Respons ICW Sikapi Pernyataan Jokowi Soal Hukuman Mati Bagi Koruptor
Atas hal tersebut, Kurnia Ramadhana menilai, peryataan Presiden Jokowi soal hukuman mati bagi koruptor keliru besar.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, hukuman mati bagi koruptor telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas hal tersebut, Kurnia Ramadhana menilai, peryataan Presiden Jokowi soal hukuman mati bagi koruptor keliru besar.
Ia berpendapat hukuman mati bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera.
"ICW sendiri tidak sependapat dengan konsep hukuman mati, karena masih banyak cara untuk memberikan efek jera pada pelaku korupsi," kata Kurnia Ramadhana saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (10/12/2019).
Baca: Yenti Garnasih Yakin Dewan Pengawas KPK Pilihan Jokowi Paham Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi
ICW berpendapat, tindakan yang lebih tapat yakni memiskinkan koruptor dan memberikan vonis penjara semaksimal mungkin dan pencabutan hak politik.
Kurnia pun menyebut, kondisi saat ini menggambarkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi masih sangat jauh dari harapan.
Terlebih, rata-rata vonis pengadilan tipikor pada tahun 2018 lalu hanya menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun 5 bulan penjara.
Baca: Saat Rocky Gerung Komentari Pentas Drama 3 Menteri Jokowi di Hari Anti Korupsi, Opera Van Norak
"Pencabutan hak politik pun sama, masih banyak Jaksa ataupun Hakim yang tidak memanfaatkan aturan ini secara maksimal," jelasnya.
Kurnia pun menyebut, isu besar terkait pemberantasan korupsi saat ini bukan tentang pemberian hukuman mati.
Baca: Komentar Pedas Rocky Gerung untuk Pentas Drama Para Menteri di Depan Jokowi: Opera Van Norak
Namun, bagaimana negara bisa memastikan masa depan pemberantasan korupsi akan cerah.
"Kami meyakini bahwa hal ini hanya bisa tercapai jika Presiden Joko Widodo menerbitkan PerPPU UU KPK," katanya.
"Sebab, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi akan berjalan dengan lancar jika lembaga yang selama ini menjadi leading sector (KPK,red) sudah 'mati suri' sejak UU KPK baru berlaku," jelasnya.
Tidak banyak manfaatnya
Direktur Amnesty International Usman Hamid menilai pernyataan Presiden Joko Widodo terkait hukuman mati bagi koruptor tidak banyak manfaatnya.
"Pernyataan Jokowi jadi tidak banyak manfaatnya, apalagi ketika kita baru saja menyaksikan pelemahan KPK secara sistematis. Seharusnya prioritas pemerintah adalah memperkuat wewenang KPK kembali," kata Usman Hamid saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (10/12/2019).
Usman Hamid menilai, pernyataan Jokowi hanya ingin memberi kesan bahwa pemerintah bersikap keras terhadap koruptor.
Baca: Peringatan Hari HAM Sedunia, Kontras Soroti Perlindungan HAM di Era Jokowi
Tetapi pernyataan yang dilontarkan Jokowi berlawanan dengan grasi yang diberikan terhadap terpidana kasus korupsi yang juga mantan Gubernur Riau, Annas Maamun.
"Saya rasa pernyataan itu ingin memberi kesan bahwa pemerintah bersikap keras terhadap koruptor tetapi sayangnya pernyataan itu berlawanan dengan pengurangan hukuman yang baru-baru ini diberikan," kata Usman Hamid.
Usman berpandangan, hukuman mati adalah hukuman kejam yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
"Jadi harus dihapuskan dalam sistem hukum maupun dihentikan dalam praktiknya," kata Usman Hamid.
Baca: Jika Ingin Berantas Korupsi, Jokowi Disarankan Harus Punya Political Will yang Kuat
Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) bisa diterapkan asalkan ada kehendak dari masyarakat.
Menurut Jokowi, hukuman mati bagi koruptor bisa dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tipikor, melalui revisi.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor itu dimasukkan (hukuman mati), juga termasuk (kehendak anggota dewan) yang ada di legislatif ( DPR)," tegas Jokowi di SMK 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019).
Ketika ditanya apakah akan ada inisiatif pemerintah untuk merivisi UU Tipikor agar hukuman mati masuk dalam salah satu pasal, Jokowi kembali menyebut itu tergantung dari kehendak masyarakat.
"Ya bisa saja kalau jadi kehendak masyarakat," imbuhnya.
Baca: Jika Ingin Berantas Korupsi, Jokowi Disarankan Harus Punya Political Will yang Kuat
Untuk diketahui masalah hukuman mati bagi koruptor muncul ketika seorang siswa SMK 57, Harley Hermansyah mempertanyakan ketegasan pemerintah memberantas korupsi.
Menurutnya, mengapa Indonesia tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
"Kenapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas, kenapa tidak berani seperti di negara maju misalnya dihukum mati," tanya Harley.
Jokowi langsung merespon pertanyaan Harley.
Ia menjelaskan aturan hukuman mati ada di dalam UU Tipikor.
Baca: Menkumham: Hukuman Mati Bagi Koruptor Masih Wacana
Namun, sampai hari ini belum ada yang dihukum mati.
"Ya kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati itu akan dilakukan," ungkap Jokowi.
Jokowi lalu bertanya kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang juga hadir dalam acara tersebut.
Yasonna menjelaskan hukuman mati menjadi salah satu ancaman dalam UU Tipikor.
Menurutnya, ancaman itu bisa diterapkan bila korupsi dalam kondisi bencana alam.