Syamsuddin Haris Imbau Pimpinan KPK Tak Rangkap Jabatan: Soal Kesadaran Saja Sebetulnya
Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris mengimbau pimpinan KPK sebaiknya tidak merangkap jabatan, dirinya pun menyinggung mengenai kesadaran para pimpinan.
Penulis: Indah Aprilin Cahyani
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syamsuddin Haris mengimbau pimpinan KPK untuk tidak merangkap jabatan.
Menurutnya, mau atau tidaknya para pimpinan KPK merangkap jabatan merupakan kesadaran pribadi.
"Ya sebaiknya tentu tidak (rangkap jabatan), karena bagaimanapun itu kan soal kesadaran saja sebetulnya," ujar Syamsuddin, dilansir kanal YouTube KompasTV Official iNews, Senin (23/12/2019).
Hal tersebut disampaikan Syamsuddin Haris di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Syamsuddin juga menyinggung mengenai kesadaran para pimpinan KPK untuk melepas jabatan yang dipangku sebelumnya,
Kendati demikian, ia mengatakan tidak ada aturan yang mengharuskan pimpinan KPK mundur dari instansi sebelumnya.
"Iya, sebetulnya tidak hitam putih demikian. Tidak ada juga dinyatakan sejauh yang saya baca. Tapi ini menyangkut kesadaran personal saja," kata Syamsuddin.
Lebih lanjut, Syamsuddin tak mau menanggapi posisi rangkap jabatan pimpinan KPK.
Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Pasal 29 UU KPK menyatakan bahwa pimpinan KPK harus melepaskan semua jabatan selama menjabat sebagai pimpinan KPK.
Pimpinan KPK harus nonaktif dari jabatan lain selama menjabat sebagai Pimpinan KPK.
Saat ini, Ketua KPK Firli Bahuri tercatat masih menjabat sebagai Analisis Kebijakan Utama Badan Pemelihara Keamanan Polri.
Sementara, Dewan Pengawas KPK Albertina Ho menyatakan telah mengundurkan diri sebagai wakil ketua Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Timur.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik lima orang Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023 pada Jumat (20/12/2019).
Berikut 5 formasi lengkap Dewan Pengawas KPK:
Syamsudin Haris, Anggota Dewan Pengawas
Syamsuddin Haris adalah Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dilansir dari Tribunnews.com, pria 67 tahun ini juga merupakan Profesor Riset bidang perkembangan politik Indonesia.
Ia juga doktor ilmu politik yang menjabat Kepala P2P LIPI.
Selain menjadi peneliti, ia juga merupakan dosen di Universitas Indonesia.
Ia juga aktif dalam organisasi profesi kalangan sarjana atau ahli politik, yakni Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).
Syamsuddin juga sempat menjadi Sekjen Pengurus Pusat AIPI periode 2008-2011.
Pria asli Bima ini juga telah menulis sejumlah buku, puluhan artikel di jurnal, dan lebih dari seratus kolom di media cetak.
Bahkan buku yang ia tulis, pernah mendapatkan penghargaan sebagai Buku Terbaik bidang ilmu-ilmu sosial dari Yayasan Buku Utama.
Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua Dewan Pengawas
Tumpak menjabat sebagai Ketua dari Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023.
Pria 76 tahun ini merupakan eks Wakil Ketua KPK periode pertama.
Dikutip dari Tribunnews.com, Tumpak menamatkan pendidikannya di bidang hukum Uniersitas Tanjungpura, Pontianak.
Setelah lulus, Tumpak kemnudian menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dilingkungan kejaksaan.
Selama menjadi jaksa Tumpak telah berkelana di berbagai daerah.
Seperti menjadi Kajari Pangkalan Bun (1991-1993), Kajari Dili (1994-1995), Kajati Maluku (1999-2000), dan Kajati Sulawesi Selatan (2000-2001).
Pada 2003 ia direkomendasikan untuk bertugas di KPK oleh mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.
Ia pun berhasil terpilh menjadi satu diantara komisioner di KPK.
Pada 2008, Tumpak diangkat sebagai Anggota Dewan Komisaris PT Pos Indonesia (Pesero) berdasarkan Keputusan Menteri BUMN.
Setahun berselang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menarik kembali Tumpak untuk menjadi Plt Ketua KPK 2009-2010.
Pada 2015, nama Tumpak masuk sebagai salah satu Tim Sembilan untuk menyelesaikan kisruh Polri-KPK saat itu.
Harjono, Anggota Dewan Pengawas
Harjono merupakan lulusan Fakultas Hukum di Universitas Airlangga, Surabaya.
Ia kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di bidang hukum di Southern Methodist University, Dallas, Texas, AS.
Pria yang lahir di Kota Nganjuk ini berhasil mendapat gelar Master of Comparative Law (MCL).
Dikutip dari Kompas.com, sebelum menjadi Hakim, ia sempat mengajar sebagai dosen paska sarjana di UNAIR dan beberapa universitas di Malang dan Yogyakarta.
Pada 1999 ia menjadi anggota MPR melalui PDI-P dan turut andil dalam perubahan UUD 1945 saat itu.
Harjono merupakan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi yang lahir pada 31 Maret 1948 di Nganjuk, Jawa Timur.
Pada 2003 Harjono diajukan oleh anggota PAH I BP MPR dari PDI-P untuk menjadi Hakim Konstitusi.
Kemudian ia dicalonkan sebagai hakim konstitusi periode 2003-2008 oleh Megawati yang saat itu menjabat sebagai Presiden.
Ia selanjutnya terpilih kembali menjadi hakim konstitusi periode 2008-2013 melalui jalur DPR.
Pada 12 Juni 2017, Harjono dilantik sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.
Albertina Ho, Anggota Dewan Pengawas
Srikandi Hukum ini merupakan hakim wanita di Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung RI.
Albertina merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Setelah lulus ia menjadi pegawai negeri sipil Calon Hakim.
Dikutip dari TribunWow.com, pada 1986 ia ditugaskan di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Empat tahun berselang, ia berkarir di lingkungan Pengadilan Negeri di Jawa Tengah.
Pada 2005 ia ditugaskan sebagai Sekretaris Wakil Ketua MA bidang Yudisial.
Tiga tahun berselang, ia kemudian ditugaskan menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sejak menjadi hakim, namanya mulai disorot karena ia menangani kasus-kasus besar.
Satu di antaranya yakni kasus pegawai pajak Gayus Tambunan.
Pada 2011 Albertina berhasil menduduki posisi sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sungai Liat.
Tiga tahun kemudian ia dipromosikan menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Palembang.
Hingga akhirnya ia kembali menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Medan setelah dipromosikan pada 2016.
Artidjo Alkostar, Anggota Dewan Pengawas
Dikutip dari TribunWow.com, Artidjo telah menjadi hakim agung MA sejak 2000.
Rekam jejak Artidjo dalam menegakkan hukum sudah tidak diragukan lagi.
Ia dikenal menjadi momok menakutkan bagi para koruptor.
Selama menjabat, 19.708 berkas perkara telah ia selesaikan.
Bahkan setiap tahunnya ia menyelesaikan 1.905 perkara.
Tak memberi ampun pada koruptor, Artidjo bahkan kerap beberapa kali memberatkan hukuman pelaku tindak korupsi yang mengajukan kasasi ke MA.
Adapun kasus besar yang Artidjo sempat tangani satu diantaranya yakni hukuman Anas Urbaningrum yang telah melakukan tindak korupsi Wisma Atlet.
Anas dijatuhi hukuman yang tadinya 7 tahun menjadi 14 tahun penjara.
Pada 22 Mei 2018 Artidjo pensiun sebagai hakim agung MA.
Pria 71 tahun ini merupakan lulusan dari sarjana hukum di UII Yogyakarta dan master of Laws di Nort Western University Chicago.
(Tribunnews.com/Indah Aprilin Cahyani)