Terjadi Multitafsir Aturan Pada Masa Transisi Perubahan UU KPK
upaya OTT tersebut menimbulkan persoalan multitafsir yang berpotensi menjadi celah hukum untuk dilakukan upaya praperadilan atau upaya hukum lainnya.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid menilai masa transisi perubahan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan polemik.
Hal ini setelah pihak KPK melakukan dua operasi tangkap tangan (OTT) pada awal Januari 2020. KPK melakukan OTT terhadap Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah dan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan terkait dugaan suap Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR dari PDI Perjuangan.
Menurut dia, upaya OTT tersebut menimbulkan persoalan multitafsir yang berpotensi menjadi celah hukum untuk dilakukan upaya praperadilan atau upaya hukum lainnya.
"Sesuai pasal 69D UU No. 19 Tahun 2019, sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum undang - undang ini diubah," ujarnya, saat dihubungi, Senin (13/1/2020).
Dia menjelaskan implikasi dari peristiwa itu memunculkan pertanyaan yuridis apakah tindakan pengeledahan yang dilakukan penyidik KPK pada tanggal 8-9 Januari 2020 setelah Dewas Pengawas dibentuk secara hukum mempunyai kekuatan mengikat?
Baca: Mahfud MD Benarkan Dugaan Korupsi Asabri: Tindakan Zalim Terhadap Prajuri Kecil
Baca: Tujuh Fakta yang Terkait Dugaan Korupsi di AsaBri
Baca: OTT KPK di Awal Tahun Jangan Sampai Cacat Prosedur
Sehingga, kata dia, hal itu menimbulkan perdebatan sehingga berpotensi celah hukum ini dapat digunakan oleh para tersangka untuk mempersoalkan hal ini melalui instrumen ajudikasi ke pengadilan.
Jika merujuk ketentuan norma pasal 70 C UU KPK hasil revisi, dia menjelaskan,
semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukum belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur undang-undang ini.
"Ada sedikit persoalan teknis regulasi yang tak cukup gamblang mengakomodir ketentuan peralihan dalam undang-undang KPK yang baru. Sehingga dapat menimbulkan ragam tafsir (multitafsir,-red) dan persepsi subjektif dari pihak-pihak berkepentingan" ujarnya.
Dia menambahkan adanya ketidakpastian hukum tersebut maka salah satu langkah serta pilihan konstitusional yang harus dilakukan adalah mengajukan upaya judicial review pasal 69D dan pasal 70C UU No. 19/2019 ke Mahkamah Konstitusi.
"Hal tersebut dilakukan agar MK dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut secara adil, sekaligus dapat memberikan tafsir konstitusional atas masalah tersebut," tambahnya.