Soal Klaim Laut Natuna, China Disebut Sedang Menguji Reaksi Pejabat Baru di Era Jokowi - Maruf Amin
Menurut Hikmahanto, hal serupa pernah dilakukan China di periode pertama pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana angkat bicara soal Laut Natuna yang diklaim China.
Menurutnya, China seperti sedang menguji pejabat baru di Kabinet Indonesia Maju.
Baca: Meski Diplomasi di PBB Perlu Diupayakan, Pengerahan Kapal Militer ke Natuna Tetap Diperlukan
"Memanasnya isu Natuna Utara bisa jadi tidak lepas dari upaya China untuk mengetahui reaksi para pejabat baru di kabinet Presiden Jokowi (Joko Widodo) terkait klaim China di Natuna Utara," ucap Hikmahanto ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (5/1/2019).
Menurut Hikmahanto, hal serupa pernah dilakukan China di periode pertama pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla.
Kala itu, Jokowi juga dengan tegas menolak Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang diklaim oleh China sebagai batas teritorialnya.
Menurut Pemerintah China, wilayah perairan Natuna masuk dalam Nine Dash Line.
Bahkan kala itu, tepatnya pada 2016, Jokowi menggelar rapat terbatas di Natuna, di atas Kapal Perang Indonesia (KRI) Imam Bonjol-383.
Hikmahanto pun mempertanyakan langkah yang akan diambil oleh para pejabat baru seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, serta Kepala Badan Keamanan Laut.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia harus menunjukkan komitmen terhadap wilayah zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia di Natuna.
"Momentum inilah yang seharusnya dimanfaatkan oleh wajah baru untuk tetap berkomitmen dengan sikap Presiden dan kebijakan luar negeri Indonesia terkait Natuna Utara," kata Hikmahanto.
"Untuk menunjukkan komitmen ini ada baiknya para wajah baru di kabinet melakukan peninjauan perairan di Natuna Utara dan menyelenggarakan rapat di KRI yang sedang berlayar di perairan tersebut," ujar dia.
Sebelumnya, kapal pencari ikan dan coast guard milik China berlayar di kawasan perairan Natuna yang berdasarkan Konvensi United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Pemerintah Indonesia mencoba jalur diplomasi untuk menyelesaikan masalah ini dengan melayangkan nota protes terhadap China melalui Duta Besar yang ada di Jakarta.
Baca: Pujian HNW untuk Retno Marsudi dan Kritik Keras untuk Luhut soal Laut Natuna Diklaim China
Sementara itu, TNI dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI terus disiagakan di Perairan Natuna yang masuk dalam Provinsi Riau untuk memantau kondisi di sana.
Penjagaan ini dilakukan karena sejumlah kapal milik China masih ada di sana. (Devina Halim)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: China Dinilai Sedang Menguji Reaksi Pejabat Baru Indonesia soal Natuna
Nelayan terpaksa tak melaut
Masuknya kapal-kapal ikan dan kapal coast guard China di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sejak 10 Desember 2019 membuat sejumlah nelayan di Kabupaten Natuna berhenti melaut.
Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal mengatakan untuk sementara para nelayan harus berkebun guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Meski begitu, ia belum bisa memastikan terkait jumlah nelayan Indonesia yang sementara berhenti melaut.
Baca: Bakamla Sebut 5 Kapal Coast Guard Cina Masih Berada di Sekitar Perairan Natuna
"Mereka biasanya bertani. Karena kebanyakan nelayan kami semua punya kebun untuk bertani," kata Rizal ketika dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (5/1/2020).
Ia mengatakan, nelayan-nelayan Indonesia takut melaut ke wilayah tersebut karena-kapal Chona kerap menakut-nakuti mereka.
"Mereka mau menabrak perahu nelayan kita kalau tidak lari," kata Rizal.
Baca: Indonesia Perlu Maksimalkan Langkah Diplomasi di PBB dan Kerahkan Kapal Militer Jaga Perairan Natuna
Ia pun menilai, langkah yang dilakukan Badan Keamanan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta TNI untuk mengintensifkan pengamanan di wilayah tersebut sudah sangat tepat.
Ia pun berharap agar nelayan Natuna dapat segera kembali melaut tanpa rasa was-was.
"Saya kira itu yang tepat sehingga nelayan kita tidak was-was lagi untuk melaut karena sudah ada yang mengamankan mereka di laut kita," kata Rizal.
5 Kapal Coast Guard Cina Masih Berada di Sekitar Perairan Natuna
erdasarkan pantauan Bakamla RI, dua kapal coast guard Cina masih berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Perairan Natuna Utara, Kepulauan Riau, Minggu (5/1/2020) pukul 17.00 WIB.
Sementara tiga kapal coast guard Cina dan kapal ikan lainnya terpantau berada di luar ZEE Indonesia.
Tidak hanya itu, Bakamla juga masih melihat sejumlah kapal ikan Cina yang beroperasi di perairan tersebut.
Direktur Operasi Laut Bakamla RI, Laksamana Pertama Bakamla Nursyawal Embun, mengatakan hingga pukul 17.00 WIB terpantau ada lima coast guard Cina.
Baca: Pantang Negosiasi Soal Natuna, Ini Pernyataan Tegas Mahfud MD Apabila Kapal China Masuk
"Tapi dari lima hanya ada dua yang berada di garis yurisdiksinya Indonesia yaitu di ZEEI kita dan yang tiga masih berada di luar. Lalu ada beberapa kapal ikan Cina juga termonitor," kata Nursyawal.
Ia mengatakan, saat ini Kapal Negara Tanjung Datu milik Bakamla dan sejumlah kapal Perang Republik Indonesia (KRI) masih berada di perairan tersebut untuk terus memantau pergerakan kapal ikan dan coast guard Cina yang masih beraktifitas di perairan tersebut.
Rencananya, satu kapal lagi milik Bakamla dan tiga kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga akan bergabung melaksanakan penegakan hukum di perairan tersebut.
Baca: Mahfud MD Sebut Tidak Ada Negosiasi dengan China Terkait Natuna
"Ini kalau misalkan nanti juga sudah bergabung dan kalau menemukan lagi kapal ikan Cina di perairan yurisdiksi kita, kita mungkin akan kontak radio dan mungkin akan melakukan penangkapan. Karena itu sudah bukan wilayah mereka. Belum ada klaim resmi dari Cina," kata Nursyawal.
Terkait dengan langkah konkret penegakkan hukum berupa penangkapan, menurutnya hal itu dimungkinkan.
Tetapi semuanya tergantung dari keputusan Komandan pengamanan di lapangan.
"Ya pokoknya nanti, seperti yang sudah saya sampaikan, memang cuma tiga institusi yang punya kewenangan di wilayah yurisdiksi, hak berdaulat kita. Nanti tinggal komandan di lapangan yang akan mengambil keputusan apabila memang kita masih bertemu dengan kapal ikan Cina yang masih beraktifitas di perairan yurisdiksi kita," kata Nursyawal.
Baca: Ibaratkan Kasus Natuna seperti Sakit Jantung, Pengamat Militer Minta Jokowi Bersikap Tegas
Nursyawal menjelaskan, saat ini pemerintah masih menerjunkan kapal Bakamla dan KKP yang akan bergabung untuk melakukan penegakan hukum karena kapal coast guard dan kapal ikan Cina adalah kapal sipil.
Meski begitu, ia memastikan sejumlah kapal dari unsur TNI AL khususnya Kogabwilhan I juga telah berada di sana untuk mendukung pengamanan wilayah kedaulatan Indonesia yang sudah ditetapkan UNCLOS 1982 tersebut.
"Karena aktifitas itu kan dilakukan oleh kapal-kapal non militer ya. Artinya Coast Guard itu adalah kapal sipil. Makanya kita yang di depan harus kapal KKP dan kapal Bakamla. Nanti KRI akan memback up," kata Nursyawal.
Baca: Hidayat Nur Wahid Puji Retno Marsudi dan Kritik Luhut Panjaitan Terkait Klaim Cina di Laut Natuna
Ia mengatakan, sejauh ini telah melakukan kontak radio dan coba mengusir kapal coast guard Cina dari wilayah perairan ZEEI.
Meski begitu, upaya tersebut juga mendapat perlawanan berupa manuver-manuver penghalangan dari kapal coast guard Cina.
"Tanggal 31 Desember kemarin KRI bertemu dengan kapal Coast Guard Cina, di saat KRI ingin menghadang, mereka melakukan manuver-manuver menghalang-halangi upaya KRI," kata Nursyawal.
Dari hasil pantauan Bakamla, ia mengatakan hari ini belum melihat kapal nelayan Indonesia yang berada di wilayah yurisdiksi perairan Indonesia tersebut.
Meski begitu, ia menilai ada baiknya jika kapal nelayan Indonesia juga berada di wilayah tersebut untuk menangkap ikan agar keadannya berimbang.
"Sejauh ini kami belum memonitor kalau ada kapal ikan Indonesia yang berada di sana. Ada bagusnya juga kalau mungkin ada kapal ikan Indonesia di sana untuk perimbangan, jadi adil kapal ikan Indonesia ada di sana," kata Nursyawal.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan empat poin sikap pemerintah Indonesia atas masuknya sejumlah kapal nelayan dan Coast Guard Cina ke Perairan Natuna sejak beberapa hari lalu.
Sikap tersebut disampaikan secara tegas usai Rapat Paripurna Tingkat Menteri yang bertujuan untuk menyatukan dan memperkuat posisi Indonesia dalam menyikapi situasi di Perairan Natuna di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta Pusat pada Jumat (3/1/2020).
Rapat tersebut dipimpin oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan dihadiri oleh Panglima TNI Mersekal TNI Hadi Tjahjanto, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Siwi Sukma Adji, Kepala Bakamla Laksamana Madya A Taufiqoerrahman, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
"Pertama, telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Tiongkok di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia," kata Retno.
Kedua, Retno menegaskan wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yakni UNCLOS 1982.
Ketiga, Retno menegaskan Tiongkok merupakan salah satu pihak dalam UNCLOS 1982. Oleh karena itu Retno menagaskan Tiongkok wajib untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982.
"Keempat, Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line, klaim sepihak, yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," tegas Retno.
Selain hal tersebut, Retno juga mengatakan dalam rapat tersebut disepakati pula akan adanya intensifikasi patroli di wilayah Perairan Natuna.
"Dari rapat tadi juga disepakati beberapa intensifikasi patroli di wilayah tersebut dan juga kegiatan-kegiatan perikanan yang merupakan hak bagi Indonesia untuk mengembangkannya di Perairan Natuna," kata Retno.