Ribuan Buruh Tetap Demo DPR RI Meski Diguyur Hujan, Tuntut Transparansi RUU Cipta Lapangan Kerja
Tuntutan mereka hari ini hanya satu, yakni pembatalan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja oleh DPR RI
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan wartawan tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ribuan buruh turun ke jalan menggelar aksi unjuk rasa menuntut pembatalan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja oleh DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020).
Pantauan tribunnews.com mulai pukul 11:00 WIB hingga pukul 13:00 WIB, hujan mengguyur lokasi unjuk rasa massa buruh.
Namun demikian, belasan ribu buruh yang ada di halaman gedung DPR RI pun tetap bertahan dan enggan meninggalkan lokasi unjuk rasa.
Baca: Tolak Omnibus Law, KSPI Ancam Gelar Aksi Lebih Besar Jika Tak Akomodir Kepentingan Buruh
Tuntutan mereka hari ini hanya satu, yakni pembatalan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja oleh DPR RI karena dianggap sarat akan kepentingan politik dan dirancang tanpa adanya transparansi kepada pihak buruh.
Ketua Bidang Politik DPP Serikat Pekerja Nasional Indonesia, Puji Santoso mengatakan, minimnya sosialisasi seputar draft RUU Cipta Lapangan Kerja membuat isu menjadi begitu liar.
Baca: Tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Massa Buruh Gelar Aksi di DPR
"Karena tertutup, isu menjadi berkembang liar. Pertama yang sangat memicu konsentrasi buruh adalah isu mengenai pesangon akan dihilangkan ketika pekerja buruh diberhentikan atau berhenti kerja," katanya ketika ditemui di sela-sela aksi unjuk rasa.
Selain itu, isu liar yang juga berkembang ialah mengenai upah yang kabarnya akan dibuat perjam hitungan pembayarannya.
Baca: LBH Jakarta: RUU Omnibus Law Hanya untuk Kepentingan Oligarki
Ia menjelaskan, apabila sistem upah buruh diubah menjadi upah perjam, tentunya mereka belum mengetahui imbasnya di kemudian hari.
Pasalnya, sampai saat ini masih belum jelas konsep upah perjam tersebut nantinya akan seperti apa, mengingat draft RUU Cipta Lapangan Kerja di Omnibus Law tersebut tak kunjung dipublikasikan oleh pihak terkait.
Sehingga, hal tersebut tidak mungkin diberlakukan karena massa buruh sendiri tidak pernah tahu bagaimana bentuk RUU maupun konsep pembayaran yang diisukan itu.
"Tidak ada yang tahu selain mereka sendiri yang merancang, sedangkan kami mensinyalir juga ini ada penyelesaian secara politis," katanya.