Kesaksian Mantan Pengikut Keraton Agung Sejagat: Totok Santosa Pernah Pimpin Organisasi Kemanusiaan
Mantan Pengikut Totok Santosa Hadiningrat: Bilangnya Bergerak di Bidang Kemanusiaan, Tapi Belum Ada yang Disalurkan
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Purworejo tengah diperbincangkan masyarakat lantaran muncul klaim adanya Keraton Agung Sejagat.
Keraton Agung Sejagat ini dipimpin oleh Totok Santosa Hadiningrat dan sang istri.
Mereka menjadi raja dan ratu di kerajaan yang mereka dirikan sendiri.
Beberapa pengikut yang telah keluar dari keanggotaannya buka suara.
Sri Utami, satu di antara pengikut yang akhirnya keluar dari keanggotaannya di Keraton Agung Sejagat menuturkan masih mempertanyakan kegiatan "kelompok" itu.
Diketahui, Raja Keraton Agung Sejagat itu pernah menjadi pemimpin sebuah organisasi bernama Jogjakarta Development Commite (Jogja DEC).
Jogja DEC adalah organisasi yang bergerak di bidang kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Hal itu dibenarkan oleh Sri Utami.
Dilansir TribunJateng, Sri Utami mengatakan kurun waktu tiga tahun lalu, kegiatan yang dilakukan Totok adalah membantu rakyat kecil.
"Bilangnya bergerak di bidang kemanusiaan, tetapi nyatanya belum ada yang disalurkan," kata Sri Utami.
"Karena keberadaan DEC itu dulu masih merintis di sini," tambahnya.
Masyarakat Merasa Terganggu
Rumah atau yang diklaim sebagai istana Keraton Agung Sejagat itu terlihat kosong.
Para anggota atau yang disebut sebagai Punggawa Kerajaan berasal dari luar dan memiliki pekerjaan masing-masing.
Warga sekitar kediaman Totok itu jarang melihat secara langsung kegiatan yang dilakukan Totok dan Keratonnya.
Setelah batu besar yang disebut prasasti, masyarkat mulai merasakan ketakutan.
"Menganggu sih sebenarnya, tetapi selama tidak menggangu masyarakat tidak masalah, karena mereka itu kejawen," tutur Sri Utami.
Menurut Sri Utami, yang menjadi masalah adalah kegiatan atau kumpul di malam hari.
Hal itu karena ketika mereka berkumpul, terlihat mencurigakan atau terkesan mistis.
"Pokoknya sebulan itu dua atau tiga kali pertemuan dan sebetulnya kumpul-kumpul seperti itu sudah lama, cuma memang ramai itu setelah datangnya batu besar itu," terangnya.
Makna Prasati
Berikut Tribunnews.com rangkum mengenai makna prasasti serta aktivitas Keraton Agung Sejagat yang dinilai meresahkan:
Sebuah batu besar yang disebut sebagai prasasti berada di halaman depan Keraton Agung Sejagat.
Pada batu yang berukuran sekira 1,5 meter tersebut terdapat beberapa ukiran.
Menurut si pembuat, Empu Wijoyo Guna, ada beberapa makna yang terkandung di dalam ukiran.
"Tulisan Jawa artinya adalah Bumi Mataram Keraton Agung Sejagat," katanya kepada Tribunjateng.com, Selasa (14/1/2020).
Mataram sendiri adalah 'Mata Rantai Manusia.'
"Maknanya alam jagad bumi ini adalah mata rantai manusia yang bisa ditanami apapun."
"Intinya segala macam hasil bumi adalah mata rantai manusia atau Mataram," ungkapnya.
Wijoyo menjelaskan jika pada batu terukir gambar Cakra yang menggambarkan waktu dan kehidupan manusia.
Sementara di dalam cakra itu terdapat sembilan dewa.
Ada pula ukiran Trisula yang menurutnya memiliki makna keilmuan.
Kemudian ada gambar telapak kaki yang bermakna sebagai tetenger atau penanda.
"Telapak kaki ini artinya adalah jejak atau petilasan. Kaki itu adalah tetenger kaisar," jelasnya.
Wijoyo mengaku mengukir batu prasasti milik kerajaan Keraton Agung Sejagat hanya dalam waktu dua minggu.
Batu tersebut diukir sekitar tiga bulan yang lalu.
Fungsi batu tersebut sebagai penanda atau prasasti.
Menurut Empu Wijoyo, tulisan Jawa yang tertera pada batu memiliki arti sebuah pertanda bahwa ini adalah soko atau kaki atau tanda peradaban dimulai.
"Kerajaan ini adalah kerajaan dengan sistem damai. Artinya tanpa perang, berkuasa, oleh karena itu ditandai dengan deklarasi perdamaian dunia," katanya.
Seperti halnya punggawa-punggawa lainnya, Wijoyo menjelaskan, kekuasaan seluruh dunia berada di bawah naungan Keraton Agung Sejagat
"Negara-negara di dunia adalah fasal-fasal atau menjadi bagian dari kami."
"Mataram itu di semua negara ada. Mataram maksudnya adalah nama 'Mata Rantai Manusia'. Di mana ada kehidupan di situ ada bumi," ujarnya.
Konteks yang dijelaskan oleh Wijoyo sama sekali tidak ada hubungannya dengan kerajaan Mataram.
Dia hanyalah sebatas empu atau tukang sedangkan konsep tersebut sendiri berasal dari Totok Santoso Hadiningrat.
Pada batu itu terdapat pula logo ukiran simbol siang atau malam, hitam atau putih, yang melambangkan kehidupan.
Ada pula gambar dua macan sebagai simbol penjaga serta ukiran empat penjuru mata angin, dan logo kerajaan Majapahit.
Pada bagian bawah batu ada gambar baruna naga yang artinya lautan.
Sebelum ikut menjadi punggawa, Wijoyo berprofesi sebagai tukang relief yang sering membuat pahatan.
"Saya kerja serabutan, tapi kanjeng Sinuhun yang meminta saya membuatkan ukiran ini sehingga saya membuat. Soal desain berasal dari Sinuhun sendiri," ungkapnya.
Batu prasasti itu dijadikan sebagai obyek selfie dan keramaian pengunjung di Keraton Agung Sejagat.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani) (TribunJateng.com Pertama Putra Sejati)