Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

'Sulit Baca Gerak Bibir Pak Jokowi'

Angkie, yang ditunjuk sebagai juru bicara presiden bidang sosial, harus belajar membaca gerak bibir Presiden Joko Widodo.

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in 'Sulit Baca Gerak Bibir Pak Jokowi'
Tribunnews/JEPRIMA
Staf Khusus Presidenan Bidang Sosial Angkie Yudistia saat berpose usai wawancara khusus dengan Tribun Network di Thisabel Head Office, Jakarta Pusat, Senin (23/12/2019). Angkie Yudistia berbagi pengalaman dengan Tribunnews mengenai pengalamannya menjabat sebagai Staf Khusus Presiden. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Angkie Yudistia, pendiri Thisable Enterprise, kini memiliki rutinitas baru.

Selain fokus pada This Able Enterprise, sebuah social enterprise yang memberdayakan orang-orang disabilitas, dan menjadi ibu, Angkie Yudistia menjadi staf khusus Presiden Joko Widodo sejak sebulan terakhir.

Ibu dua anak ini perlu menyesuaikan diri terhadap pekerjaan barunya.

Angkie, yang ditunjuk sebagai juru bicara presiden bidang sosial, harus belajar membaca gerak bibir Presiden Joko Widodo.

Angkie adalah seorang tuna rungu dan perlu menggunakan alat bantu dengar sehingga membaca gerak bibir krusial bagi dia untuk menangkap pembicaraan lawan bicaranya.

Baca: Angkie Yudistia Enggan Bandingkan Stafsus Millenial dan Kolonial

Kepada tim Tribun Network perempuan berusia 32 tahun itu bercerita secara eksklusif soal bagaimana dia ditunjuk menjadi staf khusus Presiden Joko Widodo, penyesuaian dirinya serta apa yang dia lakukan sebagai staf khusus. Berikut ini petikan wawancara dengan Angkie Yudistia di kantor Thisable Enterprise, Jakarta, Senin (23/12/2019).

Bagaimana awal mula Anda ditunjuk sebagai staf khusus Presiden Joko Widodo?

Berita Rekomendasi

Sebelum tanggal 21 November itu, berbulan-bulan sebelumnya memang kita dipanggil.

Banyak mengira kita ditunjuk hari itu juga, ternyata tidak. Kita melalui seleksi-seleksi, jadi memang kita ini adalah pilihan-pilihan.

Awal mulanya saat dipanggil itu kita tidak tahu juga untuk apa karena saat dipanggil itu kita kira bentuk audiensi biasa. Artinya pemerintah kan' mengedepankan SDM unggul Indonesia maju.

Dan kita itu kenal karena kita adalah penggerak SDM. Jadi kita mengobrol banyak. Waktu bertemu presiden, saya baru pertama kali, baru sekali. Presiden bertanya latar belakang pendidikannya apa. Apa yang sedang dikerjakan.

Itu saja pertanyaan sederhana. Berikutnya dipanggil oleh tim dari Pak Pratikno.

Itu juga kita bertemu dengan teman-teman (enam staf khusus lain), bahkan lebih banyak lagi untuk berbicara apa yang sedang kita lakukan, apa yang sudah kita lakukan, dan apa yang akan kita lakukan.

Sebelum 21 November itu baru kita dikasih tahu, "Mba Angkie bisa saya telepon? Mohon maaf, Pak, apa kita bisa ketemu langsung saja?" Ya ketika mengobrol langsung, "Angkie kamu ditunjuk sebagai staf khusus presiden dan tambahan sebagai juru bicara presiden bidang

Seleksinya seperti apa?

Seleksinya itu saat kita pertama kali masuk kita bertemu dengan staf khusus yang lain, staf khusus senior. Pak Pratikno sebagai menteri sekretaris negara.

Ada banyak pertanyaan-pertanyaan, ya itu tadi, seperti apa yang sedang Anda lakukan, kenapa melakukan hal ini. Kita mungkin mencoba untuk bersinergi dengan pemerintah karena kita kan independen, ya.

Berapa orang yang mengikuti seleksi menjadi staf khusus presiden?

Itu dibagi pagi dan siang. Saya siang, ada tujuh orang. Tapi yang pagi ada lagi. Kita malah tidak di satu grup, mereka ada yang sesi pagi. Satu grup saya hanya Belva. Walaupun mereka sudah selesai, kita sempat makan siang bareng.

Kenapa kita cepat banget akrab, karena kita dipertemukan saat makan siang itu di tempat yang sama. Kita punya misi yang sama.

Misi yang sama itu adalah kita memang menginisiasi misi kita untuk membuat Indonesia lebih baik, kita ingin berdedikasi sebagai warga negara. Walaupun tanpa dukungan pemerintah saat kita independen.

Sehingga kita merasa bahwa seritme dengan program-programnya walaupun berbeda karena ada yang fintech, toleransi, inovasi, disabilitas, Papua, kreatif, santri, tapi karena kita biasa bekerja dengan target, kita biasa bekerja dengan misi, biasa bekerja dengan riset, jadi alur pekerjaan kita sama.

Seberapa akrab Anda dengan Presiden Jokowi?

Sebelum sebagai staf khusus saya baru pertama kali bertemu dengan Pak Jokowi. Saya termasuk kaku karena pertama kali bertemu presiden.

Tapi pertama kali ketemu Pak Jokowi, kita mengira akan kaku, tapi ternyata asyik karena kita sambil makan bakso. Sambil makan bakso dengan piring yang bertuliskan "Istana Kenegaraan" kita sudah terlalu fokus dengan piring-piringnya. Terus akhirnya kita mengobrol biasa. Waktu itu pertama kali ke istana.

Bagaimana sosok Presiden Jokowi di mata Anda?

Saat kita meeting pertama dan kunjungan pertama, Pak Jokowi itu humble karena di saat ada isu yang terjadi di antara kita Pak Presiden tidak pernah men-judge atau mengarahkan.

Justru Pak Presiden bilang sama kita jangan pernah kapok dengan pekerjaan yang kita lakukan. Jadi lanjutkan saja. Aku yang pertama kali mendapat arahan yang seperti itu. Saya merasa terkesima, kita jadi merasa ketika kita melakukan kesalahan adalah di mana kita jadi belajar.

Awalnya merasa kagok, kita jadi merasa inilah passion kita. kita jalani aja. Ketika kita salah, kita akan menemukan solusi-solusinya.

Ketika kunjungan kerja, kita tahu bahwa ada banyak jalan yang ditempuh oleh rombongan presiden. Lebih cepat menuju lokasi kunjungan kerja.

Tapi kita melewati daerah-daerah warga. Dan aku melihat antusiasme warga menyambut rombongan presiden itu sangat interest antusiasmenya. Saya merasa, "Oh mungkin saya yang orang baru masuk pun merasa terkesima, oh mungkin saat ini programnya sangat pro rakyat."

Rakyat-rakyat yang di daerah itu mereka happy sekali menunggu pakai seragam, mengibarkan bendera merah putih, saya yang anak baru di situ merasa wow ternyata warga-warga di daerah antusias menunggu presiden lewat.

Seperti apa suasana meeting pertama dengan Presiden Jokowi?

Di saat meeting, semua membuat laporan. Saya tipikal yang observasi, saya melihat dengan pandangan mata karena tidak bisa mendengar.

Saya memaksimalkan mata dan memilih untuk duduk di belakang. Dan yang lain laporan, kalau dibilang apakah saya bisa mengikuti ritme saat meeting itu, tidak. Karena saya harus pakai alat bantu pendengaran, bukan pengganti pendengaran. Jadi saya harus tetap melihat gerakan bibir untuk bisa berkomunikasi.

Ketika meeting panjang, Pak Jokowi di depan, saya di belakang agak jauh. Jadi kan bibirnya kecil sekali. Saat semua menyampaikan inovasi, laporan, segala macam, jelas saya yang paling diam.

Saya diam karena berusaha untuk beradaptasi dengan apa yang sedang dibicarakan oleh orang lain. Tapi akhirnya setelah semua merasa sudah terselesaikan. Kita saling back up satu sama lain antara staf khusus yang 14 orang.

Tapi begitu kita selesai, bapak presiden sendiri yang notice. "Angkie, are you okay? Tidak, Pak, saya tidak mendengar. Oh iya kita lupa kok Angkie kenapa bisa di belakang ya. Oh tidak apa-apa, karena saya sedang melihat-lihat kerja pertama dan pengalaman pertama."

Tapi saya bilang, "Boleh tidak ketika meeting selanjutnya saya bawa handphone karena ada aplikasi dari suara ke teks? Oh boleh, kita semua sepakat boleh, kalau itu membantu Angkie."

Tapi lucu juga se-notice itu seorang presiden. Akhirnya saya laporan apa yang saya lakukan, apa yang sedang dan hendak lakukan.

Seberapa sulit membaca gerak bibir Presiden Jokowi?

Bapak Jokowi kan gerak bibirnya baru menurut saya, padahal sudah sering di televisi. Tapi saya baca gerak bibir dari orang terdekat. Kalau orang lain mengobrol memandang mata, dari mata turun ke hati.

Kalau saya dari mata terus mikir, sebentar, ini sedang apa yang dibicarakan dan diarahkan ke mana. Jadi berusaha untuk fokus dengan mata gerakan bibir Pak Jokowi, gerakan bibir koordinator, jadi berusaha untuk fokus. Kalau saya tidak paham lebih baik saya tanya. Daripada sesat di jalan lebih baik saya tanya.

Sulit?

Sulit, tapi lama-lama terbiasa. Saya termasuk orang yang cepat beradaptasi ya, jadi saya menargetkan dalam satu bulan harus bisa meng-handle semua. Dan tepat satu bulan saya sudah terbiasa.

Apa saja tugas-tugas di staf khusus presiden? Bagaimana mengomunikasikan ke publik?

Staf khusus presiden itu ada 15, dibagi tiga gugus. Gugus pertama adalah gugus komunikasi, koordinator, jubir politik, jubir hukum, jubir ekonomi, dan jubir sosial. Termasuk saya ada di gugus pertama.

Gugus kedua komunikasi kelompok strategis, artinya lebih banyak bertemu dengan eksternal. Gugus ketiga, gugus inovasi, yang diisi oleh milenial-milenial, termasuk saya juga ada di gugus ketiga. Jadi merangkap. Tujuh milenial itu ada di gugus ketiga.

Kita semua bekerja secara team work. Kita bertugas untuk memberikan inovasi-inovasi terkait untuk kelompok-kelompok milenial dengan latar belakang masing-masing.

Latar belakang inovasi, teknologi, toleransi, UKM, fintech, santri, kreatif, dan disabilitas. Kita beragam background, tapi tujuan satu. Kita tidak mengeksekusi karena mengeksekusi program tugasnya kementerian-kementerian terkait.

Kami berinovasi kan harus ada riset, mediasi antarkementerian. Presiden pun berharap kita tidak terlepas dari akarnya kita karena presiden menginginkan kita peka dengan lapangan. Kita peka dengan masyarakat, tetap peka dengan kebutuhan-kebutuhan.

Apalagi kita milenial memiliki bahasa yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Jadi inilah di mana presiden ekspektasinya tinggi dengan kita. Karena kitalah jembatan terdekat dengan kelompok-kelompok milenial.

Banyak pihak mengatakan pemerintah belum memfasilitasi disabilitas dalam lapangan pekerjaan.

That's why saya ditempatkan di sini karena sebenarnya Pak Presiden itu sudah tahu permasalahan-permasalahan disabilitas yang belum terselesaikan. Makanya Pak Presiden meminta saya untuk membantu beliau supaya bisa memetakan.

Artinya pekerjaan ini bukan pekerjaan yang memikirkan satu atau dua pihak. Kita memikirkan seluruh Indonesia, satu negara. Kita tahu bahwa program-program disabilitas sebelumnya mungkin lebih mandek karena itu sekarang kita berkomitmen untuk melakukan perubahan. Dimulai dengan penunjukan aku sebagai perempuan yang berkebutuhan khusus di timnya Bapak Presiden.

Artinya, saya sudah berkoordinasi dengan banyak pihak baik dari komunitas, baik dari masyarakat, baik antarkementerian, lembaga, badan, bahwa isu disabilitas ini sudah selayaknya dan harus kita perhatikan.

Tapi satu yang harus kita bisa menjalankan program ini, semua Perpres harus dilengkapi dulu karena kan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 itu sudah ada. Tapi Peraturan Presiden runutannya itu harus ada dulu, nah Perpres ini dibuat oleh harmonisasi antarkementerian. Dari delapan Perpres, dua yang sudah ditandatangani.

Pertama, perpres tentang kesejehateraan disabilitas dan Perpres tentang perencaan. Semua Perpres, semua UU ini bisa bekerja apabila Perpres Komnas ditandatangani. Komisi Nasional Diabilitas. Karena komisi disabilitas ini yang monitor UU ini berjalan dengan baik atau tidak di dalam kementrian. Artinya kerja aku lintas sektor. Ya, kan?

Artinya ini kementerian terkait, mereka mungkin paham ada isu disabilitas tapi, how to? Kita kan butuh sistem terpadu, sistemnya kan ya. Nah jadi siapa yang akan berbicara sistem ini. Itu yg disebut formasi. Formasi ini, rancangan Perprres ini kan baru aku pegang dua minggu lalu. Jadi sedang dipelajari, diharmonisasi dilihat lagi. Ya mudah-mudahan 2020 sebagai perubahan baru ya.

Mudah-mudahan ya sehingga teman-teman disabilitas bisa berusaha untuk setara dengan teman-teman yang lain. Untuk menuju indonesia maju dengan dukungan inklusif perlu proses. Tidak bisa langsung jadi dengan cepat.
Tadi Anda bilang ada permasalahan yang belum terselesaikan antara teman-teman disabilitas dengan dunia pekerjaan.

Apa saja masalahnya?

Isu pekerjaan. Untuk pekerjaa, saya bicara berdasakan pengalaman di lapangan, kita tahu ada beberapa perusahan tahu memang kewajiban menerima disabilitas satu persen untuk swasta dan dua persen untuk BUMN/Negeri.

Permasalahan ada di mana? Ada di gap. Kebutuhan industri jumlahnya cukup tinggi. Kemampuan teman-teman disabilitas termasuk tertinggal jauh. Jalan keluarnya ini kan harus imbang. Bagaimana teman-teman di perusahan ini bisa menurunkan sedikit standarisasinya dan temen disabilitas ini bisa naik upskill-nya sehingga ketemu.

Artinya ini tidak akan terselesaikan dengan menuntut tapi akan terselesaikan dengan mapping, riset, action yang terstruktur, dan sistematis.

Teman-teman kita itu sudah bisa memetakan kuota-kuota di kementerian yang bisa diisi oleh disabilitas. Tapi tetap membutukan asesmen dari temen disabilitasnya.

Teman-teman disabilitas selama ini pendidikannya adalah pendidikan luar biasa, pendidikan vokasi yang artinya fokus dengan keterampilan. Tapi sebenarnya itu ok, tidak apa-apa, tapi demand teknologi zaman sekarang itu kan tinggi banget.

Contoh, sekolah SLB untuk pembelajaran tata boga yang dipelajari dulu adalah bagaimana memasak yang baik, bagaimana membaca resep masakan yang oke, segala macam tapi tidak dimasuki fasilitas-fasilitas unutk yang buta teknologi.

Sedangkan dunia ini terus berkompetisi. Dunia ini terus bergerak. Ketika lulus, diperlukan pakai komputer, tapi tidak bisa, mau menggunakan teknologi masih kurang, itu gap-nya tinggi.

Apakah mungkin harus dilakukan hanya inklusif?

nklusif juga perlu waktu persiapan gurunya, infrastruktur sekolahnya, murid-muridnya, sehingga ini perlu waktu. Makanya, sebenarnya ketika mencoba menyosialisasi ke perusahaan-perusahaan, bahkan mencoba untuk membuka sehingga teman-teman disabilitas ini, sebenarnya kanan-kirinya harus seimbang.

Itu yang Anda lakukan di Thisable Enterprise?

Yes, betul sekali. Itu yang kita lakukan di Thisable. Karena background saya profesional, tapi menegosisasi dengan pihak swasta. Tapi kan negosiasi itu memang harus ada win-win solution. Tapi selama negosiasi ini berjalan kita pun tidak bisa bernegosiasi dengan mentah, tapi kita bernegosiasi dengan riset.

Dengan riset itu, industri kan macam-macam. Ada retail, ada perbankan. Kemampuan teman disabilitas, kita melakukan asesmen sebanyak 4800 CV usia produktif. Kemampuannya mereka memang kebanyakan pekerjaan yang vokasional.

Sebanyak 40 persen pekerja profesional maupun pekerja formal, artinya Thisable bekerja berdasarkan kemampuan disabilitas itu sesuai dengan kebutuhan industrinya. Kita bisa memetakan industri pakai persoalan dan persoalan yang mana.

Persoalan contohnya call center. Tidak bisa melihat, tapi bisa mendengar dengan baik. Kita arahkan. Jadi kita tidak tahu siapa di balik call center yang kita marah-marahi, siapa di balik kalau atm kita hilanglah kita harus ke call center, lalu retail, warehouse, social media, digital marketing untuk profesional.

Vokasional ini kan kemampuan dari SD, SMP. Kemampuan yang mereka bisa terapis massage, clening service, cuci mobil. Kita petakan berdasarkan kemampuan pendidikannya dan skill.

Ada lelucon bahwa stafsus Jokowi itu dianggap matahari terbit karena milenial, sedangkan stafsusnya wakil presiden itu seperti sunset, umurnya sudah di atas semua. Bagaimana menurut Anda?

Kenapa kita harus dibandingkan antara stafsus presiden dan wakil presiden?

Kan kita bisa bekerja sama dengan bidangnya masing-masing. Kalau memang sekarang ini kita milenial, tapi kita kerja sama kolonial.

Stafsus presiden ada 14, yang milenial tujuh, sisanya senior, kolonial. Artinya kenapa kita harus dibanding-bandingkan?

Kita bekerja berdasarkan bidangnya kita, kita bekerja sesuai kemampuan kita berpikir. Apabila milenial ini ada, kan presiden begitu membutuhkan perspektif baru dari milenial. Jadi kalau orang ada yang bilang kita pajangan, aduh kita memberikan solusi untuk perspektif milenial.

Sebagai stafsus, ada tidak sih meragukan kemampuan Anda dan stafsus milenial lainnya?

Kalau saya bicara dengan jujur ya, orang yang meragukan kita, stafsus, itu kita melihat komentar-komentar online ya kan, tapi ketika kita bertemu secara langsung jarang banget bertemu orang yang meragukan kita. Jadi sebenarnya ini ada dua pemikiran. Pertama, tidak kenal maka tidak sayang. Ya, kan?

Kedua, atau memang kita terbiasa untuk baik di depan, tapi di belakang kita ngomongin. Ini kan ada dua. Tapi kita ambil positifnya aja. Mungkin yang komen negatif di sosmed itu tidak kenal maka tidak sayang, jadi kita ngopi-ngopi saja dulu, yuk. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas