Peran Badan POM Dikurangi Kemenkes, PBNU Gelar FGD dengan Pemangku Kepentingan
Bahtsul Masail merupakan sebuah forum diskusi antar ahli keilmuan Islam (terutama Fikih) dilingkungan pesantren yang berafiliasi dengan NU.
Editor: Hasanudin Aco
Namun sejumlah pihak mempersoalkan rencana tersebut. Mereka menilai pengambilalihan kewenangan itu cacat hukum karena menabarak Keppres dan Perpres, karena BPOM adalah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang tugas, fungsi dan kewenangannya diatur oleh Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2/2003 dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Presiden Jokowi pada 9 Agustus 2017 juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor: 80/2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan yang secara tegas menetapkan BPOM sebagai LPNK yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam bidang pengawasan obat serta makanan.
Selain itu, mereka mempermasalahkan alasan pengambil-alihan untuk menekan harga obat. Karena masalah utama mahalnya harga obat jelas bukan masalah perizinan, tapi masalah bahan baku obat yang hampir 100 persen masih impor, dan rantai distribusi obat yang sangat panjang. Bahkan dugaan adanya mafia impor obat inilah pemicu mahalnya harga obat.
Pengambil alihan perizinan edar obat ini juga tidak sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi yang sejak awal ingin memperkuat kelembagaan dan fungsi BPOM. Artinya Presiden ingin memperkuat pengawasan, baik pre market control dan post market melalui Inpres 3 tahun 2017 tentang Peningkatan Efektifitas Pengawasan Obat.
Masalah ini juga mulai merambah pada permasalahan subtansi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
“Oleh karena itu, PBNU mengumpulkan sejumlah tokoh agama untuk meninjaunya dari sisi ke-Islaman, tokoh dunia kesehatan dan pemerintah untuk dijadikan rekomendasi dan solusi atas masalah yang terjadi, yang tidak kalah penting, kami akan mengawal rekomendasi tersebut,” kata Sarmidi.
Pada 25 November 2019 lalu, PBNU telah menyampaikan surat rekomendasi kepada DPR-RI tentang Revisi Menyeluruh terhadap UU No.33 2014 tentang jaminan produk halal. PBNU menilai bahwa UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH bermasalah secara filosofis.
Undang-undang ini bertentangan dengan kaidah dasar hukum, yakni al-ashlu fil asyya’i al-ibahah illa an yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan.
PBNU, juga menyoroti UU Tentang JPH secara sosiologis.
Masyarakat Indonesia mayoritas muslim, kondisi ini berbeda dengan negara-negara lain di mana masyarakat muslim merupakan penduduk minoritas yang perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi dari segi konsumsi makanan haram. Oleh karena itu produk dari regulasi ini salah satunya adalah jaminan halal atau sertifikat halal.
Dalam konteks sosiologis di Indonesia, yang seharusnya disertifikasi adalah produk-produk yang tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Dalam kaitan itu PBNU merekomendasikan agar lembaga yang ada seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan RI dan Standar Nasional Indonesia diperkuat.