Program Pengganti UN, Pengamat: Kemendikbud Jangan Ulang Kesalahan, Membuat Ujian Nasional 2.0
Anindito Aditomo mengimbau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tak membuat kesalahan sama dalam program pengganti ujian nasional (UN)
Penulis: Nuryanti
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
"Kita telah menarik inspirasi dari berbagai Asesmen dari seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia," jelas Nadiem.
Kemendikbud telah bekerja sama dengan Programme for International Student Assessment (PISA) yang diadakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Selain itu, Nadiem mengatakan, Kemendikbud juga bekerja sama dengan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), untuk membuat program tersebut.
"Kita bekerja sama dengan berbagai macam organisasi, dengan organisasi yang membuat PISA yaitu OECD, dan TIMSS juga," ungkap Nadiem.
Kedua organisasi Asesmen itu, menurutnya, semuanya berdasarkan penilaian secara murni untuk kemampuan logika siswa.
"Semuanya meng-ases secara murni kompetensi bernalar," katanya.
"Artinya konten daripada Asesmen Kompetensi, itu sangat sulit di bimbelkan," lanjut Nadiem.
Senada dengan Nadiem Makarim, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menilai Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang menggantikan ujian nasional (UN) 2021 sebagai program yang bagus.
Menurut Retno, nantinya sistem pendidikan di Indonesia tidak perlu lagi menerapkan hafalan bagi siswa.
"Asesmen itu sebenarnya bagus ya, pertama kalinya sistem pendidikan di Indonesia tidak pakai hafalan," ujar Retno Listyarti, dikutip dari YouTube Kompas TV, Kamis (12/12/2019).
Retno mengungkapkan, jika penggantian UN itu diterapkan, maka untuk pertama kalinya Indonesia menerapkan sistem pendidikan berdasarkan logika siswa.
Penerapan sistem pendidikan berdasarkan logika ini, menurut Retno lebih bagus.
"Tetapi pendidikan di Indonesia, pertama kalinya nalar itu dihargai, bahkan nalar itu didorong, ini bagus," jelasnya.
Namun, Retno menyebut program penggantian UN itu harus sesuai dengan kondisi sekolah di Indonesia, terutama para guru.
"Problem-nya adalah, niat yang bagus ini harus melihat kondisi lapangan," ungkap Retno.
"25 tahun dari hasil riset, menunjukan bahwa guru-guru Indonesia itu mengajar dengan tidak berubah selama 25 tahun terakhir," jelasnya.
(Tribunnews.com/Nuryanti)