Mahfud MD Sebut KPK Gagap dalam Melakukan Penggeledahan: Itu Bukan soal UU Baru, tapi soal Orang
Mahfud MD turut berkomentar terkait gagalnya KPK melakukan penggeledahan di Kantor DPP PDI-P.
Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD turut berkomentar terkait gagalnya KPK melakukan penggeledahan di Kantor DPP PDI-P.
Mahfud MD menyebut, kegagalan penggeledahan yang dilakukan KPK bukan terkait UU KPK baru, melainkan soal orang di KPK yang gagap akan situasi yang terjadi.
Pernyataan tersebut disampaikan Mahfud MD dalam acara Satu Meja The Forum yang diunggah di kanal YouTube KompasTV, Kamis (16/1/2020).
Awalnya, Jurnalis Senior Harian Kompas, Budiman Tanuredjo menanyakan kepada Mahfud MD, bukankah kegagalan penggeledahan tersebut merupakan tanda-tanda awal KPK tidak punya taji lagi.
"Apakah ini bukan tanda-tanda awal bahwa sebetulnya, KPK sudah tidak punya taji lagi?"
"Ketika mau menggeledah kemdudian bisa ada perlawanan, ketika mau di tangkap di PTIK kemudian gagal."
"Ini kan menimbulkan persepsi publik, bahwa KPK dalam posisi yang mungkin akan cenderung lemah dan makin lemah?" tanya Budiman pada Mahfud MD.
Tak menunggu lama, Mahfud MD lantas menanggapi pertanyaan tersebut.
"Kalau itu bukan soal UU, tapi soal orang," tegas Mahfud MD.
Mahfud MD menyebut, kewenangan menyadap, menggeledah, dan menyita tetap dimiliki oleh KPK.
Hanya saja, dalam UU KPK baru kewenangan tersebut dilakukan setelah mendapat persetujuan dari dewan pengawas.
Namun, Mahfud MD menegaskan, dewan pengawas tidak akan menghalangi proses penyelidikan yang akan dilakukan KPK.
"Sehingga menurut saya, terlalu prematur untuk menyimpulkan seperti itu (KPK lemah di bawah UU baru), kita lihat saja nanti," terang Mahfud MD.
Lebih lanjut, Budiman kemudian menanyakan soal potensi alat bukti hilang terkait fakta penggeledahan tak bisa dilakukan saat itu juga.
"Tapi faktanya bahwa penggeledahan itu tidak bisa dikerjakan, dan baru kemudian akan dilakukan beberapa hari kemudian."
"Nah itu kan ada potensi alat buktinya hilang dan sebagainya?" tanya Budiman.
Mahfud MD kembali menegaskan, yang bermasalah adalah orangnya.
"Kan soal orang kan saya katakan tadi, soal orang ini kan kelanjutan dari yang lama kan," terang Mahfud MD.
"Orang ini apakah penyelidik-penyelidik di lapangan atau pada level pimpinan?" tanya Budiman lagi.
Mahfud MD pun lantas menyebut, orang yang dimaksud adalah pada level pimpinan.
"Saya kira level pimpinan, level pimpinan kan bisa memerintahkan sebenarnya 'kamu jalan terus' kan bisa," ungkap Mahfud MD.
Mahfud MD kemudian menuturkan, perpres untuk dewan pengawas baru turun.
Sehingga masih ada waktu untuk memahami dan memantapkan diri dalam konfigurasi yang baru ini (UU KPK baru).
"Mungkin tidak ada sebulan lagi Standar Operasional Prosedur (SOP) nya sudah jadi ditingkat dewan pengawas," tegasnya.
Lebih lanjut, Mahfud MD menjelaskan soal komunikasi KPK yang mengungkapkan ke publik soal waktu penggeledahan.
Padahal penggeledahan merupakan sesuatu yang rahasia, tetapi justru diungkapkan ke publik.
"Menurut saya karena kepepet juga, dia kan harus menjelaskan, ternyata menggeledah gagal kan? Lalu dia harus menjelaskan ya minggu depan, kan gitu," papar Mahfud MD.
Mahfud MD juga menyebut, saat ini pimpinan baru KPK gagap dalam menghadapi situasi.
"Memang saya kira gagap, dan saya meyakini mereka tidak tahu tuh pimpinan KPK bahwa akan ada OTT."
"Tingkat KPK yang baru ya, tetapi demi tanggung jawab institusi kan harus mereka yang menjelaskan," jelas Mahfud MD.
"Tapi saya kira itu campuran antara gagap dan masa transisi, serta grogi menghadapi partai penguasa," imbuh dia.
Diberitakan sebelumya, belakangan KPK menjadi sorotan publik.
Pasalnya, KPK gagal melakukan penggeledahan dan penyegelan di kantor DPP PDI-P.
Hal tersebut terkait dengan pengembangan kasus dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Wahyu Setiawan diduga menerima suap dari politisi PDI-P, Harun Masiku dalam kasus pergantian antar waktu (PAW) PDI perjuangan.
KPK menyebut bahwa, Wahyu Setiawan menerima uang senilai Rp 600 juta dari Harun Masiku dan sumber dana lainnya yang belum diketahui identitasnya.
Sementara itu, Wahyu Setiawan disebut menerima uang operasional sebesar Rp 900 juta untuk memuluskan niat Haruns Masiku.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)