Menangis saat Sidang, Terdakwa Kasus Mutilasi PNS Dituntut Mati, Pengacara: Bertentangan dengan HAM
Deni Priyanto (37), terdakwa kasus mutilasi Komsatun Wachdiah (51) dituntut hukuman mati oleh majelis hakim PN Banyumas, Jawa Tengah.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Deni Priyanto (37), terdakwa kasus mutilasi Komsatun Wachdiah (51) menangis di ruang sidang PN Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (10/12/2019).
Tangisan Deni pecah saat membaca pledoi di hadapan majelis hakim.
Melansir Kompas.com, pledoi yang dibacakan Deni tertulis dalam dua lembar kertas HVS.
Pledoi tersebut ditulis tangan oleh Deni.
Sambil menangis, Deni mengaku menyesal dan khilaf.
"Saya ingin mengungkapkan rasa penyesalan saya dari lubuk hati yang paling dalam atas kekhilafan saya dan dengan penuh ketulusan dari lubuk hati yang paling dalam," ungkapnya.
Majelis hakim pun meminta Deni untuk menenangkan diri.
Kemudian, Deni diminta untuk melanjutkan pembacaan pledoi.
"Dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya sangat memohon maaf dan sangat mengharapkan semoga seluruh keluarga almarhumah sekiranya mampu untuk memaafkan saya," lanjut Deni.
Pledoi Dibacakan Kuasa Hukum
Lantaran Deni terus menangis, mejelis hakim meminta kuasa hukum terdakwa, Waslam Makhsid, untuk melanjutkan pembacaan pledoi.
"Saya sangat memohon dengan kerendahan hati saya mengharapkan kemurahan hati majelis hakim," ujarnya.
Waslam menyebut, Deni masih berkeinginan untuk berkumpul bersama keluarga.
"Semoga saya diberi keringanan hukuman agar suatu saat nanti saya masih bisa berkumpul dengan keluarga saya," kata Waslam.
Disebutkan Waslam, Deni harus memberi nafkah istri dan ketiga anaknya.
Di samping itu, terdakwa juga harus merawat ibunya.
"Dari lubuk hati yang paling dalam saya memohon maaf kepada keluarga almarhumah dan saya juga mohon maaf kepada ibu saya yang sangat saya hormati dan sayangi. Kepada anak-anak dan istri saya mohon maaf, saya sangat menyesal," ujar Waslam.
Tanggapan Kuasa Hukum
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Abdullah Mahrus, Waslam mengungkapkan tuntutan hukuman mati dari Jasksa Penuntut Umum (JPU) kurang adil.
Dilansir melalui Kompas.com, Waslam menyebut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menghapus hukuman mati.
Ia juga menyebut hukuman mati bertentangan dengan HAM.
"Berdasarkan hasil studi, hukuman mati belum mampu menurunkan tindak kejahatan. Hukuman mati juga bertentangan dengan HAM, penerapan hukuman mati seperti diketahui bersama sebagai ajang balas dendam," kata Waslam.
Waslam menyebut, beberapa perilaku terdakwa hendaknya dijadikan pertimbangan untuk keringanan hukuman.
Menurut Waslam, terdakwa telah mengakui perbuatannya dan tidak berbelit maupun menyanggah keterangan saksi dan diajukan, serta memiliki niatan untuk memperbaiki diri.
"Terdakwa mengikuti nasihat untuk bertaubat, selama di rutan selalu menjalankan shalat," ujarnya.
Waslam juga menyebut terdakwa masih muda dan menjadi tulang punggung keluarga.
"Di samping masih muda, terdakwa sangat mungkin memperbaiki diri, dia juga menjadi kepala keluarga," ujar Waslam.
Maka dari itu Waslam meminta keringanan hukuman kepada majelis hukum.
"Terdakwa memang sebelumnya sudah pernah dihukum dua kali, namun tindak pidana yang dilakukan adalah pencurian dengan pemberatan dan perkara penculikan," kata Waslam.
Diketahui, hukuman mati yang dituntutkan kepada terdakwa lantaran dirinya melanggar tiga pasal sekaligus.
Ketiga pasal itu yaitu Pasal 340 KUHP, kemudian Pasal 181 KUHP dan Pasal 362 KUHP.
Dirinya terbukti sah melakukan pembunuhan berencana terhadap Khomsatun yang merupakan seorang pegawai negeri sipil (PNS).
Terdakwa juga dianggap menyembunyikan dan menghilangkan barang bukti dengan cara memutilasi dan membakar bagian tubuh korban.
Selain itu, terdakwa juga mengambil sejumlah barang milik korban.
(TRIBUNNEWS.COM/Wahyu Gilang Putranto) (Kompas.com/Kontributor Banyumas, Fadlan Mukhtar Zain)