Pengamat: Ujian Profesionalisme Kepemimpinan Baru KPK
Baru beberapa pekan dilantik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Firli Bahuri kini sudah dihadapkan pada ujian profesionalisme.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Baru beberapa pekan dilantik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Firli Bahuri kini sudah dihadapkan pada ujian profesionalisme.
“Baru beberapa minggu dilantik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Firli Bahuri sudah dihadapkan pada ujian profesionalisme karena masalah yang ditinggalkan KPK periode sebelumnya," kata Pengamat ekonomi dan bisnis Eko B. Supriyanto.
“KPK periode Agus Rahardjo ternyata mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah divonis lepas dari segala tuntutan hukum terkait keterlibatannya dalam kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)," ujar Direktur Infobank Institute itu kepada wartawan, Kamis sore (16/1/2020).
Permohonan PK itu diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK pada tanggal 17 Desember 2019, tepat tiga hari sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru.
Langkah KPK tersebut baru diumumkan kepada publik tiga minggu kemudian, tepatnya pada 9 Januari 2020, bertepatan pada hari sidang pertama pemeriksaan permohonan PK di Pengadilan Negeri Tipikor.
“Ketika mendengar kabar ini, saya penasaran, masa lembaga penegak hukum sebesar KPK tidak punya ahli hukum yang paham tentang ketentuan pengajuan PK sampai melakukan tindakan seperti ini?”
Eko Supriyanto mengingatkan, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2014, jelas disebutkan bahwa Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK, sekalipun atas masalah yang dianggap prinsipil.
Pihak yang boleh mengajukan PK adalah Terdakwa/Terpidana. Surat Edaran itu juga dikuatkan oleh Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016 yang dibuat untuk mengakhiri perbedaan pendapat terkait siapa yang berhak mengajukan PK.
Putusan MK ini mengutip Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, tidak boleh dimaknai atau ditafsirkan lain.
Putusan MK ini bersifat final dan mengikat sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU No. 3 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Negara atau Jaksa jelas tidak memiliki hak untuk mengajukan PK. “Oleh karena itu, permohonan PK yang diajukan oleh Jaksa KPK terkait putusan kasasi SAT merupakan tindakan melanggar hukum dan inkonstitusional," tegas Eko.
Eko Supriyanto justru menyarankan agar pimpinan KPK yang baru Firli Bahuri berani segera membatalkan pengajuan PK yang inkonstitusional ini untuk menyelamatkan muka KPK dan menjamin profesionalisme serta kepastian hukum di Indonesia.
"Jika dibiarkan, pengajuan PK ini akan menjadi preseden buruk bagi seluruh masyarakat Indonesia maupun investor dari luar negeri. Keputusan hukum di Indonesia seolah-olah bisa kehilangan legitimasi sewaktu-waktu."