Skandal Gagal Bayar Jiwasraya Berdampak Sistemik
BPK menyebutkan kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (AJS) akan berdampak secara sistemik di industri keuangan Indonesia.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (AJS) akan berdampak secara sistemik di industri keuangan Indonesia.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menyatakan, kasus Jiwasraya tersebut masuk dalam kategori kerugian negara yang sangat besar hingga Rp 13,7 triliun.
"Skala kasus Jiwasraya ini sangat besar, sehingga memiliki risiko sistemik," ujar dia, Rabu(8/1).
Agung menyampaikan, pihaknya bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam proses mengungkap siapa saja pihak yang bertanggungjawab. "Karena itu, kami ambil kebijakan, masalah terkait PT AJS kita ungkap mereka yang tanggung jawab, kita identifikasi," katanya.
Sementara itu, ia menambahkan, pihaknya juga mendukung langkah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memulihkan kinerja Jiwasraya.
"Pada saat yang sama BPK dukung pemerintah lakukan pemulihan terhadap PT AJS," ujar Agung.
Lebih jauh Agung menjelaskan, perhitungan kerugian Jiwasraya jangan hanya dari sisi aset, namun juga nilai buku."Dia kan besar sekali, jangan diukur dampak sistemik nilai aset saja. Kalau dilihat muncul kedepan dari nilai buku," ujar dia.
Menurut Agung, jangan sampai kasus Jiwasraya mengulang skandal Bank Century satu dekade silam yang awalnya ratusan miliar jadi terungkap kerugian negara triliunan. "Seperti Century awalnya Rp 678 miliar, lalu begitu berkembang jadi Rp 6,7 triliun. Angkanya sangat besar, kita tidak ingin sampai kesitu," katanya.
Karena itu, ia menegaskan, BPK segera melakukan pencegahan agar jangan sampai kasus Jiwasraya menjadi masalah lebih besar lagi, sehingga bikin investor takut. "Kita beri keyakinan bahwa investasi di Indonesia kedepan mendapat kepastian hukum," ujarnya.
Laba Semu
PT Asuransi Jiwasraya (AJS) lanjut putra politisi Partai Golkar Kahar Muzakir ini mulai melakukan rekayasa laporan keuangan sejak di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Agung mengatakan, persoalan Jiwasraya sudah terjadi sejak 2006, dimana saat itu perusahaan mengklaim mendapatkan keuntungan. "Sejak tahun 2018 lakukan pemeriksaan investigasi pendahuluan, permasalahan PT AJS sudah terjadi sejak lama.
Sejak 2006 membukukan laba meski laba semu dari rekayasa akuntansi atau window dressing," ujar dia.
Satu dekade kemudian, Agung mengungkapkan, Jiwasraya kembali mengaku untung, namun lagi-lagi dengan pengecualian yakni opini tidak wajar. "Pada 2017 meraih laba Rp 360 miliar, namun opini tidak wajar akibat adanya kecurangan. Ada kekurangan pencadangan Rp 7,7 triliun, kalau itu dicatat harusnya derita kerugian," katanya.
Hal yang dikhawatirkan pun tiba, ia menambahkan, Jiwasraya membukukan kerugian fantastis hingga Rp 15,3 triliun pada 2018, meski menurun tahun berikutnya. "Pada 2018 rugi Rp 15,3 triliun dan sampai September 2019 diperkirakan rugi Rp 13,7 triliun. Lalu, pada November 2019 diperkirakan negatif ekuitas Rp 27,2 triliun," ujar Agung.
Dalam laporan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyinggung ada grup perusahaan yang cawe-cawe atau ikut dalam praktik jual beli saham dengan PT Asuransi Jiwasraya (AJS). Namun, BPK masih menyelidiki mendalam grup perusahaan yang mengeluarkan dananya untuk transaksi saham dengan Jiwasraya.
"Grup yang sama ada dana perusahaan dikeluarkan melalui grup tersebut. BPK sedang menyelidiki, belum final," ujar dia.
Kata Agung, praktik transaksi saham itu terjadi antara kedua pihak dengan menaikkan harga, lalu diturunkan serendah-rendahnya. "Jual beli saham tersebut dilakukan pihak terafiliasi, sehingga harganya tidak mencerminkan harga sebenarnya. Sahamnya berkualitas rendah hingga harganya menurun," katanya.
Ia menambahkan, keberadaan grup perusahaan tersebut juga untuk mengelabui penjualan saham yang berujung rugi, sehingga dilakukan diam-diam.
"PT AJS investasi ke saham kategori rendah, kemudian aktivitas jual beli saham untuk hindari kerugian maka jual beli dengan pihak tertentu. Investasi saham yang tidak likuid yang tidak wajar, disembunyikan pada beberapa reksa dana dengan underlying saham," ujar Agung.
PT Asuransi Jiwasraya (AJS) juga disebut merugi Rp 4 triliun akibat investasi saham. Kerugian Rp 4 triliun tersebut didapat dari penempatan di tiga saham yakni PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR), PT Semen Baturaja Tbk (SMBR), dan PT PP Property Tbk (PPRO).
"Dari BJBR, SMBR, dan PPRO kerugiannya Rp 4 triliun dari transaksi tersebut," ujar Agung.
Karena itu, Agung menyampaikan, Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta pihaknya menghitung semua kerugian yang ditimbulkan dari salah penempatan investasi saham. "Kejagung minta BPK hitung kerugian. Dari hasil itu BPK simpulkan ada penyimpangan dari pengumpulan dana JS Saving Plan dan investasi," katanya.
Ia menambahkan, BPK butuh waktu hingga 2 bulan guna mengungkap lebih rinci pihak-pihak yang terkait jual beli saham dari Jiwasraya."Butuh waktu hitung kerugian negara dan direncanakan selesai dalam waktu 2 bulan. BPK sepenuhnya dukung Kejagung," pungkasnya.
Rini Diperiksa
Jaksa Agung ST Burhanuddin yang juga ikut konferensi pers dengan jajaran pimpinan BPK menyebut bahwa pihaknya tidak tertutup kemungkinan akan memeriksa mantan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Buhanuddin menuturkan, pihaknya masih belum tahu apakah Rini Soemarno juga masuk dalam lingkaran kasus fraud Jiwasraya. Namun, pihaknya tak menutup kemungkinan mantan menteri itu akan diperiksa bila ada indikasi yang mengarah ke sana.
"Apakah akan ada relevansinya? kami belum tahu. Kalau dari lingkaran ini ada yang menuju ke situ, pasti. Tapi sampai saat ini belum ada," ujarnya.
Adapun saat ini, pihaknya masih bekerjasama dengan BPK menelusuri aliran dana ke PPATK. Dia bilang, dalam kurun waktu 2 bulan, hasilnya akan segera keluar. "Itu yang kita kerjakan. Itu dua bulan lagi, dan sudah kita kerjakan serta identifikasi. Insya allah kami semua di sini sehat-sehat dan 2 bulan investigasi tahap pertama sudah dapat," tuturnya.
"Yang terakhir kami melakukan beberapa penggeledahan terhadap beberapa objek sekitar 13 yang telah kami geledah, dan tentu ini kami lakukan secara silent, karena jujur saya tidak ingin terlalu terbuka," tambah Burhanuddin.
Dalam kasus fraud Jiwasraya kata Burhanuddin pihaknya juga menemukan adanya lima ribu transaksi lebih yang mencurigakan.
Transaksi yang terjadi hampir 5 ribu transaksi lebih dan itu memerlukan waktu, kami tidak ingin gegabah dan teman-teman dari BPK sangat membantu kami. Kami tidak bisa membuka terlebih dahulu, karena kami ingin betul-betul fix bahwa kerugiannya sudah tahu," ujarnya.
Tidak Perlu Pansus
Terpisah, Komisi XI DPR RI menilai belum perlu membentuk panitia khusus (pansus) dalam menyelesaikan sengkarut masalah di PT Asuransi Jiwasraya (AJS). Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno berpendapat, sebaiknya bentuk panitia kerja (panja) dulu di Komisi VI DPR untuk mengawasi perbaikan tata kelola, aturan main, manajemen risiko, dan kajian solusi korporasi Jiwasraya.
"Setelah itu Komisi XI baru masuk apabila ada usulan privatisasi dan penyertaan modal negara (PMN),” ujarnya.
Selain itu, belum diperlukannya pembentukan pansus dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada nasabah bahwa pemerintah bersama DPR hadir di dalam upaya penyelamatan Jiwasraya, tanpa membuat gaduh dan menghambat.
Hendrawan menjelaskan, saat ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sedang melakukan upaya penyehatan keuangan Jiwasraya melalui sejumlah opsi.
Kemudian, Kejaksaan Agung juga tengah menyidik adanya dugaan korupsi yang terjadi di Jiwasraya pada periode 2013 hingga 2017. "Belum diperlukan pansus, tapi harus tetap dikawal. Semua masalahnya sedang ditangani oleh pemerintah dan Kejaksaan Agung kalau soal hukum," kata Hendrawan.
Hendrawan optimistis Kementerian BUMN juga ikut serta mencari solusi terbaik menyelamatkan Jiwasraya dan mengembalikan kewajiban kepada nasabah.
"Adapun soal dugaan tindak korupsi yang dilakukan manajemen lama, jajaran Kejaksaan Agung akan mampu membongkar aktor intelektual yang merugikan Jiwasraya lebih dari Rp 13,7 triliun," pungkasnya.
Tidak Lapor
PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE) menanggapi langkah Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sempat menghentikan perdagangan atau suspensi saham perusahaan pada 3 Januari 2020. Direktur Utama Alfa Energi Investama Aris Munandar mengatakan, saat ini suspensi tersebut sudah dibuka BEI per 6 Januari 2020.
"Terkait suspensi saham FIRE, kami sebagai manajemen baru tahu dari BEI waktu itu, tapi sudah dibuka karena untuk periode cooling down," ujarnya.
Sementara itu, Aris tidak diberi tahu BEI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ketika saham perusahaan dipegang oleh PT Asuransi Jiwasraya(AJS) hingga harganya melonjak mencapai level tertinggi Rp 14.050 pada 17 Mei 2019.
"Saya baru dengar bahwa Jiwasraya miliki saham FIRE, saya juga tidak tahu informasi ke kami sebagai manajemen bahwa Jiwasraya punya saham di tempat kami," katanya.
Kendati demikian, ia menambahkan, jangan sampai kepemilikan Jiwasraya di perusahaan menjadi isu pasar untuk menggerakan saham. "Mungkin jangan jadikan rumor karena tidak ada konfirmasi sama sekali ke kami," ujar Aris.
Aris Munandar juga memberikan respons terkait harga saham perusahaan yang sempat melonjak pada 2019.
Tahun lalu, saham FIRE menembus level tertinggi Rp 14.050 per saham pada 17 Mei dari harga awal initial public offering (IPO) yang hanya Rp 750 per saham.
Kendati demikian, Aris mengaku tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari melonjaknya saham perusahaan lebih dari 1.700 persen. "Saya tidak tahu, tidak ada realisasi keuntungan. Saya malah tidak tahu ada Jiwasraya di saham FIRE," ujarnya.
Bahkan, Aris mengungkapkan nilai sahamnya di perusahaan sejak awal IPO hingga saat ini anjlok di level Rp 284 per saham tidak mengalami perubahan sama sekali. "Dulu iya di sempat Rp 14.000-an, tapi saham saya sekarang posisinya disitu saja tidak bergerak. Tidak ada untung banyak," pungkasnya.(Tribun Network/van/wly)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.