengan pinjaman jangka panjang menciptakan risiko bagi masing-masing bank dan sistem perbankan.
Berbeda dengan bank, dana pensiun dan asuransi jiwa harus mengumpulkan dana untuk kebutuhan jangka panjang seperti pendidikan, pensiun, dan perawatan lanjut usia.
"Dana pensiun, perusahaan asuransi jiwa dan reksa dana ingin berinvestasi dalam obligasi dan saham jangka panjang. Karenanya merupakan penyedia alami modal jangka panjang dan dapat melengkapi bank yang merupakan penyedia utama pembiayaan jangka pendek dan menengah," pungkasnya.