Kata DPR soal Natuna Jadi Provinsi: Isu Pemekaran Tak Bisa Dikaitkan dengan Masalah Kedaulatan
Menurut Ahmad Doli Kurnia, pemekaran tidak bisa dikaitkan dengan masalah kedaulatan
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan tidak ada relevansinya klaim China dengan pemekaran Provinsi Natuna.
Menurutnya, pemekaran tidak bisa dikaitkan dengan masalah kedaulatan.
Baca: Bakamla: China Perkuat Kehadiran Mereka di Natuna Lewat Penambahan Kapal Coast Guard
"Usulan pemekaran ini dikaitkan dengan soal kita menjaga kedaulatan saya kira itu urusan berbeda," ujar Doli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (7/1/2020).
Ahmad Doli mengatakan pemerintah akan menjaga kedaulatan Indonesia apapun bentuk administrasi Natuna.
Apabila ada ancaman kedaulatan baik itu kepada Kabupaten ataupun Provinsi pemerintah akan menjaganya
"Kalau urusan menjaga kedaulatan negara, itu urusan kita semua, tanggung jawab kita semua. bukan hanya urusan Pemda di Natuna, tapi juga tanggung jawab sampai ke tingkat pemerintah pusat," katanya.
Selain itu menurut Doli terdapat sejumlah pertimbangan dalam memekarkan suatu wilayah.
Masalah kedaulatan bukan merupakan salah satu pertimbangan.
Karena apapun bentuk administratif suatu wilayah, ancaman kedaulatan pasti ada.
"banyak pertimbangannya dan, masalah kedaulatan bukan salah satu pertimbangannya. Kecuali ada alasan lain" kata Doli.
Baca: KPK OTT Kepala Daerah di Sidoarjo, Operasi Pertama Setelah Berlakunya UU 19 Tahun 2019
Hingga saat ini menurut Politikus Golkar itu belum ada usulan mengenai pemekaran Natuna dari Kabupaten menjadi provinsi. Ia sendiri baru mendengar mengenai wacana tersebut.
"Nah iya sekarang gini, sampai hari ini di Kemendagri sudah terdaftar sekitar 315 calon daerah otonomi baru, baik provinsi maupun di Kabupaten atau kota. saya belum liat sepenuhnya tetapi setahu saya di provinsi Natuna tidak ada," pungkasnya.
Kata Bupati Kabupaten Natua soal Provinsi Khusus
Bupati Kabupaten Natuna Abdul Hamid Rizal mengusulkan kepada pemerintah pusat agar wilayah Kabupaten Natuna dan Anambas menjadi provinsi Khusus.
Usul tersebut sebagai sikap menanggapi adanya laporan aktivitas kapal China di perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Laut Natuna Utara.
Abdul merujuk, pada aturan Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan terhadap perairan laut sehingga tidak bisa berbuat banyak dalam menjaga dan mengelola wilayah perairan Natuna.
Baca: Diklaim China, Bupati Natuna Dukung TNI Pamer Kekuatan Militer di Laut Natuna
"Dengan dijadikannya Natuna sebagai Provinsi khusus maka akan meningkatkan kewenangan dan kemampuan dalam menjaga,mengelola dan turut serta mengawal wilayah pantai dan laut di Natuna khususnya wilayah perbatasan yang saat ini merupakan kewenangan Provinsi Kepulauan Riau," lanjut dia.
Ia juga mendukung sikap TNI dan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia untuk menggelar kekuatan yang lebih besar lagi di Wilayah Natuna.
agar bisa memantau, mencegah dan menangkal setiap upaya gangguan kedaulatan terhadap Wilayah Republik Indonesia di Laut Natuna Utara.
Abdul menyatakan, masyarakat dan pemerintahan kabupaten Natuna siap mempertahankan NKRI di Natuna.
"Dengan segala kemampuan dan sumber daya yang ada, Pemerintah Kabupaten Natuna beserta warga masyarakat siap sedia mempertahankan kedaulatan NKRI di Natuna," tutur Abdul Hamid.
Respon Istana
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan usul Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal terkait provinsi khusus tidak bisa direalisasikan.
Alasannya, pemerintah hingga kini masih memberlakukan moratorium pemekaran daerah otonomi baru sejak 2014.
"Nggak (enggak bisa jadi provinsi baru). Sementara moratorium lah pegangannya," ucap Moeldoko usai menghadiri rakor di Kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2019).
Ia menilai usulan Kabupaten Natuna menjadi provinsi masih akan disesuaikan dengan aturan moratorium yang berlaku.
"Saya pikir masih harus merujuk pada pedoman moratorium," ujar Moeldoko.