Kenapa Perempuan dan Laki-Laki di Indonesia Diperlakukan Berbeda, Ini Kata Sri Mulyani
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memandang kesetaraan gender atau jenis kelamin di Indonesia masih banyak dipengaruhi faktor sosial, budaya, dan agama.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memandang kesetaraan gender atau jenis kelamin di Indonesia masih banyak dipengaruhi faktor sosial, budaya, dan agama.
Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani dalam acara Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertema "Perempuan Hebat untuk Indonesia Maju" di Hotel Ritz Carlton, Jakarta Selatan, Minggu (22/12/2019).
"Konstruksi sosial, agama, budaya di keluarga itu menyebabkan perempuan walaupun di konstitusi diberikan kesamaan kesempatan. Namun saat dididik mulai diperut, kemudian besar, tidak semua keluarga memperlakukan anak perempuan dan laki-laki sama," kata Sri Mulyani.
Baca: Terlalu Sibuk, Prilly Latuconsina Sempat Tersesat di Rumah Barunya
Menurut dia, sebagian warga Indonesia masih mengenal "Patrilineal", suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.
Kemudian, kata dia, seorang ibu menempatkan diri sebagai "Konco Wingking".
"Konco Wingking" dikenal di budaya Jawa dan kadang dianggap berkonotasi negatif, di mana perempuan harus selalu di belakang suaminya.
Baca: Sri Mulyani: Utamakan Dialog untuk Antisipasi Eksklusivitas Kelompok Agama
"Kemudian tertular kepada anak waktu memperlakukan anak laki-laki dan perempuan," katanya.
Ia mencontohkan kalau ada makanan enak, anak laki-laki akan diberi duluan.
Kemudian, bila ekonomi keluarga pas-pasan, anak yang harus terus sekolah laki-laki bukan perempuan.
"Itu memang konstruksi sosial keluarga dan bahkan kultural menyebabkan banyak perempuan di Indonesia merasakan beban besar," kata dia.
Baca: Bekas Lahan Parkir Thamrin 10 Disulap Anies Jadi Spot Kuliner Baru di Jakarta Pusat
Untuk itu, dia berharap, ke depan agar perempuan dapat lebih berkontribusi di segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Bahkan, dia menegaskan, bukan tidak mungkin perempuan dapat melakukan dan berprestasi lebih baik.
"Perempuan itu saya perhatikan merasa sukses selalu merasa kesepian. Itu karena mereka dianggap pengecualian atau ekseptional. Perempuan sukses harus diapresiasi tiga kali lebih hebat," katanya.