Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Indonesia Perlu Maksimalkan Langkah Diplomasi di PBB dan Kerahkan Kapal Militer Jaga Perairan Natuna

Indonesia perlu memaksimalkan langkah diplomasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam merespon klaim Cina di Perairan Natuna.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Indonesia Perlu Maksimalkan Langkah Diplomasi di PBB dan Kerahkan Kapal Militer Jaga Perairan Natuna
HANDOUT
Pangkogabwilhan I Laksamana Madya (Laksdya) TNI Yudo Margono memimpin apel gelar pasukan intensitas operasi rutin TNI dalam pengamanan laut Natuna di Paslabuh, Selat Lampa, Ranai, Natuna, Jumat (3/1/2020). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PPP Syaifullah Tamliha menilai Indonesia perlu memaksimalkan langkah diplomasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam merespon klaim Cina di Perairan Natuna.

Langkah diplomasi tersebut menurutnya perlu dimaksimalkan karena Cina dan empat negara lainnya merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

"Langkah diplomasi khususnya perlu dimaksimalkan di organisasi PBB, dimana Cina bersama empat negara lainnya yaitu Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB," kata Syaifullah ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Minggu (5/1/2020).

Baca: Mahfud MD Sebut Tidak Ada Negosiasi dengan China Terkait Natuna

Ia pun menilai Indonesia tetap perlu mengerahkan kapal perangnya untuk menjaga Perairan Natuna.

"Indonesia perlu memaksimalkan langkah diplomasi dalam merespon masuknya Coast Guard Cina di Perairan Natuna yang masuk dalam perairan Indonesia tersebut dengan sambil tetap pengerahan kapal militer untuk menjaga perairan Laut Cina Selatan," kata Syaifullah.

Selain itu, ia juga mendorong agar pemerintah secara konsisten meningkatkan anggaran militer Indonesia yang idealnya 1,5% dari PDB atau sebesar Rp300 Triliun.

Baca: Bahas Kapal China Terobos ZEE Natuna, Pengamat Militer Paparkan PR Besar Prabowo dan Jokowi

Berita Rekomendasi

"Tahun ini anggaran militer Indonesia baru Rp131 Triliun," kata Syaifullah.

Ia menilai, peningkatan anggaran militer tersebut tidak hanya dibutuhkan untuk menjaga wilayah Indonesia lainnya yang sangat luas baik laut, darat, dan udara namun juga khususnya untuk wilayah-wilayah sensitif seperti Perairan Natuna dan perairan Papua.

Ia menilai, manuver Coast Guard Cina yang mengawal kapal-kapal ikan mereka di Perairan Natuna yang diklaim Cina sebagai Laut Cina Selatan merupakan upaya Cina untuk menunjukkan kekuatan militernya ke dunia internasional.

Baca: Soal Kapal Asing Pencuri Ikan Masuk ke Natuna, Luhut Binsar Panjaitan Bela Edhy Prabowo

"Itu karena beberapa waktu sebelumnya kapal perang Amerika Serikat bermanuver di sekitar Kepulauan Spratly atau pulau buatan Cina di atas batu karang yang berada di dekat Filipina yang juga termasuk dalam kawasan Laut Cina Selatan," kata Syaifullah.

Menurutnya, Laut Cina Selatan merupakan perairan yang selama ini menjadi titik ketegangan yang melibatkan beberapa negara yaitu Indonesia, Brunai Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Cina.

"Cina telah memperhitungkan kemungkinan terburuk dari manuver mereka di Laut Cina Selatan tersebut, termasuk kemungkinan kontak senjata dengan kekuatan militer Indonesia," kata Syaifullah.

Tegas tolak klaim Cina

Pemerintah Republik Indonesia (RI) menegaskan menolak klaim histori Cina atas Laut Natuna, Kepulauan Riau.

Ketentuan dalam United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB pada tahun 1982 harusnya dihormati semua pihak termasuk Cina.

"Menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan RRT. Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line RRT karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016," dalam keteranga tertulis Kementerian Luar Negeri RI, Senin (30/12/ 2019) lalu.

Baca: Hakim Pertanyakan Gelar Doktor Administrasi Nurdin Basirun Saat Bersaksi di Pengadilan

Indonesia telah mengirim nota protes ke RRT dan memanggil Duta Besar Cina di Jakarta.

"Dubes RRT mencatat berbagai hal yang disampaikan dan akan segera melaporkan ke Beijing. Kedua pihak sepakat untuk terus menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Indonesia," lanjut keterangan itu.

Tak hanya itu, Kementerian yang dipimpin Menteri Luar Negeri (Menlu) RetnoMarsudi itu juga tak mengakui klaim Jubir Kemlu Cina Geng Shuang pada tanggal 31 Desember 2019.

Baca: Menlu Sampaikan Empat Sikap Tegas Indonesia Atas Kapal-kapal Cina di Perairan Natuna

Klaim Shuang atas historis RRT atas ZEE Indonesia didasari dengan alasan, para nelayan Cina telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui UNCLOS 1982.

"Berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia tidak memiliki overlapping claim dengan RRT sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog apa pun tentang delimitasi batas maritim," seperti dikutip rilis Kemlu, Rabu (1/1/2020).

Sikap Menkopolhum

Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaman Mahfud MD mengatakan secara hukum Cina tidak punya hak untuk mengklaim Perairan Natuna Kepulauan Riau sebagai wilayahnya.

Ia menjelaskan, sejak dulu Indonesia tidak punya konflik tumpang tindih perairan dengan Cina di wilayah tersebut.

Baca: Panglima TNI, Menhan, Hingga Menlu Merapat ke Kemenko Polhukam

Ia menjelaskan, Cina pernah punya konflik tumpang tindih perairan dengan sejumlah negara antara lain Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, dan Taiwan di Laut Cina Selatan yang telah diselesaikan lewat SCS Tribunal pada 2016.

"Kalau secara hukum, Cina tidak punya hak untuk mengklaim itu karena Indonesia tidak punya konflik perairan, tumpang tindih perairan," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta Pusat pada Jumat (3/1/2020).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas