Kapal Tiongkok Masuk di Perairan Natuna, Tokoh-tokoh Ini Minta Pemerintah Tegas
Persoalan masuknya kapal Tiongkok yang masuk di Perairan Natuna, menuai beragam komentar dari berbagai pihak.
Penulis: Nuryanti
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Persoalan masuknya kapal Tiongkok yang masuk di Perairan Natuna, menuai beragam komentar dari berbagai pihak.
Lembaga negara hingga partai politik ikut memberikan pendapatnya mengenai konflik tersebut.
Diketahui, persoalan ini muncul setelah kapal Tiongkok diketahui memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), yaitu di Perairan Natuna.
Masuknya kapal Tiongkok itu telah melanggar batas wilayah yang sudah diatur.
Sehingga, pemerintah Indonesia menegaskan, tak mengakui klaim China atas hak historis terhadap perairan Natuna.
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan, pemerintah Indonesia meminta Tiongkok mematuhi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982, yang menyatakan bahwa perairan Natuna merupakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
"Tiongkok merupakan salah satu part dari UNCLOS 1982 oleh sebab itu merupakan kewajiban bagi Tiongkok untuk menghormati UNCLOS 1982," kata Retno setelah rapat koordinasi di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2019), dikutip dari Kompas.com.
Meskipun pemerintah Indonesia telah mengambil sikapnya atas pelanggaran yang dilakukan kapal Tiongkok itu, para pejabat dan politikus juga memberikan pendapatnya.
Bamsoet
Ketua MPR, Bambang Soesatyo meminta pemerintah bertindak tegas terhadap kapal penangkap ikan milik China yang masuk ke wilayah ZEE Indonesia.
Menurut Bamsoet, selain pencurian ikan, tindakan itu juga mencederai persahabatan antara Indonesia dengan Tiongkok selama ini.
"ZEE punya kekuatan hukum tetap dan mengikat sebagaimana ditetapkan berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut," kata Bambang, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (4/1/2020).
Ia menegaskan, klaim sepihak China yang menyebut perairan Natuna merupakan bagian wilayah mereka, tak memiliki dasar apapun di PBB.
Sehingga, Bamsoet meminta pemerintah perlu melakukan tindakan yang lebih tegas lagi.
Ia menginginkan, pemerintah Indonesia mengirimkan protes diplomatik.
Bamsoet juga ingin adanya penenggelaman kapal Tiongkok yang melanggar itu.
"Bukan hanya dengan mengirimkan protes diplomatik, melainkan juga melakukan tindakan hukum tegas, seperti misalnya penenggelaman kapal," jelasnya.
Bambang mengingatkan, pemerintah tidak boleh lembek, meskipun Tiongkok merupakan salah satu investor terbesar di Indonesia.
"Kalau kita lembek, negara manapun akan dengan mudah menginjak-injak harga diri kita," ungkapnya.
"Namun, jika kita berani mengambil sikap tegas, siapapun akan segan dengan Indonesia," lanjutnya.
"Ini rumah kita, jangan biarkan ada maling masuk dan kita hanya tersenyum menikmati dirampok," tambah Bamsoet.
Wakil Ketua Komisi I DPR
Senada dengan Bamsoet, Wakil Ketua Komisi I DPR, Abdul Kharis Almasyhari, meminta pemerintah menindak tegas kapal penangkap ikan dari Tiongkok yang masuk di Perairan Natuna.
Ia meminta pemerintah Indonesia tak main-main soal kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Kalau terbukti beri tindakan tegas, terukur dan jelas, kita tidak pernah main-main soal Kedaulatan NKRI," ujar Abdul, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (4/1/2020).
Abdul mengatakan, Tiongkok tak bisa asal klaim atas perairan Natuna.
Menurutnya, secara hukum internasional ZEEI di perairan Natuna yang meliputinya sejauh 200 mil laut itu adalah milik Indonesia.
"ZEE dan Natuna serta wilayah yang meliputinya sejauh 200 mil laut itu jelas wilayahnya Republik Indonesia," ujar Abdul.
PKS
Juru bicara Partai Keadilan Sejahtera ( PKS), Muhammad Kholid meminta Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan harus bertindak tegas.
Ia juga meminta Prabowo tak menganggap enteng masalah kedaulatan bangsa.
"Pak Prabowo sebagai Menhan tidak boleh anggap isu kedaulatan sebagai isu yang enteng. Santai. Sikapnya harus tegas dan punya wibawa," ujar Kholid, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (4/1/2020).
Alasannya, ia tak ingin Indonesia direndahkan oleh bangsa lain karena tak berani bersikap.
"Kalau lembek, santai-santai, bangsa ini akan semakin direndahkan oleh bangsa lain karena tidak punya keberanian dalam bersikap," tambahnya.
Ia juga meminta pemerintah harus bersikap keras dan tidak boleh lembek terhadap Tiongkok yang mengklaim sepihak Perairan Natuna.
Diketahui, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Geng Shuang, sebelumnya mengatakan, Tiongkok mempunyai hak historis di Laut China Selatan.
"Jika sudah menyangkut kedaulatan negara, pemerintah harus bersikap keras dan tegas. Tidak boleh lembek meskipun kepada negara sahabat seperti Tiongkok," kata Kholid.
Sebelumnya, Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan), I Laksdya TNI Yudo Margono memimpin pengendalian operasi siaga tempur di perairan Natuna Utara.
"Operasi siaga tempur dilaksanakan oleh Koarmada 1 dan Koopsau 1," kata Yudo, dikutip dari Kompas.com, Jumat (3/1/2020).
Menurut Yudo, operasi siaga tempur tersebut menggunakan alat utama sistem senjata (alutsista) yang sudah tergelar, yaitu 3 kapal Republik Indonesia (KRI) dan 1 pesawat intai maritim dan 1 pesawat Boeing TNI AU.
Dua KRI masih dalam perjalanan dari Jakarta menuju Natuna hari ini.
"Operasi ini digelar untuk melaksanakan pengendalian wilayah laut khususnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) laut Natuna Utara," ujarnya.
Yudo juga mengatakan, wilayah Natuna Utara menjadi perhatian bersama sehingga operasi siaga tempur diarahkan ke Natuna Utara mulai 2020.
Selain itu, kata dia, operasi ini salah satu dari 18 operasi yang akan dilaksanakan Kogabwilhan I di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (Kompas.com/Haryanti Puspa Sari/Dani Prabowo/Achmad Nasrudin Yahya)