Cerita Laode M Syarif Tiga Kali Gagal Bertemu Pimpinan Negara untuk Bicara Soal Undang-Undang KPK
Laode M Syarif, menceritakan pengalaman buruk selama dirinya menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laode M Syarif, menceritakan pengalaman buruk selama dirinya menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
Menurut dia, pengalaman paling buruk adalah saat ditolak bertemu dengan pimpinan negara untuk membahas revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Mana The Lowest Point dalam hidup selama empat tahun terakhir. Pada saat ditutup pintu untuk diajak membicarakan UU KPK," kata Laode M Syarif di Pusat Edukasi Antikorupsi KPK Gedung Lama, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2019).
Dia mengaku sudah tiga kali menjadwalkan bertemu dengan pimpinan negara.
Baca: Yasri Yudha Mengaku Langkahnya Laporkan Dewi Tanjung Kepada Polisi Didukung Novel Baswedan
Namun pertemuan tersebut tidak pernah terealisasi.
"Ketika ingin bertemu pimpinan negara, tiga kali dijadwalkan tiga kali ditunda. (Saya,-red) sudah berpakaian, sudah siap," katanya.
Dia mengaku tidak mempermasalahkan adanya perubahan UU KPK.
Namun, dia meminta, agar dilibatkan pada proses pembahasan.
"Mau diubah silakan. Tolong dengarkan kami berlima untuk menyampaikan. Kayak nabrak tembok, susah. Sehingga diketok pun, kami tidak tahu," kata dia.
Baca: Imam Nahrawi Tetap Sumringah Meski Masa Penahanan Diperpanjang: Sabar, Allah Bersama Kita
Bahkan, dia mengaku, tidak dapat menjawab pertanyaan dari para pegawai KPK yang menanyakan mengenai revisi UU KPK.
"Pegawai bertanya, ini bagaimana? Kami sendiri tidak tahu proses UU bagaimana," kata dia.
Baca: BPOM Gandeng 6 Anggota Asosiasi e-Commerce Indonesia Berantas Peredaran Obat Ilegal
Setelah revisi UU KPK disahkan, dia mengaku, mendapatkan salinan draft revisi UU KPK dari wartawan.
"Naskah akhir, kami dapat dari wartawan bukan dari lembaga negara," tuturnya.
Dia menilai pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK menjadi preseden buruk bagi bangsa ini.
"Itu satu-satunya dalam sejarah negeri. (Dia mencontohkan,-red) Mengubah UU tentang BPK atau Kejaksaan tanpa berdiskusi. Pada tahap etika bernegara tidak sesuai tatanan negara dan berbangsa," katanya.
Jangan Buat Hukum Kembali ke Era Kolonial
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Laode M Syarif meminta pemerintah mengkaji terlebih dahulu sebelum memberlakukan Omnibus Law.
"Kami harap ada naskah akademik. Jangan ujuk-ujuk keluar pasal. Jangan membuat hukum kembali ke masa kolonial. Kita sudah millenial mau kembali ke masa kolonial," kata dia, pada sesi jumpa pers di kantor KPK, Kamis (19/12/2019).
Pemerintah Indonesia menyusun Omnibus Law yang tujuan akhir mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca: Komisi XI DPR Siap Bahas Omnibus Law Perpajakan
Omnibus Law adalah suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat menyasar isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana.
Menurut dia, pemerintah harus melibatkan ahli-ahli hukum selama tahap penyusunan Omnibus Law.
"Setelah saya baca tim perumus banyak pemerintah banyak rektor. Rektor itu bukan ahli hukum," kata dia.
Dia mengingatkan agar jangan sampai Omnibus Law itu menjadi tempat berlindung korporasi-korporasi besar.
"Itu diperjelas agar Omnibus Law tidak menjadi awal berlindung korporasi-korporasi yang mempunyai niat tidak baik. Korporasi itu harus dipertanggungjawabkan pidana," tambahnya.