Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Kritisi Ucapan Andi Arief di Medsos

Sukron pun meminta Dewan Pers benar-benar menjalankan fungsinya sebagaimana pasal 15 ayat 2 UU Pers secara penuh.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Kritisi Ucapan Andi Arief di Medsos
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Muhammad Sukron 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus suap yang melibatkan Wahyu Setiawan menjadi catatan penting, bukan hanya terkait dengan persoalan hukum, melainkan juga dengan persoalan pemberitaan di Indonesia.

Sebab kasus ini menjadi catatan penting betapa kode etik jurnalistik yang seharusnya menjadi pegangan para wartawan namun diduga kuat diabaikan begitu juga karena motif-motif politis.

Demikian disampaikan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Muhammad Sukron, saat diwawancawa wartawan di kantor PP Muhammadiyah di jalan Menteng Raya 62, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020).

Sukron pun meminta Dewan Pers benar-benar menjalankan fungsinya sebagaimana pasal 15 ayat 2 UU Pers secara penuh.

Dewan Pers, misalnya, bukan semata melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; atau mendata perusahaan pers.

"Tapi juga harus benar-benar menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik," kata Sukron.

Baca: Polri Bantah Kabar Harun Masiku Sempat Pulang ke Rumah Istrinya di Gowa

Di lapangan, Sukron, yang juga Direktur Segitiga Institure, melihat ada gejala bahwa memang media bisa menjadi alat kepentingan pemilik modal.

Berita Rekomendasi

Lebih-lebih bila suatu media tersebut dimiliki oleh kepentingan elit tertentu. Bukan berarti tidak boleh, namun bila motif politis melampaui kode etik jurnalistik maka ini benar-benar bisa membahayakan publik.

"Publik bukannya dikasih fakta, namun dikasih fakta cuma secuil, namun framing-nya begitu dominan. Lebih parah lagi bila fakta pun dibuat-buat atau bahkan dibikin untuk diputarbalikkan demi kepentingan politis pemilik media atau pemilik modal yang punya akses pada media itu sendiri," ungkap Sukron.

Dalam kasus suap wahyu Setiawan, Sukron melihat hal ini begitu nyata.

Misalnya, bagaimana media, tanpa melakukan konfirmasi, langsung memuat apa yang menjadi perbincangan di media sosial. Padahal sejatinya media massa harus menjadi penjaga informasi dari lalu lalang komunikasi di media sosial.

Namun, sesal Sukron, hal yang terjadi sebaliknya. Media massa tunduk pada media sosial, dan tak ada kemauan mengkonfirmasinya sebagaimana terlihat dari rangkaian berita.

"Misalnya, bagaimana bisa sebuah media, memberitakan cuitan Andi Arief, dan tanpa melakukan konfirmasi pada Andi Arief itu sendiri. Misalnya ia dapat info dari mana, siapa yang suplai info, apa motifnya, siapa di baliknya. Ini diabaikan, padahal bisa jadi ini akar persoalan sebagai pijakan dari rencana framing yang sistemik dan terencana," ungkap Sukron.

Sukron menilai, dari pijakan omongan Andi Arief ini, nampak jelas ada framing yang sudah disiapkan untuk menyerang pihak tertentu.

Misalnya ada framing pemberitaan kantor DPP PDI Perjuangan digeledah, padahal fakta CCTV menunjukkan lain.

"Framing kasus Wahyu begitu terang. Ada politik di balik kasus Wahyu," Sukron mennilai.

Dalam Islam sendiri, jelas alumni Universitas Muhammadiyah Malang ini (UMM) ini, ada panduan bagaimana suatu pemberitaan itu diterima dan disampaikan.

Misalnya, dalam ilmu musthalah hadits, dikenal dengan otoritas dan rekam jejak si penulis informasi, yang kemudian disebut dengan sanad.

"Bila sanad-nya gak cerdas, suka bohong, maka itu sudah gak bisa dipercaya lagi. Lho, Andi Arif ini pernah bohong soal tujuh kontainer berisi surat suara tercoblos. Kalau dalam ilmu hadits, semua omongan Andi itu 100 persen patut diduga bohong atau atau menjadi skenario kepentingan politis," demikian Sukron.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas